Minggu, 17 November 2013

Dunia Tanpa Kata

Aku tahu ada banyak warna di dunia ini selain hitam dan putih. Tapi tidak dengan apa yang kulihat saat ini. Hitam-putih. Itulah yang kulihat saat ini. Pohon-pohon yang seharusnya mempunyai warna alam yang selalu membuatku takjub, membuatku tidak bergeming saat ini. Batu-batuan yang mempunyai jutaan warna yang beragam pun hanya bisa berwarna hitam dan putih. Menyedihkan, tidak ada warna apapun selain dua warna itu. Aku tertegun untuk beberapa lama. Tidak. Aku tidak bisa melihat apapun selain dua warna menyedihkan itu, dan rasanya otot-otot yang selama ini kuat menyanggah tulng-tulang di kakiku pun goyah. Tak sanggup lagi menopang dan tempurung lututku pun melemas. Aku merasa, sebentar lagi aku aka terjatuh.
Hingga dia datang. Dengan kecepatan cahaya, dengan tubuhnya dia menopangku dan membangkitkanku hingga aku berdiri dengan otot-otot yang kurasa sudah tidak serapuh sebelumnya. Dunia yang berada di sekelilingku pun kembali berwarna dengan kehadirannya di depanku. Aku menatapnya sekilas dan ia tersenyum padaku seraya mengembalikan tiap molekul energi kehidupan di sekelingku.
Kami terdiam untuk beberapa lama dalam keheningan yang nyaman. Tanpa kata-kata, kami saling memahami. Tapa kata-kata, kami saling menyelami perasaan kami, dan tanpa kata-kata kemudian aku mengerti bahwasanya ia akan pergi ketempat yang aku tidak tahu. Bahkan tujuannya untuk pergipun aku tidak tahu. Aku meraih tangannya, dan masih tanpa kata-kata, aku menatap lekat mata yang terbingkai kaca mata itu, berharap bahwa perasaanku yang tidak menginginkan kepergiannya dapat tersampaiakan padanya. Jangan pergi... itu yang ingin aku katakan. Namun sepertinya, walaupun ia bisa menangkap apa yang ku inginkan, ia tetap tidak bisa berada di tempat sekarang ia berdiri untuk beberapa lama lagi.
Maka ia tersenyum, dan dengan lembut melepaskan genggaman tanganku di tangannya. Ia melangkah mundur sambil tetap menatapku dengan senyum miris yang juga mencabik hatiku, perasaanku, dan juga jiwaku. Ingin rasanya aku berteriak padanya dan memintanya untuk tetap di tempatnya sekarang. Tapi di dunia itu, kata-kata tidaklah ada gunanya. Kata-kata bahkan terasa tidak bermakna lagi untuk di ucapkan dalam keadaan apapun. Maka akupun berlari ke arahnya dan memeluknya erat. Aku bisa merasakannya. Merasakan kehangatannya, merasa nyaman dalam dadanya yang bidang, merasakan embusan nafasnya di ujung rambutku yang tertiup angin. Aku merasakan semuanya tentangnya. Aku memeluknya semakin erat, dengan harapan agar dia tidak pergi kemanapun ia akan pergi. Aku tidak peduli bagaimana dia akan menilaiku setelah ini, tapi yang jelas, aku tidak ingin dia pergi. Kemudian, kedua tangannya yang hangat ikut memelukku erat. Inilah dunia, yang aku tahu kata-kata tidaklah berguna.
@@@
Mey tertawa ketika aku selesai menceritakan mimpiku semalam, dan itu membuatku semakin kacau.
“Kau tahu itu bukanlah sikap yang pantas bagi seorang teman ketika dia tahu mimpi seperti apa yang mendatangi temannya tadi malam.” Desisku berusaha setajam mungkin.
Mey masih tertawa, dan bahkan sekarang aku bisa melihat ujung matanya mulai berair. Aku mulai kesal dan menganggap Mey teman yang menyebalkan.
