Kamis, 12 Desember 2013

Titik Balik

            Aku masih terpaku sembari menatap pigura-pigura yang tersusun rapi di tembok-tembok galeri pribadiku. Tak sedikit potret dari sosoknya yang selalu kucinta –setidaknya itulah anggapanku- berjajar rapi didepanku. Disatu sisi, kulihat potret dirinya yang sedang tersenyum sambil menatap ratusan atau bahkan lebih bunga dandelion yang terhampar luas di depannya. Dipigura lain ada potretnya ketika ia sedang ngambek karena janji kami dibatalkan, kami berencana ke bukit savana dimana kami dapat melihat ilalang yang tumbuh subur bahkan terkesan liar. Aku tersenyum satir ketika mengingat hal itu. Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya dia tidak marah lagi padaku.
            Ada juga potret ketika ia sedang tertawa dengan riangnya, ia sedang bermain dengan anak-anak tetangga dekat galeriku. Di potret itu ia tampak begitu bahagia, polos, dan naif. Dan sejujurnya, memang begitulah sosoknya dimataku.
            Aku tersentak ketika mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arahku, langkah kaki yang sudah ku hafal. Adrian, teman baikku sekaligus asisten fotograferku.
            Gue tahu lo bakalan ada disini.” Katanya dengan suara baritonnya yang khas.
            “Ada masalah apa?” tanyaku to the point, merasa terganggu sekaligus terselamatkan karena dia datang diwaktu yang tepat sebelum aku terlalu dalam terhanyut dalam dunia di dalam pigura yang kubuat sendiri.
            Adrian tidak menjawab, sebaliknya dia penepuk bahuku dan mengambil tempat duduk dengan menggeser salah satu kursi yang sebelumnya berada cukup jauh dariku, kini ia sudah berada dihadapanku.
            “Ini menyangkut Renata, bukan?”
            Menyebut nama sosok dalam pigura itu disebut, langsung memprofokasi terjadinya reaksi kimia di tubuhku yang kemudian berpengaruh pada bagian-bagian tubuhku yang lain. Rasa nyerilah yang terasa di ulu hati ini.
            Lo jadi pendiem setelah hangout bareng dia malam minggu kemarin. Lo putus sama dia?”
            Aku masih tidak menjawab, masih membiarkan Adrian untuk berspekulasi dengan hal-hal yang mungkin terjadi diantar aku dan Renata.
            “Apa lo udah bosen sama dia?” pancing Adrian selanjutnya.
            Aku masih tidak bergeming dan hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Aku bangkit dari posisiku dan kemudian bergegas keluar dari galeri, menghindar dari segala ucapan-ucapan Adrian yang aku tahu akan segera mendekati kebenaran dan kembali menguak hal-hal yang sedang tidak ingin kubicarakan.
            Aku masih mengalungi kameraku dan kemudian mengambil ranselku dan barang-barang praktis lainnya sebelum akhirnya melaju dengan sepeda motor berwarna merah. Hari menjelang senja, dan akan sangat bagus jika aku bisa sampai di tempat dimana aku bisa menenangkan pikiran dan hatiku sebelum matahari tenggelam. Maka ku-gas sepeda motor itu sampai batas yang bisa kutolerir dan menuju tempat itu sesegera mungkin.
            Aku sampai sesuai dengan harapanku. Masih lebih kurang 15 menit lagi sebelum matahari tenggelam di ufuk barat. Langit kini sudah berubah menjadi kemerahan akibat kejadian alam yang berlangsung tak lama lagi.
            Aku duduk di ujung bukit dengan pemandangan yang langsung menghadap lautan lepas. Dari sini aku bisa melihat dengan angel yang sempurna peristiwa alam yang setiap hari berlangsung itu. Selain itu au juga bisa melihat burung laut yang berbondong-bondong pulang ke sarangnya, dan juga aku bisa mendengar suara ombak serta merasakan bau air asin yang tercipta secara alami.
            Aku berdiam diri disana, tanpa teman. Melihat matahari yang secara perlahan seperti tertelan oleh lautan, padahal aku tahu bahwa esok hari kala aku menatap ke arah timur aku akan menjumpainya lagi. Mungkin senja adalah titik balik dimana secara perlahan-lahan matahari mulai mengekang dirinya dan menggantikannya dengan cahaya bulan yang lembut sebelum kembali lagi untuk memancarkan kehangatannya kepada dunia ini.
            Titik balik. Jika keadaanku sama saja dengan titik balik matahari, maka aku akan sangat menyukuri itu. Setidaknya aku bisa mengatakan untuk berhenti bertemu selama beberapa saat dan kemudian aku akan menemuinya lagi dengan penuh kerinduan dan kembali berada di titik dimana keadaan kami saling merindu.
            Tapi masa-masa itu tidak ada lagi. Seberapa lamanya kami berpisah, rasa rindu itu tidak akan pernah datang lagi. Seberapa jauhnya kami berpisah, kami tidak akan saling kehilangan. Karena apa? Hubungan kami bukan berada di titik balik, melainkan titik buta dimana kami tidak lagi saling mengetahui perasaan kami masing-masing.
            Mungkin benar apa yang Renata katakan padaku bahwa rasa cintanya tidak ada lagi untukku. Begitupun sebaliknya. Semuanya sudah berakhir. BERAKHIR.
________________
            Sore itu, aku dengan perasaan yang sudah tidak karuan akhirnya bersedia memenuhi ajakan Renata untuk bertemu dengannya di salah satu tepi telaga yang biasa kami datangi. Disana selalu ramai baik pagi hari, siang, maupun malam, namun kami tetap bisa menemukan tempat yang ideal jika kami ingin membicarakan sesuatu yang penting.
            Maka dengan setengah hati, aku melajukan sepeda motorku dan satu jam setelahnya kami bertemu di sana.
            Hari itu, Renata mengenakan terusan selutu berwarna baby green dengan rambut hitamnya yang ia biarkkan tergerai. Angin sore mempermainkan helai-helai rambutnya, namun begitu ia masih saja terlihat cantik, bahkan lebih cantik. Hanya saja, seperti ada yang kurang ketika aku menatapnya. Tidak ada satu hal itu, tidak ada getaran aneh ketika aku menatapnya, jantungku pun baik-baik saja ketika kemudian Renata tersenyum menyambutku.
            “Abang, kau datang...” katanya lembut.
            Aku hanya bisa tersenyum membalas ucapannya, kemudian aku menggandeng tangannya dan menuntunnya untuk duduk di bawah sebuah pohon flamboyan yang sudah lumayan tua jika melihat dari seberapa besar batang pohon itu.
            “Bagaimana kabarmu?” tanyaku memulai percakapan.
            “Baik. Dan Abang sendiri?”
            Aku tersenyum mendengar jawabannya, kami benar-benar sudah tidak bisa tertolong lagi. “Abang tidak tahu bagaimana harus menjawabmu. Kau tahu abang tidak bisa berbohong, apalagi kepadamu.” Pandanganku yang semula menatapnya kini aku alihkan ke telaga yang ada di depanku. Hari masih sore dan suasana di sini benar-benar nyaman. Beberapa angsa berenang di tengah telaga dan di tepi-tepi telaga banyak tanaman air dengan bunga-bunga yang bermekaran menghiasinya.
            “Karena itu, jangan berbohong abang...”
            Aah, Renata. Kau masih saja dengan jawaban naifmu, seperti kau yang dulu. Kau memang tidak pernah berubah dan kenaifanmulah yang membuatku terpesona, tapi kenapa sekarang aku bahkan tidak mendapatkan rasa itu kembali. Aku tersenyum getir sembari manatap segerombolan Angsa yang masih saja tenag di tengah telaga itu. Aku tersenyum karena kebodohanku sendiri, dan kurasa aku memang benar-benar manusia yang bodoh.
            “Abang...” katanya kemudian melihatku tidak menjawab, Renata lalu menyetuh tanganku dan membawanya untuk kemudian ia genggam. Tatpan kami slaing bertemu dan saling mengunci satu sama lain, namun tidak ada getaran-getaran itu. Tidak ada sama sekali.
            “Katakan apa yang harus kau katakan, dan aku pun akan melakukannya abang...”
            Aku terdiam cukup lama sembari masih menatap mata hitam di depanku. Sudah siapkah aku melepas semuanya? Sudah siapkah aku mengakhiri semuanya?
            Renata tersenyum padaku, berusaha menguatkanku. Aku rasa ia bahkan sudah mengetahui semuanya, hanya saja ia begitu baik hingga membiarkan aku mengatakannya sebelum keadaan bertembah runyam.
            “Ini mengenai hubungan kita, bukan?”
            Aku mengangguk ketika lagi-lagi Renata lah yang berbicara.
            “Ada yang mau kau katakan mengenai hal itu?”
            Aku menarik nafas panjang. Berusaha menguatkan diriku. Aku tahu, semakin lama kami mengakhirinya maka hanya ada kesedihan yang akan kami dapatkan. Mengikat Renata dalam sebuah hubungan yang tidak mempunyai esensi yang jelas kenapa kami harus melakukannya adalah hal yang salah. Tidak seharusnya aku mengukungnya seperti ini, dan sudah seharusnya aku membiarkannya pergi, terbang dengan sayap tak kasat mata yang akan membawanya ke macam-macam dunia yang berbeda. Dunia yang lebih luas dan mungkin lebih indah daripada dunia kecilku.
            “Renata... maafkan aku. Aku tak lagi mencintaimu.” Kataku pada akhirnya.
            Aku bisa merasakan ketika tangan lembut yang menyelubungi tanganku menjadi kaku untuk beberapa saat. Namun kemudian, tangan itu kembali melembut.
            Renata lalu melepas genggamannya dan ikut menatap telaga di depannya. Kami membisu untuk waktu yang lama dan begitulah, tak ada yang bisa kami katakan. Seluruh kenyataan sudah jelas dengan kalimat itu.
            Aku bisa mendengar ketika Renata menari nafas panjang, sebelum ia berkata, “aku senang kau mengatakannya. Setidaknya itulah yang juga kurasakan padamu abang.” Renata berhenti sejenak, “kita benar-benar tidak tertolong lagi bukan? Selalu memaksa tersenyum ketika kita bersama, padahal berapa lama kita sudah mempunyai chemistry itu? Satu bulankah? Dua bulan? Atau bahkan berbulan-bulan yang lalu?”
            Aku tidak menjawab, hanya mampu menunduk.
            “Aku terlalu lama mengurungmu dalam hubungan ini, maafkan aku.”
            “Tidak abang, tidak ada yang harus dimaafkan. Aku tidak pernah menyesal bersamamu selama ini. Jadi, tidak sepentasnya kau meminta maaf abang...”
            Aku masih menunduk, dan ketika aku mengangkap kepalaku untuk menatapnya, Renata malah memberiku senyumannya. Senyumannya yang kemudian ikut membuatku tersenyum padanya.
            “Renata, terimakasih.” Kataku pada akhirnya dan itulah pembicaraan terakhir kami di senja itu.
________________
            Aku menghela nafas panjang ketika detik-detik terbenamnya matahari sudah berakhir. Matahari maupun jejak-jejak merah yang telah ia timbulkan sudah tidak ada lagi. Begitupun kekalutan yang melandaku beberapa saat yang lalu. Semuanya telah berakhir dan seharusnya aku harus lebih kuat. Bahkan, aku harus senang. Bukankah ini merupakan awal baru untukku dan juga untuk Renata?
            Aku tersenyum seraya bangkit dan menatap ke arah terbenamnya matahari itu. Bulan purnama muncul dan menggantikan posisi bola bulat panas yang berpijar itu. Sudah waktunya aku pulang, dan sudah waktunya memuaskan rasa keingintahuan Adrian tadi.


Surakarta,
8:33 PM, 12-12-2013

Minggu, 01 Desember 2013

Wahana Adinda



Menurut observasi yang ku lakukan pada diriku sendiri, aku adalah orang yang belajar dari apa yang orang katakan tentang sesuatu. Dan sepertinya itu benar, namun yang membuat itu menjadi hal yang mengerikan adalah bahwa aku tidak mencoba mencari tahu apakah yang orang itu katakan benar atau tidak. Yah, kurasa aku tidak perlu mencari tahu dan bisa menerimanya begitu saja jika orang itu adalah sosok yang di anggap berkompeten dalam urusan ajar-mengajar bukan?
                Yah, bisa saja kalian menyebutku pemalas, dan aku tidak akan mempedulikannya.
Kau tahu apa yang kulakukan sekarang dengan bentuk wajahku? Dengan lapisan kulit yang membungkus tulang-tulang ini? Tengkorak ini? Ataupun sel-sel yang berada di dalamnya? Oooh ayolah, aku tidak akan menakutimu, aku hanya tersenyum. Tersenyum.
                Seperti penjelasanku tadi, aku hanya mendengarkan, mencernanya dalam tiap sel dendrit dan neurit yang membentuk jaringan-jaringan berwarna abu-abu bernama otak. Dalam otak ku yang super sederhana yang mungkin saja hanya nol koma nol nol nol seperjuta yang baru digunakan. Aku tertawa. Ya kau harus melihatku tertawa, kata dia aku begitu tampan ketika aku tertawa.
                Ah, akan ku jelaskan kenapa aku membicarakan hal-hal tidak berguna seperti yang telah kusebutkan tadi. Kalian tahu kata ‘agama’ bukan?
‘A’ berarti tidak, dan ‘gama’ berarti tidak beraturan. Maka agama membentuk makna tidak tidak beraturan yang kemudian di olah dengan rumus matematika tertentu -mungkin menggunakan logika- dan menghasilkan makna baru yaitu beraturan atau teratur. Itu mungkin sama halnya dengan ketika kau mengkailan dua bilangan negatif dan kau akan mendapatkan bilangan positif sebagai hasilnya.
Lalu, selanjutnya aku menerapkan apa yang telah ku dapat dalam kata yang lain. Ya, kata yang lain, kata yang kusukai, kata yang perwujudannya merupakan sosok dengan kedudukan paling tinggi di silsilah ranting tertinggi dalam pohon-pohon emas di dalam hati, pikiran, dan kehidupanku. Adinda.
Jika A merupakan perwujudan dari kata tidak atau barangkali bukan, dan dinda yang ku tahu bermakna adik. Maka Adinda mempunyai makna bukan adik. Ya, itu benar. Adinda bukan adik, dan yang lebih mencengangkan lagi kau tahu? Adinda benar-benar bukan adik ku.
@@@
“Kau mulai meracau Alan...” Diyah mengembuskan nafas panjang entah sudah yang keberapa puluh kali di hari ini, hari yang secara matematis baru saja mengeluarkan detik ke 46.800 terhitung dari pukul 00.00. Yah, entah kenapa dalam otak abu-abu ku sangat cepat mengkalkulasi itu semua. Kau akan menemukannya jika kau penasaran, ini baru pukul 1 siang.
Aku tertawa mendengar komentarnya, “tapi harus kau akui bahwa apa yang kukatakan benar bukan? Setidaknya kau tidak boleh mengabaikan rumus-rumus indah itu dan menolak mentah-mentah apa yang aku katakan tadi.”
“Yah, teruslah berbicara sampai lidahmu putus!” Diyah mulai bersungut-sungut dan mengambil ransel yang berada tepat di sampingku. Ia menjinjingnya dan beranjak bangkit.
“Kau mau kemana?”
Diyah memutar mata cokelatnya yang bulat, kemudian mulai melepas kuciran rambut panjangnya untuk kemudian ia buat menjadi kucir kuda seperti sebelumnya. Paling tidak kali ini lebih rapi. “Aku bukan orang yang mempunyai banyak waktu luang sepertimu. Lihat?” ia menunjuk jam tangan digital di lengan kirinya yang berwarna kuning langsat. “Aku ada janji dengan seseorang yang seharusnya bertemu dengan orang di depanku.”
Bibir Diyah meruncing, gayanya ketika ia mencibir.
Aku tertawa lagi, “aku akan mentraktirmu begitu kau selesai.” Kataku santai.
Diyah tidak peduli, dengan wajahnya sudah mulai menandakan tanda-tanda keletihan ia membalik badan dan meninggalkan kubikelnya yang tepat berada di sebelah kubikel ku. Aku menatap kepergian Diyah, dan buru-buru ikut meninggalkan kubikel ku seperti yang dilakukan Diyah.
Kalian tahu? Aku bukanlah seorang pekerja keras. Jika kalian berminat ingin tahu, aku adalah orang yang well, apa sebutannya. Melakukan hal-hal yang ku inginkan dan tidak melakukan apa-apa yang tidak ku inginkan. Egois memang, tapi kalian tidak berhak memperotesnya. This my life...
Aku tersandung batuan dan hampir saja akan terjatuh, dan mari kita lihat dimana aku berada saat ini? Aku tertawa, namun kali ini tawaku hanya akan aku simpan dalam hati.
Bangunan tua yang megah menjulang tinggi dihadapanku. Rumput-rumput yang kentara sekali sudah lama tidak di basmi tumbuh subur dan menjulang, tersebar di tiap inchi tanah lapang yang berhasil mereka temukan. Cat-cat yang terkelupas berwarna putih kekuningan mendominasi tiap lapisan demi lapisan bangunan kokoh ini.
Aku tertawa lagi, dalam hati. Bukankah ini tempat yang menyenangkan untuk mati? Tempat yang sepurna dimana malaikat maut mengajakmu turut serta bersamanya. Kemanapun akhirnya, surga ataupun neraka, aku sudah tidak peduli lagi. Aku melangkahkan kaki menuju bangunan calon tempat malaikat maut membawaku serta.
Detik berlalu begitu lambat. Lagi dan lagi aku menatap gumpalan awan yang menjingga bersamaan dengan tertelannya bola api raksasa bernama matahari yang nantinya kedudukannya di langit yang menaungiku berganti dengan posisi benda bulat yang di daulat Tuhan menjadi satelit untuk planet bumi. Detik demi detik terus berjalan, dan dengan kalkulasi yang sudah melebihi kemampuanku, akhirnya aku menyerah. Aku sudah tidak tahu berapa ribu detik, atau bahkan berapa juta detik yang telah ku habiskan di tempat ini. Yang ku tahu, disini aku sedang mengharapkan kedatangan malaikat maut. Lama, benar-benar lama. Kenapa malaikat maut tidak juga datang.
Aku terpekur di sudut tembok, di salah satu bagian gelap di dalam bangunan tua yang ku masuki. Sudah berapa lama aku tidak melihat matahari siang? Aku tidak tahu. Tapi aku ingat sudah berapa kali bola api itu berganti dengan bola gelap yang tidak mempunyai cahayannya sendiri. Ini adalah malam ke-13 dan malaikat maut belum juga datang menjemputku.
Dengan kesadaranku yang mulai kuragukan, aku menolak memasukan apapun ke dalam tubuhku hanya untuk membuat malaikat maut datang. Aku menolaknya. Kau tahu kenapa? Karena jika begitu, aku tidak akan bisa melihat dengan jelas rupa malaikat maut. Sesuatu yang diam-diam telah menjadi obsesiku. Ah ya, bisa saja aku menggantung diri di sejumput tali. Dengan teori bahwa lilitan tali itu akan menekan pembuluh arteri di leherku. Tentu itu cara yang lebih cepat untuk  mengundang malaikat maut. Dan kenapa sampai sekarang aku belum bisa melakukannya?
Aku tertawa, miris. Aku terlalu takut melakukannya bukan? Bukankah aku seorang pecundang sejati? Kemudian sisi liarku mulai memikirkan hal itu dan dengan tekad menyedihkan, aku menatap ke bagian dimana aku dapat melihat cahaya terbit. Setidaknya aku akan melihat matahar terbit bersamaan dengan melihat malaikat maut. Aku menyerigai dalam kegelapan.
Seperti waktu yang perlahan merangkak menuju tempat dimana ia ingin berada, akupun berada di tempat yang sempurna untuk ku mati. Di tempat ini, posisi ini, koordinat ini, adalah tempat yang paling menjanjikan untuk ku. Sudah 13 hari aku tidak melihat bola api itu, dan setelah 13 hari tidak melihatnya, maka di hari ke 14 ini akhirnya aku bisa melihatnya kembali bersamaan dengan sisa-sisa nafasku yang akan ku habiskan.
Aku tersenyum kala melihat bola api itu, dan kakiku bergerak menaiki undakan yang ku buat dari benda-benda yang kutemukan di dalam bangunan tua ini. Satu undakan, dua undakan, dan tiga undakan. Tali tambang sudah mantap mengakhiri hidupku. Aku memejamkan mataku, meghirup udara subuh untuk yang terkhir kalinya dan mulai memasangkan tali itu di leherku.
“Alan!”
Aku masih tidak bergeming.
“Alan!”
Suara itu kembali memanggilku, siapakah Alan? Kenapa rasanya aku mengenal nama itu? Ooh, benar, itu namaku. Aku tersenyum, senang karena mungkin malaikat maut telah mengenal namaku.
Kemudian aku merasakan benda yang berat menimpa tubuhku, menjatuhkanku di ketinggian sempurna dimana aku akan mengakhiri hidupku. Aku merasakan lantai yang keras ketika tubuhku membentur lantai, dan serta merta kesadaranku timbul bersamaan dengan gerakan benda yang lalu menindih ku.
“Alan, jangan bodoh!”
Aku membuka mataku dan kutemukan sinar matahari berpendar melewati lubang-lubang gedung tua itu. Menimpa sosok di depanku, sosok gadis dengan kuncir kuda yang menatap tajam ke arahku. Diyah.
Aku tertawa. Di saat-saat akhirpun Diyah masih saja menggangguku.
“Kenapa kau tertawa?” tanyanya sinis.
“Kenapa kau disini?” jawabku datar.
Diah menampar pipiku, dan dengan nafas tersengal, kemudian ia bangun dari posisinya yang menindihku. Ia bangkit, berdiri, mengahadap arah matahari seolah ia berkata bahwa ia pun akan menantangnya jika ia bisa.
“Kau bodoh Alan!”
Aku tidak bergeming, masih saja dalam posisiku yang terbaring di lantai. Mataku terpejam dan bisa kuhirup aroma lembab ruangan ini, aroma yang sudah 13 hari ini menemaniku, bercampur dengan aroma lembut dari Diyah.
“Aku memang bodoh.” Kataku lirih. Aku masih terpejam, dan tertidur dalam kedamaian yang aneh.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, tapi yang aku tahu, ketika aku terbangun, ruangan yang tadinya hanya diteringai semburat-semburat matahari terbit kini sudah terang. Aku bangkit untuk kemudian menemukan kepalaku yang berdenyut, sakit sekali. Aku merintih kesakitan sembari dengan susah payah aku mencoba dalam posisi duduk di tantai marmer kotor berwarna kuning kecokelatan. Dalam posisi itu, aku melihat sosok lain dengan tatapan tajam yang mengarah ke tempatku berada. Diyah.
Aku menghela nafas panjang. Setelah melhat sosoknya di depanku, kini aku memngingat semua yang sudah terjadi setidaknya beberapa jam yang lalu.
“Sampai kapan kau akan berusaha melubangi kepalaku dengan tatapan tajam mu?”
“Sampai kau mati.” Jawabnya dingin.
“Bagus sekali jika kau bisa melakukannya...” kataku sambil tertawa senang diselingi dengan ekspresi wajah Diyah yang seakan-akan ingin melahapku.
Diyah kemudian berdiri dan menarikku serta.
“Ayo pergi dari tempat ini.” Katanya sembari menyeretku dengan tenaganya yang kurasa mampu untuk menumbangkanku dengan sangat sangat mudah. Yang bisa kulakukan hanya menurut. Maka sambil menghela nafas, aku menurut kepadanya.
Bukan berarti keinginanku untuk mati sudah tidak ada lagi. Alasanku sampai saat ini belumlah bertemu dengan malaikat maut juga karena Diyah. Entah sudah keberapa kali dia menemukanku di detik-detik akhir malaikat maut akan menjemputku.
Kami masuk ke dalam sebuah mobil sedan berwarna merah milik Diyah. Tanpa banyak kata, dia mulai menyalakan mesin dan kemudian mengemudikannya begitu saja.
