Minggu, 27 Oktober 2013

Ma....



Angin sore yang semilir berhembus sejuk, membelai helai-helai rambutku yang masih basah dan menyerbakkan wangi strawberri yang kusukai. Aku menerawang jauh di kursi serambi rumah dan mulai menyesap teh yang masih mengepul hangat dalam dekapan jari jemariku. Kosong, tidak dapat berpikir apapun. Tidak dapat merasakan apapun. Bahkan untuk sekedar menangispun rasanya lelah sekali.
Lama aku termangu menatap langit, dan sang angin masih saja memainkan rambutku yang perlahan mulai mengering. Kala itu, engkau dengan wajah teduhmu mendekatiku yang sedang termenung (meski ketika itu, aku tidak merasakan kapan kedatanganmu Ma...). Engkau menungguku lama, bersabar karena pikiranku yang masih bermain-main dengan nirwana yang kuciptakan sendiri.
Sampai akhirnya, aku mendengar suara isakan itu. Engkau terisak dalam diam, meski mata beningmu tidak menampakan butiran air mata, namun aku dapat merasakan hatimu yang terisak terus menerus. Hingga aku akhirnya melepaskan diri dari nirwana yang ku bangun dan kemudian beralih padamu.
Bahkan ketika itupun kau masih saja menyunggingkan senyum terbaikmu.
Kemudian aku menatap mata cokelatmu, tempat dimana kau tidak bisa membohongiku, meski dengan senyum terbaikmu.
“Ma...”
“Setidaknya kamu sudah berusaha... Mama juga akan berusaha...” katamu lemah. Ketika itu, aku bisa merasakan rasa lelah yang kau alami.
Ma... apa yang kau lakukan sepanjang siang ini? Ketika anakmu hanya bisa berdiam diri. Meratapi diri sendiri. Berkhayal tentang sesuatu yang sudah terjadi, dan kemudian hanya duduk terpaku sambil sesekali menangis dalam diam. Bukankah sejak pagi tadi kau tidak terlihat di rumah? Kemana kaki muliamu membawamu sejak tadi?
“Sudahlah Ma... tidak perlu mencari pinjaman uang lagi...”
Kemudian, bunyi isakan itu keluar dari mulut manismu. Air bening itupun meluncur keluar tanpa bisa kau cegah. Kau tau Ma? Mungkin hal yang membuatku sakit seperti sekarang tidak seberapa dibandingkan melihatmu terisak seperti ini. Dan kala itu, akupun ikut terisak bersamamu.
“Maafkan Mama... Mama belum bisa membuatmu meneruskan sekolah mu seperti yang kamu inginkan...”
Ketika itu aku masih terisak, tak mampu untuk menjawabmu Ma... Apa kau tahu Ma? Ketika itupun aku mengetahui keadaanmu. Pun sangat mustahil untuk meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Saat itu, sangat mustahil...
Tapi aku tidak bisa memberitahumu Ma, tidak saat itu. Kegagalan teralu berat untuk ku terima Ma, dan hanya berdiam diri, termenung dan melamun yang bisa kulakukan saat itu. Tapi kau mengerti benar putrimu kan Ma? Biarkan aku remuk redam untuk beberapa saat ini dan kemudian aku akan bangkit Ma. Aku akan berlari secepat yang aku bisa dan mengejar teman-temanku yang lain. Agar kami sejajar. Agar kau tidak perlu merasa bersalah seperti ini. Agar air bening itu tidak keluar dari mata indahmu lagi Ma. Dan hal itu pasti terjadi Ma... Lihatlah Ma, dan percayalah putrimu ini Ma...

Minggu, 06 Oktober 2013

Gadis Berpayung Merah

Aku menyalakan mesin Espresso yang terletak di pojok dapur, dan mencoba terlelap di sudut sofa yang tak jauh darinya. Mencoba menikmati dimana aku bisa mendengar suara rintik hujan di luar sana dan dengungan halus dari mesin Espresso miliku sendiri.
@@@

                Hujan turun sejak pagi tadi, membuat udara kota Bogor yang  semula sejuk menjadi semakin dingin. Aku yang notabene hanya seorang mahasiswa asal daerah pesisir pantai, jadi di buat repot olehnya. Kalau harus memilih, aku lebih suka berada di udara terik seperti pesisir pantai. Andai bundaku tak meminta aku untuk merantau kemari, saat ini aku pasti sedang asik berlayar di pantai ku sekedar untuk menghabiskan waktu ataupun mencari ikan untuk sesuap nasi.
                Saat itu Bunda di ajak oleh paman berjalan-jalan keliling Jakarta. Selepas berkeliling Jakarta, paman mengajak Bunda ke Bogor untuk menemui calon istrinya yang ternyata seorang gadis asli Bogor. Saat itulah, bunda untuk pertama kalinya menginjakan kakinya di daerah sejuk ini. Bunda begitu terpukau karena dari beliau lahir sampai saat itu, baru pertama kalinya bunda pergi ke daerah berhawa sejuk. Dan akhirnya, ia jadi berambisi untuk mendaratkan salah satu anaknya di Bogor. Sepulang dari Bogor, Bunda begitu menggebu-gebu menceritakan perihal Bogor, dan saat itu aku yang sedang menuntut ilmu di bangku sekolah kejuruan kelas 3-pun menjadi harapan agar bisa meneruskan pendidikanku ke sana. Padahal dua kakak ku yang lain tidak begitu. Kakak pertama ku saat lulus sekolah dia langsung bekerja sebagai nelayan bersama Ayah, dan kakak ke-dua memang meneruskan pendidikannya, tapi di universitas yang dekat dengan rumah. Itupun Universitas swasta. Saat itu aku hanya menelan ludah ketika Bunda mendikte bahwa ia ingin aku bisa kuliah di Bogor. Di IPB, Institute Pertanian Bogor.
