Senin, 14 Januari 2013

Bintang Laut Keemasan


Satu hal yang selalu ku syukuri adalah karena aku terlahir di sebuah wilayah pesisir. Memang rumahku tidak tepat berada di pinggir pantai. Namun jarak pantai dari kediamanku sendiri pun tidak begitu jauh, hanya menempuh 30 menit perjalanan.
Aku sangat suka pantai, melebihi rasa suka ku pada cokelat (cokelat yang enak itu kan rata-rata mahal, untuk ukuran kantong mahasiswa sepertiku itu adalah sebuah pemborosan).
Aku suka pantai,
Aku suka bau asin angin saat aku berada di tepi pantai,
Aku suka suara ombak yang datang silih berganti, seolah-olah membawa perasaan negatif dan memunculkan perasaan positif,
Aku suka saat kakiku merasakan pasir pantai yang tidak lembut, tapi juga tidak menyakitkan,
Aku suka menatap kapal laut yang sedang di gunakan para nelayan sekedar untuk mencari nafkah untuk keluarganya,
Aku suka memandanga saat matahari terbit ataupun tenggelam di lepas pantai sana,
Aku suka melihat kawanan burung yang melintas untuk mencari makan atupun hanya untuk  bergerak memamerkan sayapnya yang dapat membuatnya terbang.
Aku mengamati pantai ku. Sudah berapa lama aku tidak mengunjunginya?
Keadaanku yang sekarang memang tidak memungkinkan untukku mengunjungi pantaiku terlalu sering. Kini aku adalah seorang perantau di sebuah kota yang tidak mempunyai pantai.
Aku menarik nafas panjang, berusaha menikmati udara-udara di sekelilingku yang membuatku nyaman, rasanya seperti kembali ke waktu dulu.
Mataku menangkap pemandangan yang menarik kala itu. Seorang kakek berwajah arif sedang di kelilingi anak-anak kecil.
“Bintang laut berwarna keemasan….”
“Apa itu ada kakek?” tanya seorang anak laki-laki, ku taksir umurnya sekitar 4 atau 5 tahun dengan gigi tanggal di bagian depannya, khas anak kecil.
“Jika kau percaya, itu pasti ada…”
“Dapatkan aku menemukannya?” kata seorang Gadis dengan rambut kepang dua, matanya berbinar indah dengan pita-pita lucu yang menghiasinya.
“Hanya orang yang mempunyai jiwa yang bersih yang bisa menemukannya.”
“Jadi, aku juga bisa menemukannya?” kata  anak laki-laki itu bersemangat.
“Tentu saja…” kakek itu tersenyum menenangkan, dan anak-anak di sekelilingnya pun ribut berkasak-kusuk ria, merencanakan untuk mencari bintang laut itu.
“Memangnya, untuk apa bintang laut itu?” kataku bersuara, sejak tadi aku memang sudah bergabung dengan kerumunan kecil itu, mengamati polah mereka dari dekat.
“Kakak tidak tahu ya? Bintang laut itu bisa mengabulkan keinginan kakak!” gadis kepang dua itu menjawab.
Aku terkekeh pelan… “Wow, ajaib sekali kalau begitu. Lalu, apa yang akan kau minta dari bintang laut itu?”
“Aku ingin minta agar bisa bertemu Ayah dan main mobil-mobilan sama Ayah.” Anak laki-laki itu menjawab.
“Aku ingin boneka barbie seperti punya temanku.”
“Aku ingin pergi ke taman ria bersama ayah dan ibu.”
“Aku ingin nonton film sama kakak ku.”
Dan satu-satu anak mulai mengatakan keinginannya. Aku tersenyum mendengar permintaan lugu mereka. Betapa sangat sederhana, namun terasa hangat sampai ke hati.
Aku berpamitan pada kakeh bermata arif itu, dan ia memberikan senyum yang teduh padaku.
Aku mulai menyisir tepi pantai dengan membawa lamunan-lamunan indah yang tiba-tiba datang dan menyesaki otakku ketika aku melihat cahaya kecil di kejauhan. Aku yang penasaran berlalu ke arahnya dan dengan kaki telanjang, aku berjalan ke cahaya itu dan meraih cahaya di dalamnya.
Bintang laut keemasan. Itu nyata, dan kini ada dalam genggamanku, berpendar indah di senja yang berkilau.
Satu permintaan.
Apa permintaanku?
Bintang laut itu masih berpendar indah di tanganku.
Jadi, apa keinginanku yang sesungguhnya?
Aku memejamkan mataku dan berbisik pelan…
“Aku ingin….”
@@@
Teman perjalananku membangunkan aku dari tidur sesaatku.
“Apa kita sudah sampai?” tanyaku dengan linglung.
Aku ingat bahwa aku kini sedang dalam perjalanan pulang setelah kemarin menempuh berbagai ujian akhir. Sedikit liburan untuk merefreshingkan otak.
“Sebentar lagi, sebaiknya kita bersiap.” Katanya kemudian.
Aku lalu mengambil barang bawaanku sambil memikirkan mimpi yang tiba-tiba tercetak. Apa yang kumimpikan mungkin hanyalah hadiah dari Tuhan untuk menemani perjalanannku. Tentang sesuatu yang ku inginkan?
Aku rasa aku tidak perlu mencari Bintang Laut keemasan untuk mengabulkan permintaan itu. Yang ku butuhkan hanyalah tekad yang kuat dan perasaan bahagia yang bisa ku cari dan ku buat sendiri. Tentunya dengan orang-orang yang berharga dalam hidupku…
Bis telah berhenti di terminal tujuanku. Aku berdiri dengan di dahului oleh teman perjalananku. Ia menggenggam erat tanganku dan menuntuku untuk segera turun dari bis.
Beberapa saat aku mengamati tangan hangat yang menggenngam erat tanganku. aku tersenyum melihatnya, entah bagaimana dia lalu memandangku dan memberikan juga senyum yang selalu membuat hariku lebih berwarna.  Dia salah satu orang berhargaku yang memberikan kebahagiaan untuk ku. Dan aku janji, akan menjaganya dengan sepenuh jiwaku.
 :)

Senja Jingga




          Suasana  sekolah  sudah  hampir  sepi  hanya  ada  beberapa  anak  yang  tidak  jelas  entah  sedang  melakukan  apa.  Aku  memandang  mereka  sejenak,  disudut  ruangan  terdapat  sekelompok  anak  perempuan  yang  sedang  bergumul  dengan  buku-buku  yang  tercecer  didepannya  tak  karuan.  Dan  disudut  lain  aku  melihat  sepasang  sejoli  tertawa-tawa  riang,  tak  peduli  pada  tiap  tatapan  iri  yang  memandang  mereka.  Aku  menguap  lebar,  bosan.  Kuangkat  tubuhku  yang  sedari  tadi  ku  senderkan  diatas  meja.  Sebuah  novel  dengan  tebal  kurang  lebih  dua  ratus  halaman  telah  selesai  ku  baca.   Sedangkan  seseorang  yang  duduk  tak  jauh  dariku masih  saja  asik  dengan  soal-soal  fisika  yang  tadi  kuberikan.  Penampilannya  sekarang  sudah  tak  karuan,  rambutnya  acak-acakan  dan  beberapa  kali  ia  membenarkan  posisi  kacamatanya  yang  lagi-lagi  melorot  ke  hidungnya  yang  mancung.  Aku  tertawa  kecil,  teringat  kesombongannya  beberapa  hari  yang  lalu,  saat  aku  dengan  usil  bertanya  padanya,
“Hei  Ken  Karuizawa,  kenapa  kau  bisa  begitu  pandai?  Kau  bisa  melahap  habis  soal-soal  pelajaran  eksak  seakan-akan  itu  adalah  makan  pokokmu  sehari-hari.”  Tanyaku  kesal  karena  saat  itu,  lagi-lagi  aku  mendapat  nilai  yang  mengerikan  untuk  pelajaran  fisika,  dan  lagi-lagi  ia  mendapat  nilai sempurna.
Saat  itu,  dia  yang  sedang  bersantai  membaca,  langsung  menutup  bukunya  dan  berpaling  padaku.  Dia  tersenyum,  manis  sekali.  Senyum  yang  bisa  membuat  orang  yang  melihatnya  langsung  jatuh  hati  padanya.
“Wah  wah. . . .  jadi  menurutmu  aku  pandai  ya?”  tanyanya  santai, tapi  sepertinya  ia  mengejekku.  Jika  dia,  siswa  yang  sejak  kedatangannya  ke  sekolahku  selalu  masuk  peringkat  tiga  besar di  sekolah  bukan  seorang  yang  pandai,  lalu  aku  yang  hanya  berhasil  masuk  peringkat  sepuluh  besar  di  kelas  itu  apa?  aku  mendengus  kesal  memikirkannya.  Dia  tersenyum  lagi,  mengubah  posisi  duduknya  berhadapan  denganku,  dan  memiringkan  kepalanya.  Ia  lalu  menepuk  pipiku  singkat,  saat  itu,  entah  kenapa  seperti  ada  jutaan  listrik  yang  masuk  kedalam  tubuhku.  Tapi   aku  berusaha  untuk  mengabaikannya.