“Mey?!” bentak ku dengan menambahkan sorotan mataku yang tajam, sorotan yang kupelajari dari seorang senior ketika aku menjadi anggota patroli keamanan sekolah ketika aku berada di bangku sekolah menangah atas.
“Baiklah-baiklah... maafkan aku...” katanya tersendat. Aku bisa melihat bahwa Mey masih berusaha -dengan sangat keras- untuk menghentikan tawanya.
Aku mengetuk-ngetukan jariku di atas meja berwarna cokelat yang selama ini berada di anatar aku dan Mey, dan juga yang selama ini menjadi penghalang hingga akhirnya aku berhasil untuk tidak membunuh Mey dengan tawanya yang menyebalkan.
“Kau tahu kan? Kau terdengar sangat dramatis disetiap cerita yang kau ceritakan, dan begitu melo-drama.” Komentarnya kemudian ketika akhirnya tawanya berhenti total.
“Aku hanya menceritakan semuanya padamu, selengkap-lengkapnya.”
“Ya, aku tahu.” Potongnya cepat. Ia lalu menyesap teh hijau di depannya dan kemudian membetulkan letak kacamata berbentuk persegi panjang yang membingkai mata sipitnya.
“Dan kau juga tahu, bahwa mimpi seperti potongan-potongan puzzle yang mengendap dalam alam bawah sadarmu. Mimpi adalah refleksi dari apa yang sebenarnya ingin kau lakukan, tapi tidak bisa kau wujudkan di alam nyata.”
“Atau...”
“Atau juga hanya serpihan bayang-bayang dari apa yang kau lihat, dengar, rasakan, yang secara tidak langsung membentuk partikel yang saling acak dan kemudian menjadikan itu sebuah mimpi yang sulit untuk di tebak jalannya.” Mey melirik ke arahku sebelum melanjutkan penjelasannya, “atau mungkin gabungan dari kedua hal tersebut.”
Aku terdiam mendengar argumennya. Argumen itu adalah hal yang kami bentuk bersama-sama beberapa tahun yang lalu ketika obrolan kami yang kadang aneh berkisar sekitar mimpi dan faktor apa saja yang mungkin bisa menjadikan sebuah mimpi, tentunya kami berlagak sok tahu kaarena tidak ada referensi buku apapun yang mengilhami kami membuat argumen ini.
Aku menghela nafas panjang, dan bisa kulihat Mey menyunggingkan sedikit senyum di sudut bibirnya yang mungil. “Kau benar.” Kataku kemudian.
Mey kembali menyesap teh hijaunya dan menatapku dengan mata sipitnya, “jadi menurutmu, manakah yang mengilhami mimpimu tadi malam?”
“Aku tidak tahu... kau tahu bahwa sudah sangat lama, dan tidak sepatutnya mimpi itu datang ketika aku sudah berada sejauh ini!”
Mey menaikan sebelah alisnya dan kemudian berdiri sembari menarik tanganku. “Well, tapi itulah yang terjadi, dan ternyata mimpi itu cukup patut untuk bercokol di mimpimu.”
“Bercokol? Kata apa itu?” protesku tanpa ada tanggapan yang berarti dari Mey.
Mey mengibaskan tangannya ke kiri dan ke kanan seolah menyingkirkan asap rokok di depannya.
“Dengar ya... aku akan memberimu saran terakhir sebagai orang yang mengatahui paling tidak seperempat hidup yang kau jalani dari total umurmu sekarang.”
“Hah?”
Mey berkacak pinggang, dan kemudian dengan gerakan jarinya menyuruhku untuk duduk di tempatku sembari ia berjalan mondar-mandir di depanku. Mencari wangsit, begitu katanya ketika aku bertanya kenapa ia berjalan bolak-balik seperti sertrika rusak.
“Pertama, kau tidak benar-benar mencitai orang yang akan kau nikahi dalam waktu satu bulan lebih beberapa hari.”
