Minggu, 27 Oktober 2013

Ma....



Angin sore yang semilir berhembus sejuk, membelai helai-helai rambutku yang masih basah dan menyerbakkan wangi strawberri yang kusukai. Aku menerawang jauh di kursi serambi rumah dan mulai menyesap teh yang masih mengepul hangat dalam dekapan jari jemariku. Kosong, tidak dapat berpikir apapun. Tidak dapat merasakan apapun. Bahkan untuk sekedar menangispun rasanya lelah sekali.
Lama aku termangu menatap langit, dan sang angin masih saja memainkan rambutku yang perlahan mulai mengering. Kala itu, engkau dengan wajah teduhmu mendekatiku yang sedang termenung (meski ketika itu, aku tidak merasakan kapan kedatanganmu Ma...). Engkau menungguku lama, bersabar karena pikiranku yang masih bermain-main dengan nirwana yang kuciptakan sendiri.
Sampai akhirnya, aku mendengar suara isakan itu. Engkau terisak dalam diam, meski mata beningmu tidak menampakan butiran air mata, namun aku dapat merasakan hatimu yang terisak terus menerus. Hingga aku akhirnya melepaskan diri dari nirwana yang ku bangun dan kemudian beralih padamu.
Bahkan ketika itupun kau masih saja menyunggingkan senyum terbaikmu.
Kemudian aku menatap mata cokelatmu, tempat dimana kau tidak bisa membohongiku, meski dengan senyum terbaikmu.
“Ma...”
“Setidaknya kamu sudah berusaha... Mama juga akan berusaha...” katamu lemah. Ketika itu, aku bisa merasakan rasa lelah yang kau alami.
Ma... apa yang kau lakukan sepanjang siang ini? Ketika anakmu hanya bisa berdiam diri. Meratapi diri sendiri. Berkhayal tentang sesuatu yang sudah terjadi, dan kemudian hanya duduk terpaku sambil sesekali menangis dalam diam. Bukankah sejak pagi tadi kau tidak terlihat di rumah? Kemana kaki muliamu membawamu sejak tadi?
“Sudahlah Ma... tidak perlu mencari pinjaman uang lagi...”
Kemudian, bunyi isakan itu keluar dari mulut manismu. Air bening itupun meluncur keluar tanpa bisa kau cegah. Kau tau Ma? Mungkin hal yang membuatku sakit seperti sekarang tidak seberapa dibandingkan melihatmu terisak seperti ini. Dan kala itu, akupun ikut terisak bersamamu.
“Maafkan Mama... Mama belum bisa membuatmu meneruskan sekolah mu seperti yang kamu inginkan...”
Ketika itu aku masih terisak, tak mampu untuk menjawabmu Ma... Apa kau tahu Ma? Ketika itupun aku mengetahui keadaanmu. Pun sangat mustahil untuk meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Saat itu, sangat mustahil...
Tapi aku tidak bisa memberitahumu Ma, tidak saat itu. Kegagalan teralu berat untuk ku terima Ma, dan hanya berdiam diri, termenung dan melamun yang bisa kulakukan saat itu. Tapi kau mengerti benar putrimu kan Ma? Biarkan aku remuk redam untuk beberapa saat ini dan kemudian aku akan bangkit Ma. Aku akan berlari secepat yang aku bisa dan mengejar teman-temanku yang lain. Agar kami sejajar. Agar kau tidak perlu merasa bersalah seperti ini. Agar air bening itu tidak keluar dari mata indahmu lagi Ma. Dan hal itu pasti terjadi Ma... Lihatlah Ma, dan percayalah putrimu ini Ma...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar