Kamis, 03 Oktober 2013

Dia di hatiku...

Aku tidak tahu bagaimana awalnya hingga akhirnya hatiku seutuhnya tertambat padanya tanpa bisa ku cegah. Meskipun, tak jarang dia bercerita tentang gadis yang membuat jantungnya selalu berdetak lebih cepat dari biasanya. Ya, dia sering sekali menceritakan hal itu padaku, tentang bagaimana rasa sukanya bermula saat ia bertemu dengan gadis itu pertama kali saat ia masih berusia di awal belasan tahun. Saat pertama kali ia masuk sekolah menengah pertama. Walaupun gadis itu tidak meresponnya, tapi dia tetap menyukainya, hingga sekarang, tujuh tahun setelah pertemuan mereka pertama kali.
Aku senang saat dia mulai bercerita tentang gadisnya, walaupun harus ku akui, semakin aku menyukainya, semakin aku merasa tidak suka saat dia menyebut nama gadis itu. Tapi ekspresi matanya yang berbinar-binar dan hangat serta penuh cinta saat dia menyebut nama gadis itu, membuatku terpesona. Membuatku iri pada gadis itu, dan membuatku ingin sekali menempati posisi gadis itu. Aku ingin memiliki cinta itu, cinta murni yang jarang sekali ku temui.
Kehidupanku mungkin tampak baik dari luar, keluargaku, bagaimanapun juga tidak pernah kekurangan materi. Aku hidup berkecukupan karena kedua orangtua ku bekerja. Tapi karena itulah, mereka jadi jarang sekali di rumah, sekedar untuk menemaniku bersantai dan makan bersama rasanya pun sulit sekali. Sejak kecil, aku tidur di rumah eyang yang tak jauh dari rumahku. Sejak kecil pula, tante lah yang mengurusiku, dan bagaimanapun, tanteku bukan tipe orang yang keibuan yang penuh dengan kasih sayang dan selalu memberikan senyuman untukku. Dia tak jarang mengeluh saat mengurusku dan kadang saat dia sedang emosi, tak jarang pula ia melampiaskan amarahnya padaku dengan mencari-cari kesalahanku.
”Cari makan yuk,” katanya membuyarkan lamunanku. Dia berdiri di depanku dengan memegang kunci motornya. Aku terkesikap dan menyadari saat ini aku sedang bersamanya. Apa aku sudah kehilangan waktu yang berharga dengannya ketika aku melamunkan tentang kehidupanku yang menyedihkan?
Aku tersenyum dan bangkit dari posisi duduk ku. Mengejarnya yang telah berada di depanku dan dengan akrab menggandeng tangannya. ”Kita mau makan apa?”
”Apa aja. Cari yang deketan aja, aku lagi males ke tempat yang jauh.”
Aku tersenyum lagi padanya. Apapun asal aku bisa bersamanya.
”Aku menyukaimu...” kataku setelah mengumpulkan semua keberanianku, saat ini aku sedang bersamanya, bersantai menikmati saat-saat kami terbebas dari rutinitas kampus yang kadang membuat frustasi..
Dia mengangkat satu alisnya, ”Apa sih yang kau katakan? Aku juga menyukaimu. Kita kan teman...” dia terkekeh.
Aku menggeleng dan menatapnya lekat, ”Bukan sebagai teman. Aku menyukaimu lebih dari sekedar teman. Aku menyukaimu sebagai seorang perempuan yang menyukai laki-laki. Kau mengerti maksudku?”
Tawanya berhenti. Kini raut wajahnya yang biasanya kocak tampak serius. Matanya yang biasanya tampak jenaka mulai berubah, seperti menyiratkan rasa iba yang dalam kala mata hitam itu memandangku.
”Kau tahu bagaimana perasaanku.” ucapnya lirih. ”Aku tidak mungkin menyukaimu lebih dari ini. Kau tahu siapa yang ku sukai.”
”Aku tahu...” ucapku mengiyakan. ”Aku tahu bagaimana perasaanmu pada gadis itu. Aku tahu betapa kau sangat mendambanya untuk ada di sisimu. Aku tahu seberapa besar keinginanmu memilikinya.” aku berhenti sejenak, berusaha mencerna apa yang telah ku katakan. Aku memang tahu semua itu, dan kini aku malah menyatakan perasaanku padanya. Apakah dia akan bersikap menjauh setelah ini? Aku tidak tahu, tapi aku sudah terlanjur mengatakannya, tidak ada jalan untuk mundur. ”tapi gadis itu sama sekali tidak memikirkanmu bukan? Gadis itu mungkin bahkan sama sekali tidak menganggap kau berarti baginya.” aku berhenti dan mengamati raut wajahnya sejenak.
Dia tersenyum miris. Apa yang ku katakan memang benar. Aku tahu itu.
”Tapi aku berbeda, aku memikirkanmu lebih sering dari pada dia yang kau bilang selalu membuatmu berdebar-debar. Kau sangat berarti untuk ku. Aku menyukaimu.”
Dia tersentak saat kalimatku berakhir dengan pengakuanku yang aku tahu, dia bahkan tidak pernah berfikir akan seperti ini jadinya. Dia memandang langsung ke arah bola mataku. Masih sarat akan rasa iba, aku benci saat ia menatapku seperti itu.
Dia bangkit dari posisinya, ”Mungkin kau lelah. Sebaiknya kau istirahat.” katanya perlahan dan berjalan meninggalkanku.
”Arfan.” kataku sebelum dia semakin menjauh. ”kumohon, pikirkanlah sekali lagi. Aku menyukaimu.”
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Semuanya sudah terjadi, tubuhku limbung dan aku jatuh terduduk di lantai yang dingin. Menyesali dampak yang mungkin aku sebabkan karena rasa sukaku padanya yang terus membuncah, tidak dapat ku tahan lagi. Tidak, aku tidak bisa berhenti sampai di sini.
Aku menemuinya kesokan harinya. Dia menyambutku dengan senyum jenakanya, seperti biasanya. Aku mengambil kursi dan duduk di sampingnya yang sedang mengutak-atik leptopnya.
”Kau sudah memikirkannya?” tanyaku to the point.
Dia menaikan sebelah alisnya dan memberikan tatapan yang bermakna ‘Dina, apa kita harus membahas masalah itu sekarang?’.
Aku mengangguk, aku ingin tahu apakah dalam waktu semalam dia sudah memikirkan bagaimana baiknya.
“Kau tahu? Kemarin setalah aku mengatakan semuanya, aku takut reaksimu saat bertemu denganku akan berubah. Maksudku, aku takut nantinya kau malah akan menghindariku dan menjauhiku. Tapi saat aku datang tadi dan kau tersenyum dengan cara yang biasanya, aku tenang, dan aku malah semakin menyukaimu.” Aku tersenyum di akhir kalimatku. Aku menatapnya yang juga tersenyum padaku, menampakan senyum getir, bukan senyum jenaka seperti biasanya.
“Aku pikir mungkin kita bisa mencobanya.” Aku tersenyum lebar saat aku mendengarnya. ”Tapi mungkin kau akan menderita. Kau tahu bagaimana perasaanku padanya belum bisa sepenuhnya hilang. Aku tahu dengan keputusan ini mungkin malah akan menyakitimu nantinya. Tapi hanya itu yang bisa aku tawarkan untuk sekarang ini.”
Aku mengangguk, ”Aku mengerti, mungkin tidak secepat itu. Tapi aku akan berusaha sehingga kelak kau bisa menyukaiku...”
Dia tersenyum lagi padaku, kali ini aku tidak tahu apa makna senyumannya itu. Bukan senyum jenaka seperti biasanya, bukan senyum getir, namun juga bukan senyum penuh kebahagiaan. Tapi apapun itu, aku sangat senang sekarang ini.
            Aku selalu senang dan merasa nyaman saat berada di dekatnya. Aku menikmatinya, dan aku tahu, dia juga berusaha memberikan yang terbaik untukku. Dia sedikit demi sedikit merubah sikap dari seorang teman menjadi seorang kekasih. Dia mulai terbuka denganku dan jarang menceritakan tentang gadis di mimpinya itu lagi saat bersamaku.
            Hingga saat itu tiba...