Mataku membelalak lebar ketika aku mendengarnya dan baru saja akan menginterupsinnya ketika Mey dengan gerakan tangannya menghentikan apa yang baru saja akan meluncur keluar dari bibirku.
“Kedua, kau masih mencintai Ari, percaya atau tidak.” Aku semakin membelalak, “dan ketiga...” Mey memberi jeda sejenak hingga ia akhirnya melanjutkan perkataannya, “berhentilah lari dari hatimu, turuti kehendaknya. Tinggalkan Johan sialan itu dan datanglah kepada Ari-mu tercinta.”
Mey berhenti tepat di depanku, dan aku berdiri. Menatapnya tidak percaya dan dengan langkah-langkah panjang mulai meninggalkannya dengan bill yang belum terbayar. Aku sudah janji aku yang mentraktir, tapi mendengar perkataanya yang sangat tidak masuk akal, akupun marah dan melupakan semua janjiku.
Aku tidak tahu kemana kakiku akan membawaku ketika akhirnya aku berhenti di sebuah kanopi yang menjulang indah di tengah kota dengan pemandangan air mancur yang menjadi sentralnya. Aku duduk di salah satu sudutnya dan mulai mengutuki diri sendiri. Dari semua yang dikatakan Mey, aku bahkan tidak bisa sama sekali membalas omongannya ataupun menyangkal salah satunya. Yang aku lakukan hanyalah duduk diam dan membiarkan Mey mengatakan hal-hal mengerikan itu. Oh Tuhan...
@@@
28 hari menjelang pernikahanku.
Sudah satu minggu aku tidak bertemu dengan Mey. Aku menghindari untuk berkomunikasi bagaimanapun caranya dengannya. Aku masih marah dengannya, atau barangkali aku takut mendengar apa yang akan ia katakan. Apalagi, mimpi yang sama selalu berulang-ulang ketika aku terjaga, dan akibatnya, terdapat kantung hitam di bawah mataku karena ketakutanku berada di alam bawah sadar.
“Mbaak, mbak denger aku nggak sih?” suara serak salsa, adik ku menyadarkanku dari lamunanku.
“Eh? Ada apa?” tanyaku gelagapan, menyadari tindakanku.
Salsa menghembuskan nafas panjang, “Mbak bener-bener harus ngomong sama Mbak Mey.” Salsa bangun dan mengambil telepon genggamku.
“Apa?” tanyaku masih tidak mengerti arah pembicaraan Salsa.
“Apa lagi? Cepat hubungi Mbak Mey dan minta dia kesini! Aku benar-benar nggak sanggup menangani Mbak seorang diri. Seharusnya aku menolak ketika Ibu memintaku memeriksa keadaan Mbak di sini jika tahu kalau keberadaanku sama sekali nggak di anggap.”
“Salsa...” kataku sembari menarik nafas panjang, “maafkan Mbak, hanya saja banyak yang Mbak pikirkan akhir-akhir ini.”
“Ya... aku bisa melihat buktinya dari kantung mata di bawah mata Mbak. Suara Mbak pun terdengar lesu ketika Ibu menelponmu sampai Ibu menyuruhku menemanimu.” Jawabnya sambil menatapku heran. “Ada apa?”
Aku diam, tidak bisa menjawab apapun dan sepertinya Salsa cukup bijak untuk tidak memaksaku mengatakan apa yang terjadi.
“Baiklah, aku akan menghubungi Mbak Mey, dia selalu bisa mengatasimu.”
Maka begitulah, Salsa menghubungi Mey dan setengah jam kemudian Mey telah berada di depanku dengan senyumnya yang penuh ejekan padaku.