                Dan disinilah aku sekarang. Menggigil menahan udara dingin yang terus-terusan menusuk sampai ke tulang belulang ku. Aku merapatkan mantel terluar berwarna putih ke tubuhku yang tidak begitu gemuk, tapi juga tidak begitu kurus. Mantel ini adalah pakaian lapis ketiga yang kukenakan. Sebelumnya aku memakai kaus dan sebuah sweater, tapi tetap saja merasa kedinginan. Aku memandang langit sore yang masih terguyur hujan dari etalase sebuah coffee shop, tempat favoritku sejak pertama kalinya aku menginjakan kakiku di sini.
Aku ingat betul saat pertama kali temanku mengajakku ke sini. Kala itu hari tidak hujan seperti sekarang, tapi tetap saja aku merasa dingin. Ia membawaku kemari dan saat aku melangkahkan kaki pertamaku memasuki pintu kaca itu, aku disambut oleh semerbak harum kopi yang nikmat. Mataku langsung terjaga dan pandanganku tak lepas mengagumi interior dari tempat ini. Dinding berwarna cokelat muda berpadu dengan cokelat tua yang menjadikan suasana tempat ini begitu hangat dan menakjubkan.
                Untuk kesekian kalinya lonceng penanda pelanggan datang di kumandangkan. Dan untuk kesekian kalinya pula kepalaku dengan otomatis menengok ke arah datangnya suara di depan pintu masuk. Bukan tanpa alasan hari ini aku masih saja berada di dalam Cofee Shop ini dalam keadaan menggigil. Jika tidak ada alasan yang benar, aku lebih memilih pulang ke kontrakan yang aku sewa dengan beberapa teman yang lain dan melindungi diri dari udara dingin ini. Lonceng kembali berbunyi, kali ini tampak sepasang sejoli bergandengan mesra memasuki Cofee Shop ini. Aku segera mengalihkan pandanganku, berusaha tidak melihat hal itu. Aku memang bukan seorang anak pesantren, tapi untuk hal semacam itu aku benar-benar tidak suka melihatnya, tidak apa-apa jika mereka sudah menikah. Tapi kebanyakan malah belum mengikat janji di depan Tuhan, apa itu perbuatan yang baik? Aku menghembuskan nafas panjang.
                Suara musik dari coffee shop ini dengan setia menemaniku menunggu kedatangannya. Sebentar lagi pukul 6 sore, dan dengan begitu berarti aku sudah menuggunya selama 4 jam. Aku mulai frustasi dan bersiap-siap untuk pulang. Aku menyimpan lembar tugas yang tadi ku kerjakan kala menunggunya, dan segera kumatikan laptop ku dan kumasukan ke dalam tas yang anti air. Ini laptop pinjaman dari teman satu kontrakanku, jadi jika terjadi sesuatu terhadap laptop ini aku harus bertanggung jawab.
                Aku melambaikan tanganku dan dengan segera, seorang waitress wanita berumur hampir sebaya denganku mendatangiku dan menyerahkan struk yang berisi beberapa digit angka. Aku membayar dan mengucapkan terima kasih seraya melangkahkan kakiku untuk pulang. Sebelumnya mataku sempat melirik ke arah pasangan tadi yang kini sedang bersitegang, harusnya aku menonton saat-saat ini. Bibirku tertarik ke belakang dan menyunggingkan senyum saat melihat adegan itu, pasti akan sangat mengasyikan.
                Aku kembali menggigil ketika tengah berada di luar coffee shop, dengan segera ku ambil payung berwarna cokelat yang ku bawa dan segera membukannya. Dengan hati-hati aku mulai melangkahkan kaki pertamaku, jangan sampai aku terpeleset atau jatuh, karena sekarang saja badanku sudah seperti mau pecah. Aku baru melangkahkan kaki pertamaku ketika dia yang ku tunggu datang dan memberikan senyum indahnya padaku. Saat itu seperti malam yang di sinari oleh cahaya bulan, atau seperti matahari yang kau lihat ketika kau berada di kutub utara, atau bahkan sepeti kau melihat oase di gurun pasir yang panas, melanda perasaanku. Aku merasa sangat senang dan bahkan jika tidak ingat bahwa aku sedang berada di tempat umum, aku mungkin sudah melonjak karena senangnya. Dia dengan tergesa berlari kearahku dan mengucapkan salam padaku, Ya Tuhan, lagi-lagi ia menampakan senyum indahnya padaku. Aku dengan tergagap menjawab salamnya, well sebenarnya tergagap seperti ini bukan gayaku, hanya saja aku terlalu terpesona oleh senyum indahnya.
“Maaf, kau sudah lama menungguku ya?” suara indahnya keluar di sela-sela hujan yang sekarang telah menjadi rintik-rinrik kecil gerimis. Ya, aku sudah berapa lama menunggunya? 1 jam? 2 jam? 3 jam? 4 jam? Ya, 4 jam, aku sudah menunggunya selama 4 jam dan sudah hampir mati bosan di buatnya. Seharusnya aku marah padanya, tapi kenapa saat aku melihatnya bahkan lidahku kelu untuk menjawab pertanyaannya? Bahkan untuk marah padanya terasa sangat sulit sekali. Bahkan dalam pikiranku aku lebih memilih untuk mengerjakan soal-soal turunan aljabar sebanyak 100 lembar di banding untuk memarahinya.
“Kau marah padaku?” dia bertanya lagi, mungkin karena tidak ada jawaban dariku. Dalam hati aku memberontak, apakah dia tidak tahu? Bahwa, sekalipun aku memarahinya, toh aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa marah padamu.
Aku menarik nafas pelan, mencoba menjerihkan pikiranku. Apa yang dia lakukan sampai-sampai membuat Rega Ardi Putra menjadi linglung seperti ini?.
Aku tersenyum padanya, mencoba bersikap netral. “mungkin aku yang datang terlalu cepat…” kataku pada akhirnya, apa hanya itu yang bisa ku katakan?
“Ayo masuk ke dalam, aku akan mentraktirmu kopi hangat.”
Aku menggeleng, “tidak terima kasih, aku sudah hampir mati kembung karena kebanyakan minum kopi, aku akan pulang saja, dan…” aku mengambil bungkusan panjang yang aku bawa sejak pagi dan menyerahkannya pada gadis itu, gadis perpayung merah dengan mata cokelat hangat, senada dengan warna kopi hangat kesukaanku, “terima kasih atas bantuanmu kemarin lusa…” aku tersenyum padanya, mengingat bagimana payung berwarna merah ini bisa menyelamatkanku dari serangan hujan yang melandaku kemarin lusa, sebenarnya aku tidak masalah jika harus kehujanan, tapi akan menjadi masalah jika maket taman yang telah ku kerjakan selama sebulan ini hancur karena hujan itu.
“Jadi sekarang kau mau pulang?”
Aku mengangguk, “hari sudah menjelang malam, dan kurasa aku harus segera mengembalikan barang yang ku pinjam dari temanku.” Ya, tadi pemilik laptop berpesan agar aku tidak sampai malam meminjamnya, dia juga punya tugas yang harus ia selesaikan. “Kau juga sebaiknya lekas pulang.”
“Kemana?”
“Ke rumahmu tentu saja, atau mungkin ke kost mu? Atau ke kontrakanmu?” tanyaku mulai tak paham. Aku tidak tahu asal usul gadis di depanku ini, apakah dia seorang mahasiswi, atau penduduk asli Bogor.
“Rumah?” dengungnya pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya, “bukankah rumah itu tempat dimana ada seseorang yang menunggumu untuk kembali?”
Aku tambah tak mengerti, “Ya, ku rasa benar…”
“Kalau begitu aku tidak punya rumah yang seperti itu, ah,,, aku akan masuk dan memesan beberapa kopi hangat untuk ku bawa pulang. Kau bisa pulang duluan.”
“Lalu, kemana kau akan pulang?”
“Entahlah…” dia mengangkat bahunya dan tersenyum kecut. Dia membalikan badannya dan memasuki coffee shop itu. Aku mulai ragu untuk meninggalkannya sendirian, apa lagi daerah ini sangat sepi saat malam, aku tidak akan tega meninggalkannya sendirian di tempat ini. Aku kemudian mengikutinya dan ia tersenyum lebar saat melihatku berada di belakangnya.
“Aku tahu kau orang yang baik…” katanya lirih.
Aku mengabari temanku bahwa aku akan pulang setelah menyelasaikan urusanku di sini, dan meminta maaf karena mungkin pulang sedikit malam. Aku kan masih memegang laptopnya.
                Kami mengobrol agak lama, dan gadis di depanku, gadis yang ku juluki gadis berpayung merah ternyata bernama Mentari. Dia lebih muda setahun dariku dan kini sedang cuti selama setahun. Dia sendiri kebingungan untuk memilih jurusan apa atau dimana ia akan meneruskan pendidikannya. Dia orang yang ceria, dan selalu saja mempunyai topik untuk di bicarakan jika sebuah topik selesai di bicarakan. Tepat pukul 8 malam, kami menyudahi pembicaraan kami. Hujan sudah berhenti tapi udara masih saja dingin menusuk sampai ke tulang. Badanku menggiggil ngilu, dan Mentari yang tengah di sampingku berusaha menahan senyumnya. Ia orang asli sini, jadi pasti telah terbiasa dengan hawa dingin ini. Kami berjalan beriringan dan aku mengantarkannya di persimpangan yang ia bilang dekat dengan rumahnya. Walaupun aku memaksa akan mengantarkannya sampai ke depan rumahnya, tapi ia menolak dengan halus. Jadi di sanalah aku bisa mengantarkannya.
                Setelah pertemuan itu kami jadi sering bertemu. Dalam satu pekan, bisa saja kami frekuensi pertemuan kami sebanyak 3 sampai 5 kali. Dan pertemuan kami selalu di tempat yang sama, Cofee Shop tempat pertama kali kami bertemu. Teman-teman yang lain bahkan mengatakan bahwa Mentari adalah gadis berpayung merah-nya Rega. Hal ini benar-benar menggelitik perasaanku ku, tapi tidak bisa di pungkiri bahwa hal itu ada benarnya juga. Pernah suatu ketika saat aku tidak datang ke Cofee Shop karena tugas mendadak dari dosen. Temanku berinisiatif untuk mengambil tempatku dan berharap bertemu dengan Mentari. Tapi sampai malam menjelang, dia tidak kunjung datang. Mungkin dia seperti magnet yang hanya bisa melekat saat bertemu dengan pasangan yang sesuai.