            Aku bertemu dengan dia yang dulu pernah diam-diam ku sukai kala aku masih remaja. Pertemuan itu entah kenapa terjadi dan mengguncang jiwa mudaku yang masih labil. Kami bertemu di perpustakaan saat aku mencari sebuah buku untuk salah satu mata kuliahku. Awalnya aku tidak memperhatikannya, lalu entah bagiamna dia datang dan menyapaku pertama kali.
”Kamu Dina kan?”
Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Dan menoleh ke sumber suara itu. Aku terpaku untuk beberapa saat ketika akhirnya aku bersuara.
“Yoga?”
Dia terkekeh, “Ternyata memang benar kau. Apa kabar?” tanyanya ramah. Namun ini bukan tempat yang tepat untuk berbincang. Suara Yoga yang serak segera saja menarik perhatian orang-orang di dalam perpustakaan, sehingga kami akhirnya keluar dari perpustakaan dan mencari sebuah kedai minuman sekedar untuk tempat ngobrol.
”Jadi, kamu juga kuliah di kota ini?”
”Ehem... kamu juga kan?” tanyaku balik.
”Hehehe... gimana ya? Aku kuliah di luar kota, kebetulan aja lagi pulang, terus kepikiran tugas. Akhirnya mampir kesini.”
”Rajin banget, liburan aja kepikiran tugas...” kataku basa-basi.
Untuk sesaat mata kami bertemu, dan aku menemukan getaran aneh yang aku rasa pernah ku rasakan saat dulu. Aku tersenyum kecut, menyadari hal itu. Harusnya ini tidak boleh, aku sudah punya Arfan.
”Kenapa?”
”Kenapa apanya?”
”Kenapa kau tersenyum seperti itu?”
”Hahaha...” aku terkekeh, ”hanya lucu saja, saat kita SMP aku pernah diam-diam menyukaimu dan tidak berani mengatakannya. Lalu kita kembali bertemu setelah sekian lama...” kataku sambil mengaduk minuman bersoda yang tadi aku pesan.
Aku menoleh ke arah Yoga yang sedang menatapku tak percaya.
”Kenapa?” tanyaku mulai khawatir jika kata-kataku berakibat buruk bagi pertemuan kami ini.
”Maafkan aku.”
”Untuk?” tanyaku mulai tak paham.
”Karena aku benar-benar tidak peka terhadap perasaanmu. Dulu aku juga menyukaimu, tapi aku takut untuk mengungkapkannya. Harusnya aku berani mengatakannya, dan mungkin keadaanya akan lebih baik dari pada saat ini.”
Aku terkesikap mendengar ucapannya.
”Tapi mungkin, bisakah kita mencobanya?” tanyanya penuh harap. Tatapan kami kembali bertemu. Aku berusaha menyelami apa yang tersembunyi di mata cokelatnya yang hangat. Aku melihat ketulusan di matanya, ketulusan yang belum pernah aku lihat di mata Arfan selama kami menjalin hubungan lebih dari sekedar teman. Dan tanpa sadar, aku mengangguk.
Dia tersenyum lebar dan memeluku singkat, lalu dia menggandeng tanganku dan menuntunku keluar dari kedai itu, mengajakku berkeliling seolah ingin mengatakan kepada setiap orang yang kami temui bahwa aku adalah miliknya.
            Saat bersama Yoga, aku merasa menjadi seseorang yang istimewa. Yoga sangat baik kepadaku dan sangat perhatian kepadaku. Aku sangat nyaman saat bersamanya. Dan dengan Arfan, aku tidak tahu. Mungkin karena Yoga, aku jadi membandingkan antara Yoga dan Arfan. Arfan, belum pernah sekalipun ia menelponku terlebih dahulu kecuali saat ku minta dia menelfonku dengan pesan singkat yang ku kirim sebelumnya, Arfan belum pernah bersikap manis seperti Yoga. Dan aku mulai menyadari, sikapku pada Arfan mulai berubah sedikit demi sedikit. Aku mulai jahat kepadanya, aku sering menggetaknya dan memarahinya karena hal sepele, persis seperti apa yang Tanteku lakukan padaku.