“Coba katakan Diyah, apakah kau memasang alat pelacak pada tubuhku?” tanyaku asal.
Diyah tidak bergeming, masih berkosentrasi menerobos jalanan kota yang mulai ramai. Aku salah jika mengayangka aku hanya tidur beberapa jam. Kenyataannya adalah, matahari hampir berada di ufuk timur yang itu artinya aku hampir tidur seharian ini.
“Bagaimana kau tahu dimana aku berada Diyah? Bagaimana kau bisa datang ketika aku hampir saja bertemu dengannya?”
Diyah masih tidak bergeming sedikitpun.
“Bah, baiklah. Anggap saja aku tidak pernah menanyakannya.”
Aku tertawa, ketika mengingat sesuatu. “Ah, mungkin malaikat maut tidak jadi menemuiku tadi karena aku belum membayar hutangku padamu ya? Jadi, tender terakhir yang kuberikan padamu sudah selesai? Kau ingin aku mentraktirmu ya?” aku masih meracau, dan Diyah masih saja diam. “Yah baiklah, kapan kau ada waktu luang? Aku akan segera menepati janjiku hingga nanti jika aku memanggilnya kau tidak bisa datang lagi seperti itu.”
Tanpa ku sangka kemudian. Diyah menepikan mobilnya, kemudian matanya kembali menajam ke arahku. Ia menatapku lama hingga beberapa waktu. Tidak ada suara yang keluar diantara kami, hanya keheningan yang ada, keheningan yang mencekam kurasa.
“Alan. Jika kau sangat ingin mati. Keluarlah dari mobil ku, berdiri di depanku dan aku akan menabrakmu.”
Aku terpaku ketika mendengar hal itu, dan ya... itu saran yang bagus terima atau tidak terima. Maka aku menggerakan otot-otot tubuhku, memaksakan tanganku untuk membuka pintu  mobil dan bersiap keluar ketika aku berasakan tubuh hangat Diyah memelukku dari belakang. Lengannya yang ramping memelukku dan kemudian aku mulai mendengar isakannya.
Aku diam, seperti halnya Diah yang tetap diam dalam posisinya saat ini. Tidak ada kata yang terucap, namun suara isakkan Diyah seakan mampu menjelaskan tentang semua yang tak terjelaskan selama ini. Betapa selama ini aku telah menyakiti Diyah terus menerus tanpa peduli dengannya. Betapa aku telah membuatnya melakukan hal-hal sulit karenaku. Dan mungkin benar, hidupku tidak berarti lagi, setidaknya hidupku bukan hak-ku lagi, ada yang lebih berhak atas hidupku yang menjijikan ini. Seseorang yang berkali-kali mencegahku bertemu dengan malaikat maut. Dan orang itu, bisa ku pastikan adalah Diyah.
@@@
Diyah menuntunku ketika kami berada di depan sebuah rumah dengan dua tingkat dan halaman yang cukup luas dimana ada sebuah wahana permainan kecil di dalam halaman itu. Ada sepasang ayunan, dan tak jauh darinya ada meja bundar dengan keempat kursi berwarna hijau yang mengelilinginya.
Aku masih bergeming ketika Diyah menarik lenganku, tapi kemudian tangan lembut Diyah menyentuh pipiku dan membuatku menatap wajahnya yang seindah rembulan. Ia tersenyum dan mengembalikan rasa percaya diriku. Maka kubiarkan ketika Diyah menekan bel rumah itu yang disambut oleh sepasang orang tua setengah baya yang memandang dengan kepahitan kepadaku. Aku mengalihkan pandanganku dan berusaha untuk tidak menatap mereka.
Menatap mereka yang secara tidak langsung mungkin menyebabkan aku menjadi seperti ini. Jika saja ayahku tidak menikah lagi dengan ibu dari seseorang yang ku cintai, aku tidak akan seperti ini. Hidupku pasti tidak akan semenyakitkan ini, aku pasti tidak akan semenyedihkan ini. Ya, aku tidak akan seperti ini.
Bisa kudengar ketika Diyah mengatakan sesuatu dan kemudian dengan masih menggandeng tanganku, ia mengajakku masuk ke dalam rumah, menaiki tangga, dan menuntunku ke sebuah kamar di sudut.
Kamar yang semula gelap menjadi terang dengan bantuan lampu di sudut yang dinyalakan Diyah. Retina mataku perlu menyesuaikan beberapa saat sebelum mulai terbiasa dengan apa yang kulihat di dalamnya. Kamar yang sudah kutinggalkan hampir satu tahun yang lalu masih sama seperti sebelum ku tinggalkan, aku ingat letak semua buku yang berada di atas meja di samping tempat  tidurku, tidak berpindah satu sentipun. Begitu pula dengan letak barang-barang lainnya. Namun di tempat ini, tidak ada debu barang sedikitpun. Menandakan bahwa ada orang yang secara rutin membersihkan kamar ini.
Diyah lalu menuntunku agar aku duduk di atas tempat tidur, kemudian ia menghilang ke dalam kamar mandi dan kembali sambil membawa handuk dan sebaskom air hangat. Ia membasahi handuk itu dengan air hangat, kemudian membasuh dengan lembut bagian tubuhku yang bisa ia jangkau. Dari wajahku, kedua lenganku, hingga kakiku.
Kemudian Diyah membuka kemejaku yang sudah kusut dan sangat kotor, kemudian membasuh dadaku, dan juga punggungku sebelum akhirnya memakaikan piyama berwarna biru dengan garis-garis tipis. Ia menyerahkan celana piyama berwarna senada dengan atasannya padaku dan menyuruhku menggantinya, seraya mengatakan bahwa alangkah lebih baiknya jika aku memangkas bakal jenggot yang mulai tumbuh di sekitar daguku. Aku mengangguk dan menurut.
Sepuluh menit kemudian, aku selesai dan Diyah masih berada di kamarku. Ia kembali menggadengku dan menyuruhku berbaring. Ia menyelimutiku, dan mengecup dahiku lembut sebelum mematikan lampu kamarku dengan di gantikan dengan cahaya temaram dari lampu tidur. Kemudian Diyah keluar.
Aku kini sendirian di ruangan itu. Ruangan yang dulu menjadi sangkarku dimana tidak seorangpun boleh mengusikku disini. Tapi, hampir setahun yang lalu, aku pergi dari sini dengan luka yang semakin menganga lebar dalam dadaku dan berusaha mencari penyembuhnya sampai akhirnya aku tahu bahwa satu-satunnya hal yang bisa menyembuhkannya adalah kematian.
Aku bangkit dari tempat tidurku, berjalan ke arah jendela dimana aku bisa melihat bintang malam dan juga cahaya bulan yang kutahu selalu ada bahkan di saat cahayanya tidak bisa ku tangkap dengan retina mataku.
Diyah... tak tahukan kau apa yang kau lakukan padaku hari ini bisa membuat semuanya menjadi porak poranda kembali? Aku menghela nafas, dan dari balkon kamarku, aku bisa melihat mobil sedan merah Diyah yang meninggalkan rumah ini. Sampai jumpa Diyah.
Tidak seperti sebelumnya dimana aku merasa pergerakan detik begitu lambat, aku merasa bahwa detik berjalan cepat hingga yang kutahu, matahari pagi kembali berada di langit dan menggantikan keberadaan bintang dan bulan. Tidak sedetikpun aku terlelap setelah Diyah pergi dan yang kulakukan hanyalah duduk termenung dibalkon kamar dengan menatap malam yang saat ini mulai memudar dan menjadikan terang permukaan bumi ini.
Seseorang mengetuk pintu kamarku, dan tanpa jawaban dariku, pintu terbuka. Menampakan sosok menakjubkan yang selama ini mempunyai wahananya sendiri dalam hati, pikiran, dan jiwaku.
Adinda, bukan adik ku kini berada tepat di hadapanku dengan bagian bawah matanya yang menghitam dan tubuhnya yang kurasa bertambah kurus.
“Abang, kau pulang...” katanya lemah sembari tersenyum padaku.
“Ya Jelita, abang pulang...” jawabku lirih. Aku menggunakan Jelita untuk ganti namanya. Tidak, sudah lama aku tidak memanggilnya Adinda, selama ini bahkan aku tidak pernah memanggilnya Adinda. Jelita, itu nama yang kupilihkan untuknya, nama yang kurasa pantas untuk ia sandang. Nama yang mewakili dirinya. Jelita.