“Eeem,  aku  tidak  tahu  kenapa  aku  pandai,  mungkin  itu  sudah  takdir,”  katanya  sambil  tertawa  kecil.  “Tapi  jika  kau  bertanya  kenapa  aku  jago  mengerjakan  soal-soal  eksak,  mungkin  itu  karena  aku  sering  latihan.  Hanya  itu.”
Aku  membulatkan  mataku  mendengar  jawabannya.  “Hanya  itu?”
Ken  tersenyum  kecil,  “Benar,  hanya  itu.  Tapi  sekarang  terbukti  kan?  Aku  jadi  jago  mengerjakan  soal-soal eksak,  bahkan  mungkin  sekarang  tidak  ada  satu  soalpun  yang  tak  bisa  kukerjakan.”  Katanya menyombongkan  diri.
Aku  mencibir  lirih,  “sombong  sekali”,  sedangkan  ia  malah  tertawa  lebar.
“Baiklah,  akan  kucarikan  soal-soal  yang  tak  mungkin  bisa  kau  pecahkan!”  batinku  saat  itu.  Dan  beberapa  hari  itu  aku  mencoba  mencari  diinternet  dan  aku  menemukan  soal-soal  itu.,  Soal-soal  yang  sekarang  sedang  Ken  hadapi,  dan  bahkan  sekarang  belum  selesai  Ken  kerjakan.
          Aku  kini  berdiri  disampingnya,  melirik  pekerjaannya  sekarang.  Dan  mengacak  rambutnya  yang  memang  telah  acak-acakan.
“Ck. . . ck. . .ck. . .  sepertinya  tuan  Ken  merasa  kesulitan  ya?”  Dia  mendengus  kesal  dan  aku  mulai  tertawa.  “sudahlah,  tenggang  waktu  yang  kuberikan  hampir  habis.”  Kataku  meledek,  tapi  ia  sama  sekali  tidak  menggubrisnya.  Sudahlah,  terserah  dia  saja.  Tiba-tiba  terdengar  sorakan,  ternyata  sorakan  supporter  pertandingan  bola  yang  sedang  berlangsung.  Aku  segera  tertarik  dan  membuka  jendela  untuk  menontonnya.  Kelasku  ada  dilantai  tiga  gedung  sekolah  ini,  dan  dari  sini  aku  bisa  melihat  arena  pertandingan  dengan  baik.  Aku  menjulurkan  leherku  dan  langsung  asik  menonton  pertandingan  yang  sedang  berlangsung.  Dua  puluh  siswa  laki-laki  asik  berlarian  dan  berebut  bola,  sedangkan  dua pemain  lainnya  sebagai  kipper  berdiri  didepan  gawang.  Diantara  para  pemain  bola  itu  yang  paling  menonjol  diantara  yang  lain  adalah  Jimmie.  Selain  itu,  dia  juga  yang  paling  populer  dan  mempunyai  supporter  terbanyak.  Ia  orang  indo,  ayahnya  adalah  orang  Perancis  dan  ibunya  orang  Indonesia.  Ia  banyak  mewarisi  paras  ayahnya  yang  orang  Perancis.  Kulitnya  memang  putih  walaupun  tidak  seputih  kulit  ayahnya,  perpaduan  dengan  kulit  ibunya  yang  orang  Asia  benar-benar  membuatnya  tampan.  Aku   tahu  itu  kerena  aku  pernah  bertemu  dengan  orangtuanya  sekali.  Rambutnya  berwarna  cokelat  terang  seperti  Ayahnya.  Jimmie  juga  mempunyai  mata  abu-abu  ayahnya  yang  hangat,  tapi  bentuk  mulut   dan  hidungnya  seperti  ibunya  yang  cantik.  Parasnya  begitu  sempurna  dan  tentu  saja,  itu  membuat  banyak  gadis  tergila-gila  padanya.  Apalagi  dengan  kemampuan  olahraganya  dan  dipadu  dengan  kecerdasan  otaknya  yang  luar  biasa.  Lengkap  sudahlah  kesempurnaan  yang  melekat  pada  dirinya.
          Supporter  Jimmie  bersorak  riang,  rupanya  ia  baru  saja  mencetak  satu  goal  digawang  lawan.  Aku  ikut  bertepuk  tangan.
“Bravo  Jimmie!”  teriakku  dari  jendela.  Entah  suaraku  terdengar  olehnya  atau  tidak.  Tapi  sepertinya  ia  mendengarnya,  karena  tak  berapa  lama  ia  mendongakkan  kepalanya  dan  tersenyum.  Aku  lalu  mengacungkan  jempolku  untuknya.
“Hei,  bisakah  kau  diam?  Kau  ini,  membuat  konsentrasiku  hilang  saja!”  kata  Ken  mencibirku.  Aku  membalikan  badanya  dan  melihat  penampilannya  yang  semakin  tidak  karuan.  Aku  tertawa  melihatnya.
“Wah. . .  wah. . .  kau  sudah  menyerah  ya?”  ledekku  tanpa  ampun.  Tak  lama,  suara  peluit  berbunyi,  sepertinya  pertandingan  telah  selesai.  Aku  membalikan  badanku  memandang  langit  jingga  yang  terbentang  didepanku.  Begitu  indah,  begitu  mempesona.  Para  pemain  dan  supporter  perlahan-lahan  mulai  meninggalkan  lapangan  sepak  bola.  Kulirik  jam  tanganku,  sudah  sore ternyata.  Angin  dingin  berhembus  dan  menerpa  wajahku,  begitu  menyenangkan.  Tapi  dengan  begini,  sudah  waktunya  untuk  pulang.  Aku  menutup  jendela  kelasku  dan  berjalan  mendekati  Ken.   Merebut  kertas  ditangannya.  Ia  mendengus  kesal.
“Sudahlah,  waktu  habis.  Besok  akan  kuberikan  kunci  jawabannya.”  Kataku  pada  akhirnya  tak  tega  melihatnya  menjadi  frustasi  juka  tidak  tahu  cara  menyelesaikannya.  “Dan  karena  kau  gagal  menyelesaikannya,  besok  kau  harus  mentraktirku  makan  siang dikantin.”  Kataku  sambil  membereskan  tas ku  dan  kemudian  memakainya  dipunggungku.  Aku  berjalan  menuju  pintu  tanpa  menghiraukannya,  barulah  setelah  aku  telah  berada  diambang  pintu,  kulirik  Ken  sekilas.  Dia  masih  tampak  kacau,  tapi  sekarang  sedang  membereskan  tasnya.
“Kenapa  kau  lelet  sekali,  ayo  cepat!”  kataku  sedikit  membentaknya.  Ia  mendengus  sebal  dan  aku  tertawa  lagi,  sepertinya  hari  ini  aku  terlalu  banyak  tertawa,  bisa-bisa  kantong  tertawaku  habis.  Aku  mulai  berjalan  dan  tidak  berapa  lama  Ken  telah  menyusulku  dan  berjalan  pulang  bersamaku.
“Sepertinya  besok  aku  akan  bengkrut.”  Katanya  sambil  mendengus  pasrah.

xxxxxx

Saat  itu,  awal  semester  empat.  Sebelumnya  sudah  terdengar  kasak-kusuk  akan  ada  murid  pindahan  disekolahku.  Tapi  kami  tidak  tahu  bahwa  anak  itu  akan  menjadi  teman  sekelasku.  Dia  adalah  Ken  Karuizawa  atau  Ken  Raditya,  dengan  sekejap,  kelas  sudah  menjadi  gaduh  dibuatnya,  Rendi  ketua  kelasku  sangat  senang  akan  kedatangan  Ken,  karena  menurutnya  dengan  begini  kelasnya  tidak  akan  kalah  dengan  kelas  sebelah  yang  sebelumnya  telah  mendapatkan  Jimmie  yang  berdarah  Perancis.  Kedatangan  Jimmie  memang  menggemparkan,  apalagi  karena  ia  adalah  pindahan  dari  Perancis  langsung,  tapi  ia  dengan  cepatnya  bisa  mengerti  dan  mempelajari  bahasa  Indonesia, guru bahasaku saja sampai terkagum-kagum dibuatnya.  Dan  sekarang  kelas  kami  kedatangan  siswa  berdarah  Jepang.  Penampilannya  saat  itu  begitu  mempesona,  setidaknya  saat  itu  aku  juga  terpesona  olehnya,  matanya   berwarna  cokelat  dengan  bulu  matanya  yang  lentik  dan  tebal. Rambutnya hitam  lebat  dan  modelnya  seperti  Shinichi  Kudo  jika  kau  tahu  komik  Detektif  Conan.  Badanya  tegap  berisi  dan  proposional,  ia  juga  murah  senyum.  Dia  pindahan  dari  Bandung,  Rendi  agak  sedikit  kecewa  mendengar  hal  ini.  Ia  hanya  pernah  tinggal  di  Jepang  sampai  usianya  lima  tahun,  dan  karena  Ibunya  yang  berdarah  Jepang  asli  meninggal,  Ayahnya  memutuskan  untuk  merawat  Ken  di  Indonesia,  tempat  kelahiran  Ayahnya.  Ayahnya  tidak  menikah  setelah  itu.  Jadi  hingga  sekarang  Ken  hanya  tinggal  berdua  dengan  Ayahnya,  dan  kadang  Ayahnya  menyuruh  seorang  bibi  untuk  membantu  pekerjaan  rumah  yang  tidak  bisa  Ken  selesaikan.  Mungkin  itulah  sebabnya  Ken  mempunyai  waktu  luang  yang  banyak  yang  bisa  ia  gunakan  untuk  mencoba  soal-soal  eksak.