“Aku akan meninggalakan kalian sebentar, aku ada janji dengan temanku dan sebaiknya ketika aku kembali, Mbak sudah membuat keputusan yang tepat. Dengar Mbak, kami tidak akan menyalahkan Mbak atas setiap keputusan yang akan Mbak ambil. Kami sayang Mbak dan selalu ingin yang terbaik buat Mbak.” Salsa tersenyum di akhir kalimatnya dan kemudian menghilang seiring dengan suara pintu yang terbuka, kemudian tertutup pada detik yang selanjutnya. Meninggalkanku bersama Mey yang saat ini lagi-lagi tersenyum layaknya pemenang.
Look Disa! Bahkan adikmu mengerti masalah apa yang sedang kau buat sendiri!”
“Bukan aku yang membuat masalah. Tapi kau!” desisku tajam.
Mey hanya tertawa, “bukan aku yang bermimpi bebh, dan bukan aku yang akan menikah 28 hari lagi terhitung dari hari ini.”
“Kau pikir Salsa tahu apa yang baru saja dia katakan?”
I think so, kau tidak bisa meremehkan naluri seorang wanita walaupun dia masih SMA.”
“Apa kau pikir apa yang dikatakannya adalah cerminan dari kedua orangtuaku?”
Maybe yes, or no!” katanya santai, “wait... apa kau bermakud untuk menurut saranku?” pupil mata Mey melebar dan aku tahu itu tanda bahwa Mey sangat senang dengan kemungkinan aku menuruti sarannya.
“Aku tidak mengatakan bahwa aku akan mengikuti saranmu Mey! Aku hanya berkata bahwa mungkinkah?”
Mey tertawa lagi, demi Tuhan. Kenapa  mahluk yang satu ini senang sekali tertawa. “Itu tidak ada bedanya bahwa kau memikirkan saranku. Dan kujamin itulah yang harus kau lakukan jika kau tidak ingin menyesal.”
“Dan tentu saja aku tidak akan meelakukannya.”
Why?”
“Karena aku mencintai Johan!”
“Itu tidak benar.”
“Bagaimana kau mengatakan bahwa itu tidak benar? Bukan kau yang merasakan apa yang kurasakan!” balasku tak mau kalah.
“Kau hanya membutuhkan Johan untuk menikahimu 28 hari lagi, tapi jelas sekali kau tidak mencintainya!”
Aku menjadi gusar, “atas dasar apa kau mengatakan hal itu!”
“Observasi Mey! Observasi! Sesuatu yang selalu kau lakukan dalam pekerjaanmu!”
“Terangkan!” tantangku.
Mey mengambil ancang-ancang, “alasan Mey mengatakan bahwa Adisa hanya sekedar membutuhkan Johan, tapi tidak mencintainya.” Mey berkata tenang, sambil membuka buku agendanya yang berada di tas jinjing miliknya yang berwarna merah marun. Produk calvin klein, aku ingat kami membelinya ketika sedang ada diskon gila-gilaan.
“Pertama, Adisa selalu menjadi orang lain ketika ia bersama Johan.” Mey menatapku yang duduk sambil menatap tidak percaya dengan apa yang kulihat. Mey membaca agendanya ketika mengatakan apa yang dia ingin katakan, seperti sudah siap sebelumnya dan hanya menunggu waktu yang pas untuk membeberkannya padaku.
“Apa alasanya?”
“Biarkan aku membacanya sampai selesai, oke?”
Aku menurut dan membiarkan Mey melanjutkan ocehannya. Ah, ocehan mungkin terlalu kasar. Lagipula Mey benar-benar teman yang baik untukku. Jadi aku menurut dan membiarkan Mey melanjutkan membacakan hasil observasinya.
“Alasan pertama memang tidak menunjukan bahwa Adisa hanya membutuhkan Johan, tapi itu menjelaskan bahwa tidak seharusnya kau menjadi oranglain ketika bersama dengan orang yang au cintai. Jadi kesimpulannya, Adisa tidak mencintai Johan!”
Aku baru saja akan melontarkan protesku ketika sadar bahwa aku telah mengijinkan Mey membacakan hasil observasinya sampai selesai, jadi aku menelan bulat-bulat apa yang ingin aku katakan. Lagipula, aku rasa Mey mulai benar, dan astaga! Tidak, pemikiran seperti itu tidak boleh mampir walaupun sedetik di otakku.