“Abang...” dia menggigit bibirnya yang aku tahu akan ia lakukan ketika ia gugup, senang, ataupun risau. Manakah di antara ketiga sebab itu yang membuatmu melakukannya Jelita?
Aku tersenyum padanya, yang manapun akan terasa sama saja. Katakanlah Jelita, katakan apa yang ingin kau katakan. Katakan apa yang harus kau katakan.
Lama aku pandangi Jelita, dan lama pula Jelita hanya berdiri dengan mengigit bibirnya yang tipis. Jelita, hal apakah yang ingin kau katakan padaku? Mungkin ada baiknya aku tidak pernah lagi kembali kesini bukan? Meninggalkanmu adalah pilihan terbaik yang pernah ku buat dalam hidupku, bukankah menurutmu begitu?
“Abang...”
Ah, akhirnya kau kembali berkata-kata Jelita. Jadi, apa yang ingin kau katakan Jelita?
“Abang... bisakah kau membawaku pergi dari sini?”
Aku tertegun dengan perkataan Jelita. Masih tak percaya hingga Jelita mengulanginya lagi.
“Abang, bisakah kau membawaku pergi bersamamu?”
“Jelita...” suara pelan itu keluar dari bibirku.
“Bukan abang, namaku bukan Jelita. Namaku Adinda. A yang berarti bukan, dinda yang berarti adik. Adinda berarti bukan adik. Aku bukan adik mu abang...”
“Jelita...” kataku lirih. Itukah yang selama ini aku katakan tentangmu? Apakah itu yang membuatmu menjadi seperti ini? Bisa kulihat bahwa hatimu sedang tidak stabil seperti biasanya, bisa ku lihat Jelita... kau sedang gundah, risau? Kau sedang bingung Jelita...
Aku bangun dari tempatku dan mengampiri Jelita. Aku mendekatinya dan bisa kulihat dengan jelas dalam matanya yang hitam -dan tidak bersinar seperti biasanya- ada kebingungan yang teramat dalam disana. Jelita, apakah aku yang merampas kemilau itu dari matamu?
“Jelita...”
“Bukan. Aku Adinda, bukan Jelita.”
“Jelita...”
Bisa kulihat tubuhnya bergetar, dan kemudian dia meneriakan kata yang sama berulang kali. Dia yang membenarkan bahwa dirinya bukanlah Jelita. Dia Adinda, dan seperti itulah yang aku yakini selama ini meskipun aku memanggilmu Jelita.
Bukankah nama Jelita itu lebih baik di banding Adinda? Setidaknya aku tidak akan tersakiti dengan nama itu, dan aku juga tidak akan menyakitimu. Karena aku hanya bisa memandangmu jika kau menyandang nama itu, dan apakah kau pernah memikirkan apa yang bisa kuperbuat dengan namamu sebagai Adinda?
Jelita, jika kau Adinda maka sudah lama aku akan membawamu serta kemanapun aku melangkah. Tak peduli dengan hukum terkutuk yang menentang hubungan kita, tak peduli pada orang-orang yang akan tersakiti dengan perbuatan kita.
Tapi tidak Jelita, biarlah kau menjadi Jelita dan hanya memimpikanmu menjadi Adinda. Cukuplah kau sebagai Jelita, dan cukuplah kau berperan sebagai Adinda untuk kehidupanmu yang lain, tapi tidak untuk kehidupanku.
Jelita, jika wahana berasal dari bahasa sansekerta Vah dengan huruf-huruf lainnya yang mengikuti dan terbentuk makna yang baru, maka biarlah, biarlah Jelita. Biarlah makna kata itu adalah tempat. Biarlah aku memilikimu dalam wahana, tempat yang ku miliki sendiri. Paling tidak di tempat itu kau dan aku bisa bersama, paling tidak kau tidak akan tersakiti, dan paling tidak, tidak ada orang-orang yang menyayangimu yang akan tersakiti karenanya.
Karena itu Jelita...
“Aku tidak bisa... aku tidak bisa membawamu Jelita...”
Jelita, kau menangis ketika mendengar jawabanku. Kemudian kau berlari keluar dari ruanganku dan entah kemana lagi kau melangkah. Tapi setidaknya, aku tahu... aku tahu ada seseorang yang selalu siap untuk berada di sisimu. Seseorang yang hampir setahun lalu hadir di hidupmu. Seseorang yang secara perlahan-lahan memudarkan bayangan Adinda, dan menjadikanmu hanya sekedar Jelita untuk ku. Bukankah di sisinya kau merasa di cintai Jelita? Kau merasa di sayangi dan merasa aman? Memang di sisinya adalah tempatmu, jadi Jelita... jangan pernah berbalik untuk sekedar menatapku dan jangan kau beri aku kesempatan seperti tadi Jelita.
Aku menghampiri meja dan disana aku menuliskan apa yang sedang ku pikirkan. Aku tahu tindakanku selama ini benar-benar salah. Dan sekaranglah aku harus mengakhirinya. Mengakhiri semua yang telah terjadi.
Maka hanya beberapa baris itulah yang mampu aku tuliskan untukmu Jelita. Sebelum aku pergi, sebelum aku kembali bergumul dengan kehidupanku yang entah ada atau tidak. Sampai jumpa Jelita, sampai jumpa Adinda...
@@@
Untuk Jelita...
Biarkan di sudut terkecil hati ini terdapat wahana Adinda. Tempat dimana kau menjadi Adinda dan aku menjadi diriku. Dimana kau dan aku bersama, menjalin tali-tali cinta yang tidak akan menyakiti siapapun. Disana, aku akan memanggilmu Adinda...

Minggu, 17 November 2013

Dunia Tanpa Kata

Aku tahu ada banyak warna di dunia ini selain hitam dan putih. Tapi tidak dengan apa yang kulihat saat ini. Hitam-putih. Itulah yang kulihat saat ini. Pohon-pohon yang seharusnya mempunyai warna alam yang selalu membuatku takjub, membuatku tidak bergeming saat ini. Batu-batuan yang mempunyai jutaan warna yang beragam pun hanya bisa berwarna hitam dan putih. Menyedihkan, tidak ada warna apapun selain dua warna itu. Aku tertegun untuk beberapa lama. Tidak. Aku tidak bisa melihat apapun selain dua warna menyedihkan itu, dan rasanya otot-otot yang selama ini kuat menyanggah tulng-tulang di kakiku pun goyah. Tak sanggup lagi menopang dan tempurung lututku pun melemas. Aku merasa, sebentar lagi aku aka terjatuh.
Hingga dia datang. Dengan kecepatan cahaya, dengan tubuhnya dia menopangku dan membangkitkanku hingga aku berdiri dengan otot-otot yang kurasa sudah tidak serapuh sebelumnya. Dunia yang berada di sekelilingku pun kembali berwarna dengan kehadirannya di depanku. Aku menatapnya sekilas dan ia tersenyum padaku seraya mengembalikan tiap molekul energi kehidupan di sekelingku.
Kami terdiam untuk beberapa lama dalam keheningan yang nyaman. Tanpa kata-kata, kami saling memahami. Tapa kata-kata, kami saling menyelami perasaan kami, dan tanpa kata-kata kemudian aku mengerti bahwasanya ia akan pergi ketempat yang aku tidak tahu. Bahkan tujuannya untuk pergipun aku tidak tahu. Aku meraih tangannya, dan masih tanpa kata-kata, aku menatap lekat mata yang terbingkai kaca mata itu, berharap bahwa perasaanku yang tidak menginginkan kepergiannya dapat tersampaiakan padanya. Jangan pergi... itu yang ingin aku katakan. Namun sepertinya, walaupun ia bisa menangkap apa yang ku inginkan, ia tetap tidak bisa berada di tempat sekarang ia berdiri untuk beberapa lama lagi.