            Semakin lama, hubunganku dengan Arfan semakin renggang, sementara hubunganku dengan Yoga berjalan dengan lancar. Satu bulan sudah sejak aku bertemu lagi dengan Yoga, dan Yoga mengatakan bahwa besok ia akan kembali ke tempat asalnya menuntut ilmu karena jatah liburannya telah selesai.
”Dina, ada yang ingin ku katakan padamu sebelum aku pergi.” katanya di sela-sela kencan kami. Saat itu kami sedang mengunjungi sebuah taman dengan kolam air mancur sebagai sentral dari aktivitas yang orang-orang lakukan. Kami duduk santai di sebuah kursi menghadap langsung ke air mancur itu.
”Apa? Perkataanmu seperti kau akan pergi saja untuk selamanya...” candaku mencairkan atmosfer yang tiba-tiba menjadi keruh kala ia memulai percakapannya pertama kali. Tapi ia sama sekali tidak terpengaruh. Matanya yang biasanya memancarkan kesan hangat kini berubah serius, menatap tajam ke titik retinaku dan menembus ke hatiku.
”Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya, tapi aku harus mengatakan padamu yang sebenarnya.”
Aku menggigit bibir bawahku secara reflek, menandakan bahwa aku sedang gugup. Yoga memegang tanganku hangat dan kini kami duduk berhadapan.
”Sebenarnya, aku sudah mempunyai seorang kekasih di tempatku menuntut ilmu disana. Kami sudah berpacaran lebih kurang selama tiga tahun, orangtua ku telah mengenalnya, demikian pula orangtuanya telah mengenalku. aku pulang kemari memang karena liburan dan ingin memberikan waktu karena hubunganku dengannya sedang merenggang.” dia berhenti sejenak dan memandangku sekilas. Melihat reaksiku yang mungkin terlihat sangat terkejut akan kenyataan di depanku. ”Tapi, saat aku mengatakan bahwa aku menyukaimu saat di SMP, itu semua benar. Dan tentang perasaanku padamu selama sebulan ini. Ini bukan sebuah rekayasa. Aku senang saat bertemu kembali denganmu, dan di setiap detik yang ku habiskan denganmu, sangat berkesan untuk ku. Dan aku rasa aku telah jatuh cinta padamu.”
Aku mengerjap, tidak tahu apa yang harus aku katakan. Jika dia memang mempunyai kekasih, begitupun aku, aku telah mempunyai Arfan sebelumnya.
”Tapi, aku tidak bisa meninggalkannya. Aku tersadar bahwa tindakanku salah. Semalam orang tuaku bertanya padaku tentang keadaan gadisku disana. Mereka berkata ingin bertemu dengannya, dan aku sadar, aku juga merindukannya. Mungkin aku orang yang brengsek karena menduakanmu. Kau boleh membenciku, kau juga boleh marah padaku. Apapun yang akan kau lakukan padaku, aku akan menerimanya dengan ikhlas.”
”Jadi, kau akan kembali ke gadismu dan melupakan semua ini?” kataku dengan terbata.
Dia mengangguk. ”Maafkan aku, maafkan aku yang telah menyakitimu. Mungkin tindakanku selama ini memang salah, tapi kau akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah bisa ku lupakan. Aku tahu itu.”
Aku tersenyum kecut. Teringat perkataan sahabatku saat kami membahas tentang hukum karma di dunia. ’Kau akan menuai apa yang kau tanam’ begitu katanya. Aku tidak menyangka bahwa hal itu akan menimpaku secepat ini. Aku telah menduakan Arfan, dan aku sendiri ternyata mengalami hal yang sama. Begitu mudahnya nasib mempermainkanku.
”Baiklah, tidak apa-apa. Aku mengerti.” aku bangkit dan segera berlalu pergi dari hadapannya sebelum air mataku pecah di hadapannya. Kini aku benar-benar merasa bersalah pada Arfan. Betapa bodohnya aku.