Setelah  perkenalan  itu,  wali  kelas  mengijinkan  kami  untuk  bertanya  pada  Ken,  dan  seperti  dugaanku,  hampir  semua  anak  mengangkat  tangannya,  dan  entah  siapa  yang  memulainya,  seseorang  mulai  bertanya  disusul  dengan  beragam  pertanyaan  lainnya,  mulai  dari  pertanyaan  yang  tidak  penting  sampai  pertanyaan  yang  konyol.  Ken  tertawa  melihat  situasi  kelasku  saat  itu,  tawanya  begitu  renyah  dan  menyenangkan.  Matanya  hanya  menyisakan  sebuah  garis  saat  ia  tertawa  dan  hal  itu  sungguh  membuat  ia  semakin  menawan.  Tak  lama,  anak-anak  lain  juga  ikut  tertawa.  Wajar  saja,  karena  tawa  Ken  adalah  jenis  tawa  yang  menular.
“Tenanglah,  kita  masih  punya  banyak  waktu  untuk  saling  mengenal.  Tidak  usah  terburu-buru  seperti  itu.”  Katanya  setelah  tawanya  mereda.  Ia  lalu  tersenyum.  Senyum  yang  juga  mempesona,  tak  kalah  dengan  senyuman  milik  Jimmie.  Aku  yakin  ia  juga  akan  menjadi  orang  terkenal  disekolah  ini.  Pasti.  Hari  itu  juga,  Ken  didaulat  menjadi  teman  sebangku  ku.  Sebenarnya  aku  tidak  keberatan  jika  saja  teman-teman  yang  lain  tidak  menghujaniku  dengan  tatapan  iri.  Tapi  ini  perintah  wali  kelasku  sehingga  aku  tidak  bisa  menolaknya.  Aku  ditugaskan  untuk  membantu  Ken  beradaptasi  disekolah  ini.  Aku  yang  bertugas  mengurusi  masalah  buku-bukunya  dan  keperluan  lainnya.  Seharusnya  ini  tugas  Rendi,  tapi  saat  itu  ia  sudah  terlalu  sibuk  dengan  tugas  sebagai  ketua  Osis.
          Setelah  itu,  kami  mulai  berteman  akrab  dan  beberapa  kali  aku  dibantu  olehnya  terutama  saat  ulangan  tentunya.  Dan  dengan  segera,  aku  mulai  bisa  melihat  persamaannya  dengan  Jimmie.  Mereka  sama-sama  murid  pindahan  yang  berdarah  campuran.  Mereka  sama-sama  tampan.  Kemampuan  akademis  mereka  juga  sama-sama  bagus.  Bidang  olahraga  mereka  kuasai.  Lama-lama  aku  berfikir,  kenapa  bisa  ada  orang  yang  begitu  sempurna  seperti  mereka?  Tapi  bagaimanapun  mereka  pasti  punya  kekurangan  juga,  pikirku  saat  itu.

xxxxxx

          Bel  istirahat  berbunyi  indah  ditelingaku.  Dengan  segera  aku  menyeret  Ken  menuju  kantin.  Perutku  sudah  keroncongan  sejak  tadi,  cacing  diperutku  sepertinya  sudah  mengadakan  pawai  besar-besaran.  Sudah  sejak  tadi  perutku  berbunyi  nyaring,  dan  sepertinya  Ken  mendengarnya  sekilas  dan  hanya  tertawa  pelan.
“Memangnya  kau  sudah  tidak  makan  berapa  abad  sih?”  tanyanya  saat  kami  telah  duduk  di  kantin,  dan  aku  telah  memesan  beberapa  makanan.