Maka ia tersenyum, dan dengan lembut melepaskan genggaman tanganku di tangannya. Ia melangkah mundur sambil tetap menatapku dengan senyum miris yang juga mencabik hatiku, perasaanku, dan juga jiwaku. Ingin rasanya aku berteriak padanya dan memintanya untuk tetap di tempatnya sekarang. Tapi di dunia itu, kata-kata tidaklah ada gunanya. Kata-kata bahkan terasa tidak bermakna lagi untuk di ucapkan dalam keadaan apapun. Maka akupun berlari ke arahnya dan memeluknya erat. Aku bisa merasakannya. Merasakan kehangatannya, merasa nyaman dalam dadanya yang bidang, merasakan embusan nafasnya di ujung rambutku yang tertiup angin. Aku merasakan semuanya tentangnya. Aku memeluknya semakin erat, dengan harapan agar dia tidak pergi kemanapun ia akan pergi. Aku tidak peduli bagaimana dia akan menilaiku setelah ini, tapi yang jelas, aku tidak ingin dia pergi. Kemudian, kedua tangannya yang hangat ikut memelukku erat. Inilah dunia, yang aku tahu kata-kata tidaklah berguna.
@@@
Mey tertawa ketika aku selesai menceritakan mimpiku semalam, dan itu membuatku semakin kacau.
“Kau tahu itu bukanlah sikap yang pantas bagi seorang teman ketika dia tahu mimpi seperti apa yang mendatangi temannya tadi malam.” Desisku berusaha setajam mungkin.
Mey masih tertawa, dan bahkan sekarang aku bisa melihat ujung matanya mulai berair. Aku mulai kesal dan menganggap Mey teman yang menyebalkan.
“Mey?!” bentak ku dengan menambahkan sorotan mataku yang tajam, sorotan yang kupelajari dari seorang senior ketika aku menjadi anggota patroli keamanan sekolah ketika aku berada di bangku sekolah menangah atas.
“Baiklah-baiklah... maafkan aku...” katanya tersendat. Aku bisa melihat bahwa Mey masih berusaha -dengan sangat keras- untuk menghentikan tawanya.
Aku mengetuk-ngetukan jariku di atas meja berwarna cokelat yang selama ini berada di anatar aku dan Mey, dan juga yang selama ini menjadi penghalang hingga akhirnya aku berhasil untuk tidak membunuh Mey dengan tawanya yang menyebalkan.
“Kau tahu kan? Kau terdengar sangat dramatis disetiap cerita yang kau ceritakan, dan begitu melo-drama.” Komentarnya kemudian ketika akhirnya tawanya berhenti total.
“Aku hanya menceritakan semuanya padamu, selengkap-lengkapnya.”
“Ya, aku tahu.” Potongnya cepat. Ia lalu menyesap teh hijau di depannya dan kemudian membetulkan letak kacamata berbentuk persegi panjang yang membingkai mata sipitnya.
“Dan kau juga tahu, bahwa mimpi seperti potongan-potongan puzzle yang mengendap dalam alam bawah sadarmu. Mimpi adalah refleksi dari apa yang sebenarnya ingin kau lakukan, tapi tidak bisa kau wujudkan di alam nyata.”
“Atau...”
“Atau juga hanya serpihan bayang-bayang dari apa yang kau lihat, dengar, rasakan, yang secara tidak langsung membentuk partikel yang saling acak dan kemudian menjadikan itu sebuah mimpi yang sulit untuk di tebak jalannya.” Mey melirik ke arahku sebelum melanjutkan penjelasannya, “atau mungkin gabungan dari kedua hal tersebut.”
Aku terdiam mendengar argumennya. Argumen itu adalah hal yang kami bentuk bersama-sama beberapa tahun yang lalu ketika obrolan kami yang kadang aneh berkisar sekitar mimpi dan faktor apa saja yang mungkin bisa menjadikan sebuah mimpi, tentunya kami berlagak sok tahu kaarena tidak ada referensi buku apapun yang mengilhami kami membuat argumen ini.
Aku menghela nafas panjang, dan bisa kulihat Mey menyunggingkan sedikit senyum di sudut bibirnya yang mungil. “Kau benar.” Kataku kemudian.
Mey kembali menyesap teh hijaunya dan menatapku dengan mata sipitnya, “jadi menurutmu, manakah yang mengilhami mimpimu tadi malam?”
“Aku tidak tahu... kau tahu bahwa sudah sangat lama, dan tidak sepatutnya mimpi itu datang ketika aku sudah berada sejauh ini!”
Mey menaikan sebelah alisnya dan kemudian berdiri sembari menarik tanganku. “Well, tapi itulah yang terjadi, dan ternyata mimpi itu cukup patut untuk bercokol di mimpimu.”
“Bercokol? Kata apa itu?” protesku tanpa ada tanggapan yang berarti dari Mey.
Mey mengibaskan tangannya ke kiri dan ke kanan seolah menyingkirkan asap rokok di depannya.
“Dengar ya... aku akan memberimu saran terakhir sebagai orang yang mengatahui paling tidak seperempat hidup yang kau jalani dari total umurmu sekarang.”
“Hah?”
Mey berkacak pinggang, dan kemudian dengan gerakan jarinya menyuruhku untuk duduk di tempatku sembari ia berjalan mondar-mandir di depanku. Mencari wangsit, begitu katanya ketika aku bertanya kenapa ia berjalan bolak-balik seperti sertrika rusak.
“Pertama, kau tidak benar-benar mencitai orang yang akan kau nikahi dalam waktu satu bulan lebih beberapa hari.”
Mataku membelalak lebar ketika aku mendengarnya dan baru saja akan menginterupsinnya ketika Mey dengan gerakan tangannya menghentikan apa yang baru saja akan meluncur keluar dari bibirku.
“Kedua, kau masih mencintai Ari, percaya atau tidak.” Aku semakin membelalak, “dan ketiga...” Mey memberi jeda sejenak hingga ia akhirnya melanjutkan perkataannya, “berhentilah lari dari hatimu, turuti kehendaknya. Tinggalkan Johan sialan itu dan datanglah kepada Ari-mu tercinta.”
Mey berhenti tepat di depanku, dan aku berdiri. Menatapnya tidak percaya dan dengan langkah-langkah panjang mulai meninggalkannya dengan bill yang belum terbayar. Aku sudah janji aku yang mentraktir, tapi mendengar perkataanya yang sangat tidak masuk akal, akupun marah dan melupakan semua janjiku.
Aku tidak tahu kemana kakiku akan membawaku ketika akhirnya aku berhenti di sebuah kanopi yang menjulang indah di tengah kota dengan pemandangan air mancur yang menjadi sentralnya. Aku duduk di salah satu sudutnya dan mulai mengutuki diri sendiri. Dari semua yang dikatakan Mey, aku bahkan tidak bisa sama sekali membalas omongannya ataupun menyangkal salah satunya. Yang aku lakukan hanyalah duduk diam dan membiarkan Mey mengatakan hal-hal mengerikan itu. Oh Tuhan...
@@@
28 hari menjelang pernikahanku.
Sudah satu minggu aku tidak bertemu dengan Mey. Aku menghindari untuk berkomunikasi bagaimanapun caranya dengannya. Aku masih marah dengannya, atau barangkali aku takut mendengar apa yang akan ia katakan. Apalagi, mimpi yang sama selalu berulang-ulang ketika aku terjaga, dan akibatnya, terdapat kantung hitam di bawah mataku karena ketakutanku berada di alam bawah sadar.
“Mbaak, mbak denger aku nggak sih?” suara serak salsa, adik ku menyadarkanku dari lamunanku.
“Eh? Ada apa?” tanyaku gelagapan, menyadari tindakanku.
Salsa menghembuskan nafas panjang, “Mbak bener-bener harus ngomong sama Mbak Mey.” Salsa bangun dan mengambil telepon genggamku.
“Apa?” tanyaku masih tidak mengerti arah pembicaraan Salsa.
“Apa lagi? Cepat hubungi Mbak Mey dan minta dia kesini! Aku benar-benar nggak sanggup menangani Mbak seorang diri. Seharusnya aku menolak ketika Ibu memintaku memeriksa keadaan Mbak di sini jika tahu kalau keberadaanku sama sekali nggak di anggap.”
“Salsa...” kataku sembari menarik nafas panjang, “maafkan Mbak, hanya saja banyak yang Mbak pikirkan akhir-akhir ini.”