“Kedua, alasan sebenarnya Adisa menikahi Johan karena ia kecewa dengan Ari hingga menjadikan Johan sebagai pelampiasan. Namun sepertinya Adisa sudah keterlaluan hingga akan menikah dengan orang yang ia tahu, tidak ia cintai.”
“Itu tidak benar! Aku tidak seperti apa yang kau katakan!”
“Ya, aku benar. Itulah awalnya, dan masih sama sampai sekarang.”
“Aku mencintai Johan!”
“Kau membutuhkan Johan, tapi tidak mencintainya. Johan membuatmu merasa di cintai, bertolak belakang dengan Ari yang membuatmu harus mencintainya. Tapi kau tahu bahwa Ari juga mencintaimu. Johan mengekspolasi rasa cintanya dengan kata-katanya, tapi Ari dengan perbuatannya mengatakan bahwa ia mencintaimu.”
“Memangnya kenapa kalau begitu? Itu bukan hal yang bisa membuatmu mengatakan bahwa aku tidak mencintai Johan!”
“Johan  adalah bentuk nyata dari imajimu, seperti tameng yang kau butuhkan untuk menolak keberadaan Ari di dalam hatimu! Kau harus akui itu Disa!”
Tubuhku lumpuh ketika Mey berhenti mengatakan sesuatu yang aku tahu, itu semua adalah benar. Bisa kulihat Mey panik ketika mendapatiku jatuh berlutut di lantai yang dingin. Mey membuang agendanya dan terbuka ketika ia berteriak panik memanggil namaku bersamaan dengan langkahnya yang berlari ke arahku. Ketika itu, waktu seakan melambat dan pandanganku bisa 100 kali lebih tajam daripada biasanya. Di buku agenda Mey, tercatat paling tidak 5 poin alasan kenapa aku hanya membutuhkan Johan, tapi tidak mencintainya. Tapi bahkan hanya sampai point ke dua dan alam bawah sadarku sudah meneriakan bahwa semua yang di katakan Mey adalah kenyataan yang sesunguhnya. Bahwa selama ini aku hanya menggunakan Johan sebagai tamengku.
Tatapanku kosong, dan air mata jatuh tanpa bisa ku cegah. Aku menangis seperti anak kecil dengan lengan Mey yang memeluk ku.
“Mey... apa yang harus kulakukan?” kataku di tengah-tengah tangisku.
“Mey... aku mencintai Ari... Mey, apa yang harus kulakukan?”
Mey hanya diam, membiarkanku meracau dengan omonganu di tengah isak tangisku, dan aku bisa merasakan bahwa saat itu, Mey pun ikut menangis bersamaku. Menyedihkan sekali, bahkan lebih menyedihkan jikalau dunia ini hanya mempunyai dua warna, hitam dan putih.
@@@
25 hari menjelang pernikahanku.
Mey menggenggam tanganku erat dan berkali-kali ia mengucapkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mengatakan bahwa aku bisa melewatinya. Mengatakan bahwa aku adalah wanita kuat yang selalu bisa mengatasi segala halangan dan rintangan yang melandaku.
Tapi, tak tahukah kau Mey? Bahwa dalam hal perasaan maupun cinta, bahkan seorang pejuang terkuatpun akan luluh dan menjadi tak berdaya. Bahkan di hadapan cinta, seorang Romeo rela mati demi bersama dengan kekasihnya, seorang Qais pun menjadi gila oleh perasaanya. Tapi mungkin kisahku tak setragis kisah mereka, itu yang selalu kita bicarakan ketika kau kehilangan cinta pertamamu kan Mey? Maka biarlah sekali lagi kekuatanmu mengisiku dan membuatku menuju bahagiaku hingga aku tidak akan menyesalinya di masa depan nanti.