                Aku baru menyelesaikan tegukan terakhirku ketika Mentari mengajak untuk pulang. padahal di luar gerimis mulai turun dan di antara kami hanya dia yang membawa payung, tentu saja dengan payung merah miliknya.
“Hujan…” kataku sambil merapatkan mantel cokelat yang baru ku beli kemarin lusa. “Kau yakin mau pulang sekarang?”
Mentari mengangguk dan bisa ku lihat matanya yang cokelat berpendar indah seperti bintang timur di langit sana. “Ayo kita main di bawah hujan ini!” katanya ceria.
Tanpa menunggu komentar dariku, ia menerobos hujan dan berlari berputar-putar di bawah hujan itu. Tak berapa lama ia menarik tubuhku yang masih kering karena masih berada di naungan atap Cofee Shop. Dengan segera, ratusan tetes air hujan membasahiku dan membuat semua bagian tubuhku yang semula kering menjadi basah sejadi-jadinya. Mentari menarikku sehingga kami berlari bersama menerobos hujan yang semakin lama semakin deras. Kami baru berhenti berlari ketika telah sampai di persimpangan yang hendak menuju rumah Mentari.
“Kau tidak akan melupakan ini bukan?” katanya padaku.
“Hujan-hujanan seperti ini? Ku rasa aku bahkan tidak bisa melupakannya hingga ke akhirat nanti…” candaku.
“Kalau begitu kau pasti tidak akan melupakanku bukan?”
“Bisa ya, dan bisa juga tidak…” tawaku berderai.
“Tapi aku tahu kau tidak akan melupakanku…” lagi-lagi, dia menampakan senyum indahnya padaku. Dan berlalu pergi meninggalkanku yang pasih terpaku di bawah hujan ini.
@@@
                Hari ini Bunda, Ayah, dan kedua kakakku datang ke Bogor untuk melihat acara wisudaku. Tak terasa sudah 4 tahun aku menuntut ilmu di Bogor. Selama di sini aku banyak mengalami berbagai hal yang membuatku menghargai setiap moment berharga yang aku habiskan dengan orang-orang yang ku sayangi.
                Hari ini langit sangat cerah, saat yang tepat untuk menyelenggarakan acara wisuda di tempat terbuka. Pikiranku menerawang ke langit biru yang terbentang di atasku. Setelah hujan kala itu, aku tidak lagi bertemu dengan Mentari. Dia menghilang begitu saja, dan bagaimanapun kerasnya aku mencari ke setiap rumah di persimpangan jalan itu, aku tetap tidak bisa menemuinya. Hingga kemarin lusa, datang seseorang yang mengaku kenalan dari Mentari datang menemuiku di Cofee Shop. Ia bercerita bahwa hidup Mentari tidaklah seindah senyumnya. Ia adalah anak dari hubungan gelap seorang pejabat ternama di Ibu Kota. Ibunya sendiri bahkan tidak mengharapkan kelahiran Mentari karena ia di anggap hanya akan menjadi masalah baginya dan bagi pejabat itu. Walaupun dari kecil ia hidup berkecukupan dan di barengi dengan kekayaan yang melimpah, tapi dia sama sekali tidak mengenal apa itu kasih sayang dari orang tua. Hanya neneknya yang merawatnya dengan penuh cinta kasih, bahkan neneknya yang memberikan nama untuknya. Tapi umur neneknya tidak sepanjang yang Mentari kira, Neneknya meninggal kala Mentari memasuki bangku sekolah menengah pertama. Dan sejak saat itu ia benar-benar seperti seorang yatim piatu. Ibunya sendiri, meskipun berada di atap yang sama dengan Mentari, tak pernah menyapanya atau menilik keadaannya dan bahkan tidak pernah  menanyakan kabarnya. Aku mulai paham dengan pengertian ‘rumah’ yang ia katakan kala itu.
                Aku lalu menanyakan kemana kiranya kepergian Mentari selama ini, tapi orang itu tidak bergeming sedikitpun. Ia juga tidak tahu kemana Mentari pergi. Tapi yang ia tahu, Mentari pergi meninggalkan rumah dengan senyum indahnya. Bukankah itu berarti suatu penanda yang baik? Aku kembali tersadar ketika tubuh kecil Bunda memeluku erat. Bunda menangis haru saat melihatku di wisuda. Dan ia mengatakan terima kasih karena aku sudah mau menuruti kemauannya yang ia tahu bahwa sangat berat bagiku untuk meninggalkan laut-ku. Aku hanya tersenyum pada Bunda. Beginikah kasih sayang itu? Hangat, seperti matahari yang menerangi kami di pagi ini? Apakah dia tidak pernah merasakannya? Di mana dia sekarang? Sedang apa kau di suatu tempat di luar sana?
@@@

                Aku bangkit dari posisi nyaman yang sebenarnya bisa saja membuatku terlelap jika saja aku tidak memikirkan gadis berpayung merah itu. Aku beranjak di pojok dapur dan menungkan secangkir kopi panas yang baru saja di olah oleh mesin espresso milik ku. Sekarang ini aku bukanlah seorang mahasiswa yang hampir menghabiskan setiap waktu luangnya untuk pergi ke Cofee Shop. Kini aku sudah bekerja dan telah mempunyai rumah rumah idamanku sendiri. Rumah di tepi pantai dengan taman yang ku rancang sendiri. Hasil usaha kerasku kala aku menempuh pendidikan untuk menjadi seorang Arsitek Landscape yang andal, telah membuahkan hasil.
                Aku membawa kopiku ke teras rumah, berusaha menikmatinya sembari mendengarkan rintik hujan di luar sana sambil memandang pemandangan terindah yang pernah ku lihat seumur hidupku. Derai tawa berkumandang dari seorang anak berumur 6 tahun yang dengan asik bermain dengan hujan bersama Ibunya. Mereka bergandengan tangan dan melompati setiap genangan air yang tercipta karena hujan sambil tertawa senang. Sang Ibu dengan setia menemani gadis kecil itu sambil memakai sebuah payung berwarna merah. Ya, dia adalah gadis berpayung merah-ku… 

Kamis, 03 Oktober 2013

Dia di hatiku...

Aku tidak tahu bagaimana awalnya hingga akhirnya hatiku seutuhnya tertambat padanya tanpa bisa ku cegah. Meskipun, tak jarang dia bercerita tentang gadis yang membuat jantungnya selalu berdetak lebih cepat dari biasanya. Ya, dia sering sekali menceritakan hal itu padaku, tentang bagaimana rasa sukanya bermula saat ia bertemu dengan gadis itu pertama kali saat ia masih berusia di awal belasan tahun. Saat pertama kali ia masuk sekolah menengah pertama. Walaupun gadis itu tidak meresponnya, tapi dia tetap menyukainya, hingga sekarang, tujuh tahun setelah pertemuan mereka pertama kali.
Aku senang saat dia mulai bercerita tentang gadisnya, walaupun harus ku akui, semakin aku menyukainya, semakin aku merasa tidak suka saat dia menyebut nama gadis itu. Tapi ekspresi matanya yang berbinar-binar dan hangat serta penuh cinta saat dia menyebut nama gadis itu, membuatku terpesona. Membuatku iri pada gadis itu, dan membuatku ingin sekali menempati posisi gadis itu. Aku ingin memiliki cinta itu, cinta murni yang jarang sekali ku temui.
Kehidupanku mungkin tampak baik dari luar, keluargaku, bagaimanapun juga tidak pernah kekurangan materi. Aku hidup berkecukupan karena kedua orangtua ku bekerja. Tapi karena itulah, mereka jadi jarang sekali di rumah, sekedar untuk menemaniku bersantai dan makan bersama rasanya pun sulit sekali. Sejak kecil, aku tidur di rumah eyang yang tak jauh dari rumahku. Sejak kecil pula, tante lah yang mengurusiku, dan bagaimanapun, tanteku bukan tipe orang yang keibuan yang penuh dengan kasih sayang dan selalu memberikan senyuman untukku. Dia tak jarang mengeluh saat mengurusku dan kadang saat dia sedang emosi, tak jarang pula ia melampiaskan amarahnya padaku dengan mencari-cari kesalahanku.
”Cari makan yuk,” katanya membuyarkan lamunanku. Dia berdiri di depanku dengan memegang kunci motornya. Aku terkesikap dan menyadari saat ini aku sedang bersamanya. Apa aku sudah kehilangan waktu yang berharga dengannya ketika aku melamunkan tentang kehidupanku yang menyedihkan?
Aku tersenyum dan bangkit dari posisi duduk ku. Mengejarnya yang telah berada di depanku dan dengan akrab menggandeng tangannya. ”Kita mau makan apa?”
”Apa aja. Cari yang deketan aja, aku lagi males ke tempat yang jauh.”
Aku tersenyum lagi padanya. Apapun asal aku bisa bersamanya.
”Aku menyukaimu...” kataku setelah mengumpulkan semua keberanianku, saat ini aku sedang bersamanya, bersantai menikmati saat-saat kami terbebas dari rutinitas kampus yang kadang membuat frustasi..
Dia mengangkat satu alisnya, ”Apa sih yang kau katakan? Aku juga menyukaimu. Kita kan teman...” dia terkekeh.
Aku menggeleng dan menatapnya lekat, ”Bukan sebagai teman. Aku menyukaimu lebih dari sekedar teman. Aku menyukaimu sebagai seorang perempuan yang menyukai laki-laki. Kau mengerti maksudku?”
Tawanya berhenti. Kini raut wajahnya yang biasanya kocak tampak serius. Matanya yang biasanya tampak jenaka mulai berubah, seperti menyiratkan rasa iba yang dalam kala mata hitam itu memandangku.
”Kau tahu bagaimana perasaanku.” ucapnya lirih. ”Aku tidak mungkin menyukaimu lebih dari ini. Kau tahu siapa yang ku sukai.”
”Aku tahu...” ucapku mengiyakan. ”Aku tahu bagaimana perasaanmu pada gadis itu. Aku tahu betapa kau sangat mendambanya untuk ada di sisimu. Aku tahu seberapa besar keinginanmu memilikinya.” aku berhenti sejenak, berusaha mencerna apa yang telah ku katakan. Aku memang tahu semua itu, dan kini aku malah menyatakan perasaanku padanya. Apakah dia akan bersikap menjauh setelah ini? Aku tidak tahu, tapi aku sudah terlanjur mengatakannya, tidak ada jalan untuk mundur. ”tapi gadis itu sama sekali tidak memikirkanmu bukan? Gadis itu mungkin bahkan sama sekali tidak menganggap kau berarti baginya.” aku berhenti dan mengamati raut wajahnya sejenak.