            Seperti yang telah di rencanakan. Yoga kembali ke kota dimana ia bertemu dengan gadisnya. Dan aku, belum berani untuk menemui Arfan. Aku bahkan tidak berani menelfon atau mengiriminya pesan singkat seperti biasanya. Saat itu aku tercengang saat handphone ku berdering dan menampakan sebuah pesan dari Arfan. Ia ingin menemuiku. Maka di sore itu, aku bertemu lagi dengan Arfan. Aku mengamati kedatangannya, bagaimana caranya berjalan, dan bagaimana ia tersenyum jenaka pada pelayan yang memberikan sapaan selamat datang padanya. Aku melambaikan tanganku dan dia berjalan ke arahku. Penampilanya saat ini biasa saja seperti penampilannya sebelum-sebelumnya. Hanya dengan jeans berwarna biru dongker dan kaus kemeja panjang dengan pola persegi berwarna merah marun.
”Kau sudah pesan minum?”
”He’em... kau mau pesan apa?”
Dia menggeleng. “Aku tidak haus, tapi kalo aku haus nanti aku akan pesan sesuatu.” Katanya lirih. Dia diam sejenak dan kemudian ekspresi wajahnya berubah.
“Aku ingin mengakhiri hubungan kita.” Kata-kata itu bagaikan petir di tengah hari ketika tidak ada hujan ataupun mendung yang menggelayuti langit biru yang cerah.
“Kenapa?” tanyaku lirih, meskipun aku sendiri tidak pantas bertanya seperti itu. Aku dulu yang telah menghianatinya, dan jika ia memang tahu perihal hal itu, maka dia memang pantas meminta hubungan ini berakhir.
”Kau tahu kenapa...” katanya dengan suara parau. Sepertinya dia berusaha untuk menahan emosinya. “Ini semua tentang kau dengan laki-laki lain…”
Aku tercengang. Ternyata dia memang tahu yang ku perbuat.
”Aa... aaku minta maaf. Aku tahu aku salah, tapi tidak bisakah kau memberi kesempatan untuk memperbaikinya?”
Dia terdiam dan menatap meja yang memisahkan kami. Tersenyum miris.
“Mungkin kau berbuat seperti itu karena salahku juga. Aku yang tidak pernah memberikan perhatian lebih padamu, hingga akhirnya kau mencari orang lain yang seperti itu. Tapi tidak apa-apa, aku tidak akan marah, dan kau bisa bersama dengan dia...” dia tersenyum saat mengakhiri perkataannya.
Aku membatu beberapa saat. Beginikah akhirnya? Beginikah hasil perbuatanku. Inikah hukum karma yang ku terima?
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku sadar aku telah menyakitinya. Aku telah menyakiti orang yang paling berharga dalam hidupku.
Bukannya aku tidak berjuang untuk mempertahankan Arfan untuk tetap di sisiku setelah itu, aku tentu saja dengan usaha dan upayaku berusaha untuk meyakinkannya. Namun semuanya sia-sia. Sepertinya aku memang telah menyakitinya begitu dalam.
Dan hari ini, setelah bertahun-tahun berlalu. Aku kembali menemukannya, kali ini aku melihatnya sebagai teman. Dia berdiri dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, menggenggam erat tangan halus yang sejak dulu ia mimpikan untuk ia genggam. Matanya menatap gadis itu dengan penuh cinta. Ya, gadis itu. Gadis yang dulu katanya hanya ada di setiap mimpi-mimpinya saja. Sekarang mimpi itu telah terwujud.
Aku tersadar ketika seseorang memegang pundakku dan menggandengku untuk pergi meninggalkan aula resepsi Arfan dan gadisnya. Aku tersenyum saat sampai di bibir pintu, mengamati kedua pasangan yang berbahagia itu dan ikut mendoakan kebahagiaan mereka.
Selamat berbahagia Arfan. Terima kasih karena pernah mampir di hatiku, dan maaf karena aku telah menyakitimu...
Dia yang kini menggandengku menepuk pipiku lembut, menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku tersenyum lembut padanya dan menggenggam erat tangannya. Dia membalas senyumanku. Dan begitulah akhirnya... aku menemukan cinta yang baru, dan Arfan serta Yoga juga telah menemukan cintanya masing-masing.

2 komentar:

  1. wew,..
    di publikasi yakinn,. keren keren keren
    tak kira bog'e sopo,..

    BalasHapus
  2. ahahaha...
    muuciwh muuciwh, :D

    ternyata ceritane emang miris ya...
    hehm,

    BalasHapus