“Semalam  aku  terlalu  lelah  untuk  makan  malam,  dan  tadi  pagi  aku  bangun  kesiangan.  Jadi  tidak  sempat  sarapan.”  Jelasku.
“Itukan  salahmu,”  katanya  mengejek.
Tak  lama  setelah  itu  pesananku  berangsur-angsur  datang.  Aku  memandang  makanan  itu  dengan  mata  berbinar  dan  Ken  menganggap  hal  itu  lucu,  jadi  ia  tertawa  lagi.  Kenapa  orang  ini  selalu  saja  tertawa?  Tanpa  segan-segan  aku  melahap  habis  semuanya,  sedangkan  Ken  hanya  melihatku  ngeri.  Tidak  menyangka  selera  makanku  begitu  besar,  karena  badanku  bisa  dikatakan  kurus,  walau  tidak  terlalu  kurus  juga.  Badanku  memang  aneh,  seberapa  banyak  aku  makan,  perutku  tidak  akan  menjadi  buncit  atau  mengembang,  sepertinya  cacing  didalam  perutku  benar-benar  sangat  buas.  Aku  harus  ingat  untuk  meminum  obat  cacing  sepulang  sekolah  nanti.
“Kau  mengerikan.”  Kata  Ken  dengan  suara  mendesis,  aku  tak  mempedulikannya.  Tak  berapa  lama,  handphone-nya  berbunyi  nyaring  dan  Ken  mengangkatnya  sebentar.  Setelah  itu  ia  lalu  meletakannya didepanku.  Aku  yang  saat  itu  telah  menyelesaikan  makan  siang  sekaligus  sarapanku  melirik  sekilas  handphone  Ken.  Wallpaper  handphone-nya  adalah  sebuah  Pohon  momiji  berdaun  jingga  yang  berguguran,  dibelakangnya  gunung  Fujiama  berdiri  gagah.  Ken  yang  sadar  apa  yang  sedang  kulihat  kemudian  berkata,
“Ini  handphone,  bukan  makanan.  Jika  kau  masih  lapar  pesan  saja  lagi.”
“Sialan  kau ini.”
Aku  melihatnya  tertawa  lagi.  Sejak  pertama  bertemu  dengannnya  aku  belum  pernah  melihatnya  bersedih.  Tapi  aku  juga  tidak  ingin  melihatnya  sedih.  Pasti  sangat  tidak  menyenangkan  jika  hal  itu  terjadi.
“Kenapa  wallpaper  handphone-mu  pohon  momiji  yang  sedang  berguguran?”
“Karena  Ayah  bilang,  ibuku  sangat  suka  melihat  daun-daun  momiji  yang  berguguran.  Kurasa  aku  bisa  sedikit  mengingatnya  jika  aku  melakukan  hal  yang  sama  dengannya.”  Katanya  santai,  tapi  aku  menangkap  nada  kerinduan  dari  suaranya.  “Kelak,  aku  akan  pergi  kesana  dan  melihatnya  langsung.”
Aku  yang  sedang  minum  tersedak  dibuatnya,  “Kau  mau  ke  Jepang?”
Dia  tertawa  kecil,  “Tentu  saja,  disana  aku  juga  punya  keluarga,  ada  adik  dari  ibuku  dan  beberapa  saudara  lain.  Selama  ini  kami  masih  berhubungan  walau  lewat  telepon.  Mungkin  aku  akan  kuliah  disana  setelah  lulus  nanti.”
Tenggorokanku  tercekat,  dadaku  terasa  sesak  dan  mataku  mulai  panas.  Tapi  aku  tidak  tahu  kenapa.
“Apa  kau  akan  kembali?”  tanyaku  gugup.
“Entahlah.”  Jawabnya  lirih,  kini  matanya  yang  cokelat  menatap  mataku  penuh  arti.  Dan  entah  kenapa  aku  takut  untuk  kehilangan  dirinya.

xxxxxx

          Aku  menghentak-hentakan  kakiku  sambil  tak  henti-hentinya  memarahi  Rendi.  Hari  ini,  dengan  seenaknya  ia  meninggalkan  kewajibannya  membuat  laporan  bulanan  kelas  padaku.  Sedangkan  ia  dengan  enaknya  pergi  berkencan  dengan  pacarnya.  Betapa  tidak  adilnya.  Dengan  terpaksa  kubuka  laptopku  dan  mulai  mengerjakannya,  laporan  ini  harus  diserahkan  hari  ini.