Johan datang menemuiku, masih denga gayanya yang biasa. Setelan kemeja dan celana panjang berwarna hitam. Sangat berbeda dengan penampilan Ari yang sehari-harinya hanya menggunakan kaus dengan celana denim. Bahkan dalam mimpiku, Ari mengenakan kaos putih panjang dengan celana denim berwarna biru. Rambut Johan rapi dengan gel berbau maskulin yang tercium jika kau cukup dekat dengannya. Sementara Ari selalu membiarkan rambutnya jatuh di bahunya, di keningnya, di samping telinganya tanpa gel.
Tuhan... kenapa baru saat ini aku menyadari bahwa aku sangat mencintai Ari? Aku bahkan merindukannya hingga dadaku sesak. Tapi disini, terlebih dahulu aku harus menyelesaikan urusanku dengan Johan yang aku tahu, akan membuat Johan sedih karena perbuatanku.
Johan sampai di tempat ini dan aku bisa melihatnya ketika ia memasuki pintu yang terbuat dari kaca transparan.
Mey menggenggam tanganku lebih erat, dan aku tahu ini adalah saatnya Mey membiarkanku hanya berdua dengan Johan. Aku tersenyum pada Mey dan ia dengan enggan mengangguk dan melepaskan genggamannya untuk kemudian pergi meninggalkanku.
Johan kini berada di depanku, hanya meja selebar kurang dari setangah meter yang memisahkan aku dengannya. Wajahnya murung, dan awan mendung seperti tergambar jelas disana. Seperti ia tahu tujuanku memintanya datang menemuiku disini.
Hening diantara kami, tidak seorangpun dari kami ingin memulai pembicaraan yang menyakitkan ini. Tidak, itu tidak benar, itu menyakitkan hanya untuk Johan. Kenyataannya aku cukup kejam hingga memperalat Johan sampai sejauh ini. Sampai dua tahun setelah aku melepaskan hubunganku dengan Ari. Betapa menjijikannya aku.
Aku menggigigt bibirku, dan tanpa awal mula yang menjanjikan, aku menetaskan air mataku yang menetes tak tahu malu.
Johan tetap tidak bergeming, tidak seperti biasanya ketika aku menangis dan kemudian ia akan memelukku, menenangkanku dengan kata-katanya. Seolah-olah ada palang peringatan bahwa tujuan Johan kesini bukanlah untuk menghiburku seperti biasanya. Tugas itu telah selesai dan ia tidak bisa melakukan itu lagi.
“Aku... selalu bertanya kapan saat ini akan tiba...” ucap Johan dengan suara bariton nya.
Aku tidak berani menatapnya, dan hanya bisa terus merunduk dengan tetesan air mata yang semakin tak tahu malu untuk keluar.
“Bolehkan, bolehkan aku yang mengakhiri ini?”
Aku makin tersedu ketika mendengar ucapannya. Johan, maafkan aku... Aku meraung dalam hati. Kau tahu aku tidak bisa berkata-kata saat ini, dapatkan kau mendengarkan permintaan maafku yang menjijikan itu Johan? Maafkan aku, maafkan aku...
“Tidak ada yang perlu dimaafkan Disa. Kau tidak bersalah, sama seperti aku juga tidak bersalah kepadamu.”
Aku masih tersedu.
“Lagipula, aku yang mengakhiri hubungan ini. Aku rasa aku tidak sanggup untuk membina rumah tangga bersamamu. Kau tahu aku terlalu sempurna untuk menjadi suamimu dan aku bisa mencari seorang istri yang lebih baik darimu.”
Lihat. Kau bahkan memberiku alasan Johan. Kau benar laki-laki yang baik, tapi kenapa aku tidak bisa mencintaimu? Bukankah seharusnya aku bisa mencintaimu? Kenapa aku tidak bisa?
Karena rasa cinta adalah sesuatu yang tidak bisa kau manipulasi. Itu argumen lain yang aku dan Mey buat. Hasil dari pembicaraan-pembicaraan kami yang kadang aneh.