Dia tersenyum miris. Apa yang ku katakan memang benar. Aku tahu itu.
”Tapi aku berbeda, aku memikirkanmu lebih sering dari pada dia yang kau bilang selalu membuatmu berdebar-debar. Kau sangat berarti untuk ku. Aku menyukaimu.”
Dia tersentak saat kalimatku berakhir dengan pengakuanku yang aku tahu, dia bahkan tidak pernah berfikir akan seperti ini jadinya. Dia memandang langsung ke arah bola mataku. Masih sarat akan rasa iba, aku benci saat ia menatapku seperti itu.
Dia bangkit dari posisinya, ”Mungkin kau lelah. Sebaiknya kau istirahat.” katanya perlahan dan berjalan meninggalkanku.
”Arfan.” kataku sebelum dia semakin menjauh. ”kumohon, pikirkanlah sekali lagi. Aku menyukaimu.”
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Semuanya sudah terjadi, tubuhku limbung dan aku jatuh terduduk di lantai yang dingin. Menyesali dampak yang mungkin aku sebabkan karena rasa sukaku padanya yang terus membuncah, tidak dapat ku tahan lagi. Tidak, aku tidak bisa berhenti sampai di sini.
Aku menemuinya kesokan harinya. Dia menyambutku dengan senyum jenakanya, seperti biasanya. Aku mengambil kursi dan duduk di sampingnya yang sedang mengutak-atik leptopnya.
”Kau sudah memikirkannya?” tanyaku to the point.
Dia menaikan sebelah alisnya dan memberikan tatapan yang bermakna ‘Dina, apa kita harus membahas masalah itu sekarang?’.
Aku mengangguk, aku ingin tahu apakah dalam waktu semalam dia sudah memikirkan bagaimana baiknya.
“Kau tahu? Kemarin setalah aku mengatakan semuanya, aku takut reaksimu saat bertemu denganku akan berubah. Maksudku, aku takut nantinya kau malah akan menghindariku dan menjauhiku. Tapi saat aku datang tadi dan kau tersenyum dengan cara yang biasanya, aku tenang, dan aku malah semakin menyukaimu.” Aku tersenyum di akhir kalimatku. Aku menatapnya yang juga tersenyum padaku, menampakan senyum getir, bukan senyum jenaka seperti biasanya.
“Aku pikir mungkin kita bisa mencobanya.” Aku tersenyum lebar saat aku mendengarnya. ”Tapi mungkin kau akan menderita. Kau tahu bagaimana perasaanku padanya belum bisa sepenuhnya hilang. Aku tahu dengan keputusan ini mungkin malah akan menyakitimu nantinya. Tapi hanya itu yang bisa aku tawarkan untuk sekarang ini.”
Aku mengangguk, ”Aku mengerti, mungkin tidak secepat itu. Tapi aku akan berusaha sehingga kelak kau bisa menyukaiku...”
Dia tersenyum lagi padaku, kali ini aku tidak tahu apa makna senyumannya itu. Bukan senyum jenaka seperti biasanya, bukan senyum getir, namun juga bukan senyum penuh kebahagiaan. Tapi apapun itu, aku sangat senang sekarang ini.
            Aku selalu senang dan merasa nyaman saat berada di dekatnya. Aku menikmatinya, dan aku tahu, dia juga berusaha memberikan yang terbaik untukku. Dia sedikit demi sedikit merubah sikap dari seorang teman menjadi seorang kekasih. Dia mulai terbuka denganku dan jarang menceritakan tentang gadis di mimpinya itu lagi saat bersamaku.
            Hingga saat itu tiba...
            Aku bertemu dengan dia yang dulu pernah diam-diam ku sukai kala aku masih remaja. Pertemuan itu entah kenapa terjadi dan mengguncang jiwa mudaku yang masih labil. Kami bertemu di perpustakaan saat aku mencari sebuah buku untuk salah satu mata kuliahku. Awalnya aku tidak memperhatikannya, lalu entah bagiamna dia datang dan menyapaku pertama kali.
”Kamu Dina kan?”
Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Dan menoleh ke sumber suara itu. Aku terpaku untuk beberapa saat ketika akhirnya aku bersuara.
“Yoga?”
Dia terkekeh, “Ternyata memang benar kau. Apa kabar?” tanyanya ramah. Namun ini bukan tempat yang tepat untuk berbincang. Suara Yoga yang serak segera saja menarik perhatian orang-orang di dalam perpustakaan, sehingga kami akhirnya keluar dari perpustakaan dan mencari sebuah kedai minuman sekedar untuk tempat ngobrol.
”Jadi, kamu juga kuliah di kota ini?”
”Ehem... kamu juga kan?” tanyaku balik.
”Hehehe... gimana ya? Aku kuliah di luar kota, kebetulan aja lagi pulang, terus kepikiran tugas. Akhirnya mampir kesini.”
”Rajin banget, liburan aja kepikiran tugas...” kataku basa-basi.