“Sudahlah,  akan  aku  temani.”  Kata  Ken  yang  masih  duduk  disampingku.  Ia  lalu  membuka  bukunya  dan  mulai  membaca,  sementara  aku masih  meneruskan  membuat laporan  itu.  Ken  mulai  bersenandung  lirih,  dan  sepertinya  hanya  aku  dan  Ken  yang  bisa  mendengarkannya,  saat  itu  masih  ada  beberapa  anak  didalam  kelasku.  Lalu  aku  teringat  percakapan  kami  saat  istirahat  tadi.  Aku  berhenti  mengetik  dan  memandang  Ken  sedih.  Sedih  ia  akan  pergi  dan  tidak  tahu  kapan  ia  akan  kembali.
“Hei,  kenapa  berhenti?”  katanya  saat  sadar  aku  memperhatikannya,  Dahinya  berkerut  memandangku,  aku  segera   membuang  muka  dan berdiri.
“Aku  akan  ketoilet  sebentar.”  Kataku  tanpa  memandang  wajahnya  dan  bergegas  berlari.  Aku  takut  aku  akan  menangis  didepannya.
          Entah  kenapa,  kakiku  membawaku  ke tepi  lapangan,  tempat  pertandingan  sepak  bola  sedang  berlangsung.  Disana  aku  melihat  tim  Jimmie  sedang  bermain  dengan  lawan  yang  berbeda.  Tapi  saat  ini  aku  sedang  tidak  minat  untuk  menonton  pertandingan  itu,  jadi  aku  terus  berjalan.  Aku  dikejutkan  oleh  teriakan  Jimmie,  dan  dengan  cepat  aku  tahu  kakinya  terluka.  Aku  yang  saat  itu  sedang  berada  dekat  dengan  ruang  Uks  segera  berlari  dan  mengambilkan  perban  serta  obat  merah.  Teman-temannya  menuntunya  ke tepi  lapangan  dibawah  sebuah  pohon  yang  rindang.  Aku  segera  mendekatinya  untuk  mengobatinya  dan  setelah  memastikan  keadaan  Jimmie  baik,  mereka  meninggalkannya  dan   meneruskan  pertandingan.  Hari  itu  sangat  sepi,  tidak  ada  supporter  Jimmie  yang  biasanya  menyemangatinya.  Aku  dengan  segera  melilitkan  perban  dikakinya  setelah  kuberi  obat  merah.
“Thanks  Ren.  Aku  sudah  bilang  pada  mereka  untuk  mempunyai  tim  medis,  sekedar  berjaga-jaga  jika  terjadi  hal  yang  tidak  diinginkan.   Tapi  mereka  bilang  para  supporter  saja  sudah  cukup.  Mereka  bisa  dimintai  tolong  jika  ada  hal  darurat.”  Katanya  panjang  lebar.
Aku  tertawa,  perlahan  aku  tidak  merasa  sedih  lagi.
“Baiklah,  sudah  selesai.”  Kataku  sambil  menggunting  perban  yang  kepanjangan.  “Aku  harus  kembali  ke kelas.”  Lanjutku  sambil  berdiri,  tidak  enak  rasanya  meninggalkan  Ken  seorang  diri.
“Tunggu!”  Jimmie  mencegahku  dengan  menahan  lenganku.  “Aku  ingin  mengatakan  sesuatu.”
“Baiklah,  katakan  saja.”  Kataku,  dan  kembali  duduk  disampingnya.  Tiba-tiba  Jimmie  menjadi  gugup.  Aneh  sekali.
“Emmm,  Rena.  Sebenarnya  aku  telah  lama  memperhatikanmu.  Sepertinya  aku  suka  padamu.”  Katanya  mantap.  Sedangkan  aku  hanya  melongo  dibuatnya.
“Apa  kau  mau  jadi  pacarku?”  katanya  kemudian.  Angin  berhembus  pelan  menyadarkanku.
Jimmie,  memegang  lembut  tanganku  dan  menatapku  dalam.  Selama  ini  Jimmie  dan  aku  memang  cukup  dekat  dan  berteman  baik.  Tapi  aku  tidak  mengira  bahwa  ia  menyimpan  rasa untuk  ku.  Mata  abu-abunya  kini  bertatapan  dengan  mataku.  Dan  entah  kenapa  saat  itu,  aku  melihat  mata  cokelat  Ken  dan  berharap  Ken  yang  mengatakan  hal  itu  padaku.  Akhirnya  aku  sadar,  selama  ini  aku  menaruh  rasa  pada  Ken.
          Dengan  lembut  aku  melepaskan  tanganku  dari  Jimmie,  dan  tersenyum  padanya.