“Ya... aku bisa melihat buktinya dari kantung mata di bawah mata Mbak. Suara Mbak pun terdengar lesu ketika Ibu menelponmu sampai Ibu menyuruhku menemanimu.” Jawabnya sambil menatapku heran. “Ada apa?”
Aku diam, tidak bisa menjawab apapun dan sepertinya Salsa cukup bijak untuk tidak memaksaku mengatakan apa yang terjadi.
“Baiklah, aku akan menghubungi Mbak Mey, dia selalu bisa mengatasimu.”
Maka begitulah, Salsa menghubungi Mey dan setengah jam kemudian Mey telah berada di depanku dengan senyumnya yang penuh ejekan padaku.
“Aku akan meninggalakan kalian sebentar, aku ada janji dengan temanku dan sebaiknya ketika aku kembali, Mbak sudah membuat keputusan yang tepat. Dengar Mbak, kami tidak akan menyalahkan Mbak atas setiap keputusan yang akan Mbak ambil. Kami sayang Mbak dan selalu ingin yang terbaik buat Mbak.” Salsa tersenyum di akhir kalimatnya dan kemudian menghilang seiring dengan suara pintu yang terbuka, kemudian tertutup pada detik yang selanjutnya. Meninggalkanku bersama Mey yang saat ini lagi-lagi tersenyum layaknya pemenang.
Look Disa! Bahkan adikmu mengerti masalah apa yang sedang kau buat sendiri!”
“Bukan aku yang membuat masalah. Tapi kau!” desisku tajam.
Mey hanya tertawa, “bukan aku yang bermimpi bebh, dan bukan aku yang akan menikah 28 hari lagi terhitung dari hari ini.”
“Kau pikir Salsa tahu apa yang baru saja dia katakan?”
I think so, kau tidak bisa meremehkan naluri seorang wanita walaupun dia masih SMA.”
“Apa kau pikir apa yang dikatakannya adalah cerminan dari kedua orangtuaku?”
Maybe yes, or no!” katanya santai, “wait... apa kau bermakud untuk menurut saranku?” pupil mata Mey melebar dan aku tahu itu tanda bahwa Mey sangat senang dengan kemungkinan aku menuruti sarannya.
“Aku tidak mengatakan bahwa aku akan mengikuti saranmu Mey! Aku hanya berkata bahwa mungkinkah?”
Mey tertawa lagi, demi Tuhan. Kenapa  mahluk yang satu ini senang sekali tertawa. “Itu tidak ada bedanya bahwa kau memikirkan saranku. Dan kujamin itulah yang harus kau lakukan jika kau tidak ingin menyesal.”
“Dan tentu saja aku tidak akan meelakukannya.”
Why?”
“Karena aku mencintai Johan!”
“Itu tidak benar.”
“Bagaimana kau mengatakan bahwa itu tidak benar? Bukan kau yang merasakan apa yang kurasakan!” balasku tak mau kalah.
“Kau hanya membutuhkan Johan untuk menikahimu 28 hari lagi, tapi jelas sekali kau tidak mencintainya!”
Aku menjadi gusar, “atas dasar apa kau mengatakan hal itu!”
“Observasi Mey! Observasi! Sesuatu yang selalu kau lakukan dalam pekerjaanmu!”
“Terangkan!” tantangku.
Mey mengambil ancang-ancang, “alasan Mey mengatakan bahwa Adisa hanya sekedar membutuhkan Johan, tapi tidak mencintainya.” Mey berkata tenang, sambil membuka buku agendanya yang berada di tas jinjing miliknya yang berwarna merah marun. Produk calvin klein, aku ingat kami membelinya ketika sedang ada diskon gila-gilaan.
“Pertama, Adisa selalu menjadi orang lain ketika ia bersama Johan.” Mey menatapku yang duduk sambil menatap tidak percaya dengan apa yang kulihat. Mey membaca agendanya ketika mengatakan apa yang dia ingin katakan, seperti sudah siap sebelumnya dan hanya menunggu waktu yang pas untuk membeberkannya padaku.
“Apa alasanya?”
“Biarkan aku membacanya sampai selesai, oke?”
Aku menurut dan membiarkan Mey melanjutkan ocehannya. Ah, ocehan mungkin terlalu kasar. Lagipula Mey benar-benar teman yang baik untukku. Jadi aku menurut dan membiarkan Mey melanjutkan membacakan hasil observasinya.
“Alasan pertama memang tidak menunjukan bahwa Adisa hanya membutuhkan Johan, tapi itu menjelaskan bahwa tidak seharusnya kau menjadi oranglain ketika bersama dengan orang yang au cintai. Jadi kesimpulannya, Adisa tidak mencintai Johan!”
Aku baru saja akan melontarkan protesku ketika sadar bahwa aku telah mengijinkan Mey membacakan hasil observasinya sampai selesai, jadi aku menelan bulat-bulat apa yang ingin aku katakan. Lagipula, aku rasa Mey mulai benar, dan astaga! Tidak, pemikiran seperti itu tidak boleh mampir walaupun sedetik di otakku.
“Kedua, alasan sebenarnya Adisa menikahi Johan karena ia kecewa dengan Ari hingga menjadikan Johan sebagai pelampiasan. Namun sepertinya Adisa sudah keterlaluan hingga akan menikah dengan orang yang ia tahu, tidak ia cintai.”
“Itu tidak benar! Aku tidak seperti apa yang kau katakan!”
“Ya, aku benar. Itulah awalnya, dan masih sama sampai sekarang.”
“Aku mencintai Johan!”
“Kau membutuhkan Johan, tapi tidak mencintainya. Johan membuatmu merasa di cintai, bertolak belakang dengan Ari yang membuatmu harus mencintainya. Tapi kau tahu bahwa Ari juga mencintaimu. Johan mengekspolasi rasa cintanya dengan kata-katanya, tapi Ari dengan perbuatannya mengatakan bahwa ia mencintaimu.”
“Memangnya kenapa kalau begitu? Itu bukan hal yang bisa membuatmu mengatakan bahwa aku tidak mencintai Johan!”
“Johan  adalah bentuk nyata dari imajimu, seperti tameng yang kau butuhkan untuk menolak keberadaan Ari di dalam hatimu! Kau harus akui itu Disa!”
Tubuhku lumpuh ketika Mey berhenti mengatakan sesuatu yang aku tahu, itu semua adalah benar. Bisa kulihat Mey panik ketika mendapatiku jatuh berlutut di lantai yang dingin. Mey membuang agendanya dan terbuka ketika ia berteriak panik memanggil namaku bersamaan dengan langkahnya yang berlari ke arahku. Ketika itu, waktu seakan melambat dan pandanganku bisa 100 kali lebih tajam daripada biasanya. Di buku agenda Mey, tercatat paling tidak 5 poin alasan kenapa aku hanya membutuhkan Johan, tapi tidak mencintainya. Tapi bahkan hanya sampai point ke dua dan alam bawah sadarku sudah meneriakan bahwa semua yang di katakan Mey adalah kenyataan yang sesunguhnya. Bahwa selama ini aku hanya menggunakan Johan sebagai tamengku.
Tatapanku kosong, dan air mata jatuh tanpa bisa ku cegah. Aku menangis seperti anak kecil dengan lengan Mey yang memeluk ku.
“Mey... apa yang harus kulakukan?” kataku di tengah-tengah tangisku.
“Mey... aku mencintai Ari... Mey, apa yang harus kulakukan?”
Mey hanya diam, membiarkanku meracau dengan omonganu di tengah isak tangisku, dan aku bisa merasakan bahwa saat itu, Mey pun ikut menangis bersamaku. Menyedihkan sekali, bahkan lebih menyedihkan jikalau dunia ini hanya mempunyai dua warna, hitam dan putih.
@@@
25 hari menjelang pernikahanku.
Mey menggenggam tanganku erat dan berkali-kali ia mengucapkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mengatakan bahwa aku bisa melewatinya. Mengatakan bahwa aku adalah wanita kuat yang selalu bisa mengatasi segala halangan dan rintangan yang melandaku.