Untuk sesaat mata kami bertemu, dan aku menemukan getaran aneh yang aku rasa pernah ku rasakan saat dulu. Aku tersenyum kecut, menyadari hal itu. Harusnya ini tidak boleh, aku sudah punya Arfan.
”Kenapa?”
”Kenapa apanya?”
”Kenapa kau tersenyum seperti itu?”
”Hahaha...” aku terkekeh, ”hanya lucu saja, saat kita SMP aku pernah diam-diam menyukaimu dan tidak berani mengatakannya. Lalu kita kembali bertemu setelah sekian lama...” kataku sambil mengaduk minuman bersoda yang tadi aku pesan.
Aku menoleh ke arah Yoga yang sedang menatapku tak percaya.
”Kenapa?” tanyaku mulai khawatir jika kata-kataku berakibat buruk bagi pertemuan kami ini.
”Maafkan aku.”
”Untuk?” tanyaku mulai tak paham.
”Karena aku benar-benar tidak peka terhadap perasaanmu. Dulu aku juga menyukaimu, tapi aku takut untuk mengungkapkannya. Harusnya aku berani mengatakannya, dan mungkin keadaanya akan lebih baik dari pada saat ini.”
Aku terkesikap mendengar ucapannya.
”Tapi mungkin, bisakah kita mencobanya?” tanyanya penuh harap. Tatapan kami kembali bertemu. Aku berusaha menyelami apa yang tersembunyi di mata cokelatnya yang hangat. Aku melihat ketulusan di matanya, ketulusan yang belum pernah aku lihat di mata Arfan selama kami menjalin hubungan lebih dari sekedar teman. Dan tanpa sadar, aku mengangguk.
Dia tersenyum lebar dan memeluku singkat, lalu dia menggandeng tanganku dan menuntunku keluar dari kedai itu, mengajakku berkeliling seolah ingin mengatakan kepada setiap orang yang kami temui bahwa aku adalah miliknya.
            Saat bersama Yoga, aku merasa menjadi seseorang yang istimewa. Yoga sangat baik kepadaku dan sangat perhatian kepadaku. Aku sangat nyaman saat bersamanya. Dan dengan Arfan, aku tidak tahu. Mungkin karena Yoga, aku jadi membandingkan antara Yoga dan Arfan. Arfan, belum pernah sekalipun ia menelponku terlebih dahulu kecuali saat ku minta dia menelfonku dengan pesan singkat yang ku kirim sebelumnya, Arfan belum pernah bersikap manis seperti Yoga. Dan aku mulai menyadari, sikapku pada Arfan mulai berubah sedikit demi sedikit. Aku mulai jahat kepadanya, aku sering menggetaknya dan memarahinya karena hal sepele, persis seperti apa yang Tanteku lakukan padaku.
            Semakin lama, hubunganku dengan Arfan semakin renggang, sementara hubunganku dengan Yoga berjalan dengan lancar. Satu bulan sudah sejak aku bertemu lagi dengan Yoga, dan Yoga mengatakan bahwa besok ia akan kembali ke tempat asalnya menuntut ilmu karena jatah liburannya telah selesai.
”Dina, ada yang ingin ku katakan padamu sebelum aku pergi.” katanya di sela-sela kencan kami. Saat itu kami sedang mengunjungi sebuah taman dengan kolam air mancur sebagai sentral dari aktivitas yang orang-orang lakukan. Kami duduk santai di sebuah kursi menghadap langsung ke air mancur itu.
”Apa? Perkataanmu seperti kau akan pergi saja untuk selamanya...” candaku mencairkan atmosfer yang tiba-tiba menjadi keruh kala ia memulai percakapannya pertama kali. Tapi ia sama sekali tidak terpengaruh. Matanya yang biasanya memancarkan kesan hangat kini berubah serius, menatap tajam ke titik retinaku dan menembus ke hatiku.
”Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya, tapi aku harus mengatakan padamu yang sebenarnya.”
Aku menggigit bibir bawahku secara reflek, menandakan bahwa aku sedang gugup. Yoga memegang tanganku hangat dan kini kami duduk berhadapan.
”Sebenarnya, aku sudah mempunyai seorang kekasih di tempatku menuntut ilmu disana. Kami sudah berpacaran lebih kurang selama tiga tahun, orangtua ku telah mengenalnya, demikian pula orangtuanya telah mengenalku. aku pulang kemari memang karena liburan dan ingin memberikan waktu karena hubunganku dengannya sedang merenggang.” dia berhenti sejenak dan memandangku sekilas. Melihat reaksiku yang mungkin terlihat sangat terkejut akan kenyataan di depanku. ”Tapi, saat aku mengatakan bahwa aku menyukaimu saat di SMP, itu semua benar. Dan tentang perasaanku padamu selama sebulan ini. Ini bukan sebuah rekayasa. Aku senang saat bertemu kembali denganmu, dan di setiap detik yang ku habiskan denganmu, sangat berkesan untuk ku. Dan aku rasa aku telah jatuh cinta padamu.”
Aku mengerjap, tidak tahu apa yang harus aku katakan. Jika dia memang mempunyai kekasih, begitupun aku, aku telah mempunyai Arfan sebelumnya.
”Tapi, aku tidak bisa meninggalkannya. Aku tersadar bahwa tindakanku salah. Semalam orang tuaku bertanya padaku tentang keadaan gadisku disana. Mereka berkata ingin bertemu dengannya, dan aku sadar, aku juga merindukannya. Mungkin aku orang yang brengsek karena menduakanmu. Kau boleh membenciku, kau juga boleh marah padaku. Apapun yang akan kau lakukan padaku, aku akan menerimanya dengan ikhlas.”