“Terima kasih kau sudah menemaniku sampai sejauh ini. Tapi sayangnya, semua itu harus berakhir. Mulai detik ini, kau, Adisa, bukan lagi calon istriku yang 25 hari lagi akan ku nikahi.”
@@@
Bau cat minyak mendominasi ruangan berukuran 3x3 yang didalamnya penuh sesak dengan kanvas yang telah meninggalkan jejak putihnya. Di tengah ruangan, duduk seorang pria yang sedang memegang kuas tanpa cat minyak yang berada di dekatnya. Tidak, pria itu tidak sedang melukis atau sebagainya. Pria itu hanya duduk di tengah ruangan sembari menatap figur dalam lukisan di atas kanvas di depannya.
Aku melangkah mendekatinya yang masih saja tidak menyadari akan keberadaan manusia lain dalam sangkarnya yang kecil itu. Aku menatap punggungnya lama, dan tersenyum ketika menyadari bahwa hanya beberapa langkah lagi dan aku akan bisa bersamanya. Terlepas dari apapun yang pernah terjadi, aku menyadari bahwa ia pun masih mencintaiku seperti aku mencintainya. Tidak peduli bahwa dua tahun yang lalu, ketika aku memintanya menikahiku dia dengan cepat menjawab ”tidak”.
Ketika itu, aku sangat kecewa padamu dan menganggap bahwa kau tidak mencintaiku seperi aku mencintaimu. Aku hanya berburuk sangka kepadamu, dan enggan bertanya lebih jauh kenapa kau mengatakan tidak. Bukankah saat itu aku begitu egois? Aku bahkan tidak mempunyai sedikit keinginan mendengar alasanmu.
Setelah aku tahu alasanmu pun, (bahwa kau mengetahui Ibuku sakit dan aku harus menemaninya dan merawaatnya dengan baik, atau aku akan menyesalinya kemudian, tapi kau tidak pernah mau memberitahukan padaku dan hanya diam. ketika itu hubunganmu dengan Ibuku deimikian buruk, tapi tidak pernah kau begitu egois untuk memiliki ku hanya untukmu seorang) aku telah memiliki Johan sehingga egoku tidak mengijinkan ku untuk meminta maaf dan kembali padamu. Tapi hari ini, lagi-lagi aku datang seperti sebelumnya dengan harapan bahwa kau akan menerimaku kembali dalam hatimu, dalam kehidupanmu.
Aku tidak tahu apa penyebabnya ketika ku lihat tubuhmu tersentak, dan kemudian kau berbalik dan menemukanku menatapmu. Tatapan kita bertemu. Seolah bumi berhenti berputar dan dimensi yang bernama waktu tak ada lagi, kita hanyut dalam imaji masing-masing. Aku menyelami kedalaman matamu yang melukiskan kerinduanmu akan kehadiranku. Bukankah rindu itu sangat menyesakkan? Lalu matamu melukiskan sesuatu yang lain, sesuatu yang menandakan bahwa kehadiranku untukmu adalah sebuah anugerah terindah yang pernah kau dapat. Aku ingat kau pernah mengatakan hal itu kepadaku. Ketika itu aku hanya menanggapinya dengan senyuman tanpa kata-kata. Tapi bisakah kau melihatnya juga di kedalaman mataku bahwa kaupun seperti anugerah untuk ku. Ari, aku kembali. Aku mencintaimu.
Di dunia tanpa kata-kata, dimana diam adalah salah satu alat dimana kita dapat saling memahami satu sama lain. Lalu aku merasa kesadaran terpatri di hatimu, bahwa ada satu cara agar aku tidak pergi darimu, tidak lari darimu lagi, dan tidak akan meninggalkanmu. Kau bertanya padaku... apakah aku mau menjadi pengantinmu?
Akupun menjawab, aku mau... aku mau menjadi pengantinmu, Ari...