“Maaf  Jimmie,  aku  tidak  bisa  menjadi  pacarmu.  Aku  benar-benar minta  maaf.  Karena  bukan  kau  yang  ada  dihatiku.”  Kataku  lirih  sambil  menunjuk dadaku.  Tapi  aku  yakin  Jimmie  bisa  mendengarnya.  Aku  bisa  merasakan  Jimmie  terkejut,  tapi ia  segera  bisa  mengendalikan  perasaannya.
“Baiklah,  tidak  apa-apa.  aku  tidak  bisa  memaksamu.”  Dia  tersenyum  tipis,  terlihat  bahwa  itu  adalah  senyum  yang  dipaksakan.
Aku  juga  tersenyum  dan  pamit  untuk  pergi  meninggalkannya.
“Rena,”  panggil  Jimmie  saat  aku  mulai  melangkah,  aku  menoleh.
“Jika  orang  yang  ada dihatimu  itu  mengabaikanmu  atau  melakukan  hal  yang  buruk  terhadapmu,  aku  selalu  ada  untukmu.”
Aku  membulatkan  mataku sekejap dan tahu ia hanya berbuat baik padaku.
“Terima  kasih  Jimmie,”  kataku  lirih  dan berlalu  meninggalkannya.
          Aku  sudah  cukup  lama  meninggalkan  Ken,  sekarang  ia  pasti sangat  kesal  padaku.  Kelas  sudah  lenggang  saat  aku  masuk.  Hanya  ada   Ken  yang  sedang  mengetik  dengan laptopku.  Aku  mengintip dengan  hati-hati,  bersiap-siap  menerima  omelan  Ken.  Saat  itu langit  sudah  berwarna  Jingga  seperti  daun  momiji.  Cahaya  memancar  dari  jendela  yang  tidak  tertutup  gorden  menerangi  Ken.  Posisi  duduknya  dan  siluet  yang  dibentuk  cahaya  itu  begitu  indah,  sangat  menawan.  Dan  disenja  ini.  Aku  tahu  Ken  ada  dihatiku.  Aku  merasa  damai  akan  hal  itu.
          Aku  menyapa  Ken  sambil  tersenyum  kecil, dan  benar  saja,  ia  langsung  memarahiku  tanpa  ampun.  Aku  hanya  tersenyum  ketika  ia  akhirnya  berhenti  memarahiku.
“Kenapa  kau  hanya  tersenyum  tanpa  memperlihatkan  wajah  menyesal?”
“Karena  aku  sedang  senang  hari  ini.”  Kataku  mantap  sambil  terus  menatap  layar  laptopku.  Laporan  itu  sudah  hampir  selesai,  mungkin  Ken  yang  mengerjakannya  untukku.
“Coba  katakan!”  perintahnya,
“Tidak  mau  ah. . .”  kataku  manja  dan  tidak  mempedulikannya.  Dia  mendengus  kesal  dan  kemudian  memainkan  handphone-nya.  Aku  teringat  akan  niatnya  setelah  lulus  nanti.  Aku  menoleh  padanya  ingin  menyampaikan  keinginanku.
“Hei,  apa  kau  pikir  aku  boleh  ikut  denganmu  pergi  ke  Jepang?”
Ken  berhenti  memainkan  handphone-nya  dan  segera  menatapku.
“Kau  serius?”  tanyanya  kaget  dan  matanya  kini  membulat  dibalik  kacamatanya, tapi  sepertinya  ada  nada  bahagia  didalam  suaranya.  Aku  mengangguk.
“Tentu  saja  boleh!  Itu  akan  sangat  menyenangkan.  Kita  bisa  tinggal  dirumah  bibiku.  Jangan  khawatir  dia  juga  punya  anak  perempuan  dan  aku  tidak  mungkin  macam-macam  denganmu.  Lalu  kita  bisa  berkeliling  dulu  sebelum  tahun  ajaran  dimulai.  Katakan,  kau  mau  kemana  terlebih  dulu?”  katanya  bersemangat.
Aku  hanya  tertawa,  wah-wah,  sepertinya  untuk  mewujudkan  hal  itu  aku  harus  lebih  keras  belajar  agar  bisa  masuk  ke  universitas  yang  sama  dengannya.
          Di senja  itu,  hatiku  terasa  melambung.  Sekarang  aku tidak  perlu  takut  kehilangan  dirinya.  Dan  aku  merasa,  dia  juga  sepertinya  menyukaiku.  Yang  jelas  kisahku  dan  Ken  baru  dimulai  sekarang.


^_^