”Jadi, kau akan kembali ke gadismu dan melupakan semua ini?” kataku dengan terbata.
Dia mengangguk. ”Maafkan aku, maafkan aku yang telah menyakitimu. Mungkin tindakanku selama ini memang salah, tapi kau akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah bisa ku lupakan. Aku tahu itu.”
Aku tersenyum kecut. Teringat perkataan sahabatku saat kami membahas tentang hukum karma di dunia. ’Kau akan menuai apa yang kau tanam’ begitu katanya. Aku tidak menyangka bahwa hal itu akan menimpaku secepat ini. Aku telah menduakan Arfan, dan aku sendiri ternyata mengalami hal yang sama. Begitu mudahnya nasib mempermainkanku.
”Baiklah, tidak apa-apa. Aku mengerti.” aku bangkit dan segera berlalu pergi dari hadapannya sebelum air mataku pecah di hadapannya. Kini aku benar-benar merasa bersalah pada Arfan. Betapa bodohnya aku.
            Seperti yang telah di rencanakan. Yoga kembali ke kota dimana ia bertemu dengan gadisnya. Dan aku, belum berani untuk menemui Arfan. Aku bahkan tidak berani menelfon atau mengiriminya pesan singkat seperti biasanya. Saat itu aku tercengang saat handphone ku berdering dan menampakan sebuah pesan dari Arfan. Ia ingin menemuiku. Maka di sore itu, aku bertemu lagi dengan Arfan. Aku mengamati kedatangannya, bagaimana caranya berjalan, dan bagaimana ia tersenyum jenaka pada pelayan yang memberikan sapaan selamat datang padanya. Aku melambaikan tanganku dan dia berjalan ke arahku. Penampilanya saat ini biasa saja seperti penampilannya sebelum-sebelumnya. Hanya dengan jeans berwarna biru dongker dan kaus kemeja panjang dengan pola persegi berwarna merah marun.
”Kau sudah pesan minum?”
”He’em... kau mau pesan apa?”
Dia menggeleng. “Aku tidak haus, tapi kalo aku haus nanti aku akan pesan sesuatu.” Katanya lirih. Dia diam sejenak dan kemudian ekspresi wajahnya berubah.
“Aku ingin mengakhiri hubungan kita.” Kata-kata itu bagaikan petir di tengah hari ketika tidak ada hujan ataupun mendung yang menggelayuti langit biru yang cerah.
“Kenapa?” tanyaku lirih, meskipun aku sendiri tidak pantas bertanya seperti itu. Aku dulu yang telah menghianatinya, dan jika ia memang tahu perihal hal itu, maka dia memang pantas meminta hubungan ini berakhir.
”Kau tahu kenapa...” katanya dengan suara parau. Sepertinya dia berusaha untuk menahan emosinya. “Ini semua tentang kau dengan laki-laki lain…”
Aku tercengang. Ternyata dia memang tahu yang ku perbuat.
”Aa... aaku minta maaf. Aku tahu aku salah, tapi tidak bisakah kau memberi kesempatan untuk memperbaikinya?”
Dia terdiam dan menatap meja yang memisahkan kami. Tersenyum miris.
“Mungkin kau berbuat seperti itu karena salahku juga. Aku yang tidak pernah memberikan perhatian lebih padamu, hingga akhirnya kau mencari orang lain yang seperti itu. Tapi tidak apa-apa, aku tidak akan marah, dan kau bisa bersama dengan dia...” dia tersenyum saat mengakhiri perkataannya.
Aku membatu beberapa saat. Beginikah akhirnya? Beginikah hasil perbuatanku. Inikah hukum karma yang ku terima?
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku sadar aku telah menyakitinya. Aku telah menyakiti orang yang paling berharga dalam hidupku.
Bukannya aku tidak berjuang untuk mempertahankan Arfan untuk tetap di sisiku setelah itu, aku tentu saja dengan usaha dan upayaku berusaha untuk meyakinkannya. Namun semuanya sia-sia. Sepertinya aku memang telah menyakitinya begitu dalam.
Dan hari ini, setelah bertahun-tahun berlalu. Aku kembali menemukannya, kali ini aku melihatnya sebagai teman. Dia berdiri dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, menggenggam erat tangan halus yang sejak dulu ia mimpikan untuk ia genggam. Matanya menatap gadis itu dengan penuh cinta. Ya, gadis itu. Gadis yang dulu katanya hanya ada di setiap mimpi-mimpinya saja. Sekarang mimpi itu telah terwujud.
Aku tersadar ketika seseorang memegang pundakku dan menggandengku untuk pergi meninggalkan aula resepsi Arfan dan gadisnya. Aku tersenyum saat sampai di bibir pintu, mengamati kedua pasangan yang berbahagia itu dan ikut mendoakan kebahagiaan mereka.
Selamat berbahagia Arfan. Terima kasih karena pernah mampir di hatiku, dan maaf karena aku telah menyakitimu...
Dia yang kini menggandengku menepuk pipiku lembut, menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku tersenyum lembut padanya dan menggenggam erat tangannya. Dia membalas senyumanku. Dan begitulah akhirnya... aku menemukan cinta yang baru, dan Arfan serta Yoga juga telah menemukan cintanya masing-masing.