Tapi, tak tahukah kau Mey? Bahwa dalam hal perasaan maupun cinta, bahkan seorang pejuang terkuatpun akan luluh dan menjadi tak berdaya. Bahkan di hadapan cinta, seorang Romeo rela mati demi bersama dengan kekasihnya, seorang Qais pun menjadi gila oleh perasaanya. Tapi mungkin kisahku tak setragis kisah mereka, itu yang selalu kita bicarakan ketika kau kehilangan cinta pertamamu kan Mey? Maka biarlah sekali lagi kekuatanmu mengisiku dan membuatku menuju bahagiaku hingga aku tidak akan menyesalinya di masa depan nanti.
Johan datang menemuiku, masih denga gayanya yang biasa. Setelan kemeja dan celana panjang berwarna hitam. Sangat berbeda dengan penampilan Ari yang sehari-harinya hanya menggunakan kaus dengan celana denim. Bahkan dalam mimpiku, Ari mengenakan kaos putih panjang dengan celana denim berwarna biru. Rambut Johan rapi dengan gel berbau maskulin yang tercium jika kau cukup dekat dengannya. Sementara Ari selalu membiarkan rambutnya jatuh di bahunya, di keningnya, di samping telinganya tanpa gel.
Tuhan... kenapa baru saat ini aku menyadari bahwa aku sangat mencintai Ari? Aku bahkan merindukannya hingga dadaku sesak. Tapi disini, terlebih dahulu aku harus menyelesaikan urusanku dengan Johan yang aku tahu, akan membuat Johan sedih karena perbuatanku.
Johan sampai di tempat ini dan aku bisa melihatnya ketika ia memasuki pintu yang terbuat dari kaca transparan.
Mey menggenggam tanganku lebih erat, dan aku tahu ini adalah saatnya Mey membiarkanku hanya berdua dengan Johan. Aku tersenyum pada Mey dan ia dengan enggan mengangguk dan melepaskan genggamannya untuk kemudian pergi meninggalkanku.
Johan kini berada di depanku, hanya meja selebar kurang dari setangah meter yang memisahkan aku dengannya. Wajahnya murung, dan awan mendung seperti tergambar jelas disana. Seperti ia tahu tujuanku memintanya datang menemuiku disini.
Hening diantara kami, tidak seorangpun dari kami ingin memulai pembicaraan yang menyakitkan ini. Tidak, itu tidak benar, itu menyakitkan hanya untuk Johan. Kenyataannya aku cukup kejam hingga memperalat Johan sampai sejauh ini. Sampai dua tahun setelah aku melepaskan hubunganku dengan Ari. Betapa menjijikannya aku.
Aku menggigigt bibirku, dan tanpa awal mula yang menjanjikan, aku menetaskan air mataku yang menetes tak tahu malu.
Johan tetap tidak bergeming, tidak seperti biasanya ketika aku menangis dan kemudian ia akan memelukku, menenangkanku dengan kata-katanya. Seolah-olah ada palang peringatan bahwa tujuan Johan kesini bukanlah untuk menghiburku seperti biasanya. Tugas itu telah selesai dan ia tidak bisa melakukan itu lagi.
“Aku... selalu bertanya kapan saat ini akan tiba...” ucap Johan dengan suara bariton nya.
Aku tidak berani menatapnya, dan hanya bisa terus merunduk dengan tetesan air mata yang semakin tak tahu malu untuk keluar.
“Bolehkan, bolehkan aku yang mengakhiri ini?”
Aku makin tersedu ketika mendengar ucapannya. Johan, maafkan aku... Aku meraung dalam hati. Kau tahu aku tidak bisa berkata-kata saat ini, dapatkan kau mendengarkan permintaan maafku yang menjijikan itu Johan? Maafkan aku, maafkan aku...
“Tidak ada yang perlu dimaafkan Disa. Kau tidak bersalah, sama seperti aku juga tidak bersalah kepadamu.”
Aku masih tersedu.
“Lagipula, aku yang mengakhiri hubungan ini. Aku rasa aku tidak sanggup untuk membina rumah tangga bersamamu. Kau tahu aku terlalu sempurna untuk menjadi suamimu dan aku bisa mencari seorang istri yang lebih baik darimu.”
Lihat. Kau bahkan memberiku alasan Johan. Kau benar laki-laki yang baik, tapi kenapa aku tidak bisa mencintaimu? Bukankah seharusnya aku bisa mencintaimu? Kenapa aku tidak bisa?
Karena rasa cinta adalah sesuatu yang tidak bisa kau manipulasi. Itu argumen lain yang aku dan Mey buat. Hasil dari pembicaraan-pembicaraan kami yang kadang aneh.
“Terima kasih kau sudah menemaniku sampai sejauh ini. Tapi sayangnya, semua itu harus berakhir. Mulai detik ini, kau, Adisa, bukan lagi calon istriku yang 25 hari lagi akan ku nikahi.”
@@@
Bau cat minyak mendominasi ruangan berukuran 3x3 yang didalamnya penuh sesak dengan kanvas yang telah meninggalkan jejak putihnya. Di tengah ruangan, duduk seorang pria yang sedang memegang kuas tanpa cat minyak yang berada di dekatnya. Tidak, pria itu tidak sedang melukis atau sebagainya. Pria itu hanya duduk di tengah ruangan sembari menatap figur dalam lukisan di atas kanvas di depannya.
Aku melangkah mendekatinya yang masih saja tidak menyadari akan keberadaan manusia lain dalam sangkarnya yang kecil itu. Aku menatap punggungnya lama, dan tersenyum ketika menyadari bahwa hanya beberapa langkah lagi dan aku akan bisa bersamanya. Terlepas dari apapun yang pernah terjadi, aku menyadari bahwa ia pun masih mencintaiku seperti aku mencintainya. Tidak peduli bahwa dua tahun yang lalu, ketika aku memintanya menikahiku dia dengan cepat menjawab ”tidak”.
Ketika itu, aku sangat kecewa padamu dan menganggap bahwa kau tidak mencintaiku seperi aku mencintaimu. Aku hanya berburuk sangka kepadamu, dan enggan bertanya lebih jauh kenapa kau mengatakan tidak. Bukankah saat itu aku begitu egois? Aku bahkan tidak mempunyai sedikit keinginan mendengar alasanmu.
Setelah aku tahu alasanmu pun, (bahwa kau mengetahui Ibuku sakit dan aku harus menemaninya dan merawaatnya dengan baik, atau aku akan menyesalinya kemudian, tapi kau tidak pernah mau memberitahukan padaku dan hanya diam. ketika itu hubunganmu dengan Ibuku deimikian buruk, tapi tidak pernah kau begitu egois untuk memiliki ku hanya untukmu seorang) aku telah memiliki Johan sehingga egoku tidak mengijinkan ku untuk meminta maaf dan kembali padamu. Tapi hari ini, lagi-lagi aku datang seperti sebelumnya dengan harapan bahwa kau akan menerimaku kembali dalam hatimu, dalam kehidupanmu.
Aku tidak tahu apa penyebabnya ketika ku lihat tubuhmu tersentak, dan kemudian kau berbalik dan menemukanku menatapmu. Tatapan kita bertemu. Seolah bumi berhenti berputar dan dimensi yang bernama waktu tak ada lagi, kita hanyut dalam imaji masing-masing. Aku menyelami kedalaman matamu yang melukiskan kerinduanmu akan kehadiranku. Bukankah rindu itu sangat menyesakkan? Lalu matamu melukiskan sesuatu yang lain, sesuatu yang menandakan bahwa kehadiranku untukmu adalah sebuah anugerah terindah yang pernah kau dapat. Aku ingat kau pernah mengatakan hal itu kepadaku. Ketika itu aku hanya menanggapinya dengan senyuman tanpa kata-kata. Tapi bisakah kau melihatnya juga di kedalaman mataku bahwa kaupun seperti anugerah untuk ku. Ari, aku kembali. Aku mencintaimu.
Di dunia tanpa kata-kata, dimana diam adalah salah satu alat dimana kita dapat saling memahami satu sama lain. Lalu aku merasa kesadaran terpatri di hatimu, bahwa ada satu cara agar aku tidak pergi darimu, tidak lari darimu lagi, dan tidak akan meninggalkanmu. Kau bertanya padaku... apakah aku mau menjadi pengantinmu?
Akupun menjawab, aku mau... aku mau menjadi pengantinmu, Ari...