Kamis, 18 Juli 2013

The One




“Kau tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama ya?”
“Hhah?” tanyaku tak percaya. Tawa ku berderai kemudian dan aku menyipitkan mataku untuk menatapnya, benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia tanyakan padaku. Untuk beberapa lama, tawa ku berderai tanpa bisa ku hentikan, namun melihat ekspresi wajahnya yang sepertinya ingin sekali melumatku habis-habisan dengan terpaksa aku menghentikan tawaku.
“Tidak.” Kataku tegas, “aku tidak percaya dengan hal itu…”
“Kenapa?” tanyanya seolah menuntut penjelasan tentang pernyataanku.
“Bagaimana aku mengatakannya ya?” aku mendesah frustasi dan menatap pria di depanku nanar. “karena aku tidak mengerti, bagaimana tiba-tiba hal itu terjadi sedemikian rupa? Maksudku, jika kita mencintai seseorang, setidaknya kita telah mengenalnya terlebih dahulu, apa yang dia sukai, apa yang dia benci, apa warna kesukaannya, apa makanan kesukaannya, dan lain sebagaimanya. Paling tidak kita harus mengenal sifat dari orang yang kita cintai bukan? Jadi, bagaimana jika dengan pandangan pertama kau bisa memutuskan bahawa kau bisa mencintai seseorang?” aku tersenyum padanya di akhir kalimatku yang panjang.
Tapi ekspresi pria itu tidak kunjung berubah, masih datar dan menuntut penjelasan yang lebih.
“Apa?” tanyaku kemudian.
Dia menggeleng, namun aku tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
“Aku mencintaimu…” katanya lembut, keluar begitu saja dari bibirnya yang tipis.
Aku kembali menyipitkan mataku, tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi pria di depanku ini. Aku kini tidak kaget lagi jika pria di depanku ini mengatakan hal itu padaku. Hal itu sudah ia ucapkan saat pertama kali kami bertemu, saat aku pertama kali datang ke kantor ini. Sejak pertama kali aku di perkenalkan oleh Mbak Desi, orang yang bertugas mengurus karyawan pindahan dari kantor cabang ke kantor pusat.
“Dewa…” desahku putus asa, “sampai saat ini aku belum yakin dengan perasaanmu padaku. Kau tahu? Kau terlalu mudah mengatakan hal itu padaku…”
“Apa mengatakan hal itu harus sulit? Kau tahu aku mencintaimu saat pertama kali aku melihatmu… kau tidak tahu bagaimana rasanya kan?”
Aku agak sedikit tersinggung dengan perkataanya barusan. Maksudnya, apa maksud dia mengatakan bahwa aku tidak mengerti? Aku mengerti, aku juga pernah jatuh cinta pada seseorang, walaupun saat ini harus aku akui bahwa sulit sekali bagiku untuk mencintai seseorang.
Bayangan dia yang pernah kucintai melintas kembali di benakku, dan itu menjadikan rasa sakit yang selama ini ku coba untuk ku obati kembali hadir.
Aku tersentak saat tangan besar Dewa menggenggam tanganku.
“Erin, aku serius dengan yang ku katakan. Tidak dapatkan kau melihatnya?” dia menatapku lekat dan pandangan kami beradu untuk yang kesekian kali, dia membawa daguku terangkat dan aku bisa dengan mudah melihat retina matanya yang hitam dan bersinar, kembali melihat mata itu yang kurasa benar-benar hanya tertuju padaku.
“Tidak…” kataku lirih. Aku melepaskan diri darinya dan bangkit dari tempat duduk ku. Mengambil tas yang tersampir rapi di samping meja yang beberapa saat lalu kugunakan untuk merancang proyek baru dengan Dewa dan beberapa orang lainnya.
“Aku harus pulang…” aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukan waktu untukku pulang. Lagipula jam kerja sudah berakhir 15 menit yang lalu.
Aku melangkah pergi dan dengan sebisa mungkin tidak berbalik pada pria yang kutahu masih terpekur di tempat yang sama.
            Aku sudah berada di halte bis ketika gerimis turun membasahi bumi. Gerimis kecil, selalu memberikan rasa tersendiri untuk ku, dan selalu membuat hatiku kembali teriris. Pandanganku menerawang dan bisa ku lihat sosok pria yang sangat kucintai lebih dari diriku sendiri menikah dengan seseorang yang juga kucintai, adik kandungku sendiri. Aku merasa di khianati saat itu dan rasa marah selalu saja muncul ketika aku melihat adikku ataupun pria itu. Aku benar-benar tidak pecaya, bagaimana bisa mereka melakukan hal sekeji itu padaku. Dosa apakah yang ku perbuat sampai mereka melakukan hal itu padaku?
            Aku menyeka air mata yang tiba-tiba membasahi wajahku. Membuatku tersadar dari lamunanku dan menemukan bus yang akan membawaku pulang. Aku duduk di samping jendela, dan kembali mengamati jalanan kota yang masih ramai oleh hiruk pikuk manusia dengan segala aktivitas yang mereka lakukan.
Bus berhenti tatkala tiba di sebuah halte, sepasang muda-mudi bergandengan dengan mesra memasuki bus yang kunaiki, mereka duduk di depanku dan terus menerus tertawa-tawa kecil, seolah menertawakan nasibku yang menyedihkan.
Aku menggigit bibir bawahku, menahan air mata yang mungkin akan menetes karena kehampaan yang kurasakan saat ini. Aku duduk tertunduk dan kurasakan seseorang menempati kursi di sebelahku yang kosong dan kemudian menggenggam tanganku.
Aku terhenyak melihat apa yang dia lakukan padaku. Aku mendongakkan wajahku dan melihat senyuman teduh di wajah yang sudah sangat ku kenali. Dewa.
“Kau tidak sendirian, apa aku sudah bilang ya kalau aku mencintaimu?” dia tergelak sambil tetap menggenggam tanganku.
“Apa yang kau lakukan?”
“Aku tidak tenang membiarkanmu pulang selarut ini. Kau pasti akan menolak jika ku katakan akan mengantarmu pulang. Jadi aku harus bagaimana?” dia menggaruk pelipisnya dan kemudian tersenyum lebar padaku, “Jadi aku memutuskan mengikutimu diam-diam, tapi kurasa itu tidak terlalu efektif, dan aku memutuskan untuk duduk di sampingmu….”
Dia masih menggenggam tanganku dan duduk dengan tenang di sampingku. Aku menatapnya ragu, memastikan apakah Dewa benar-benar ada di sampingku dan benar-benar sedang menggenggam erat tanganku.
“Kenapa?” tanyanya tak mengerti saat aku terus menerus menatapnya tanpa berkedip.
“Tidak…” kataku parau, “Tidak ada apa-apa…” aku membuang muka dan kembali menatap menembus jendela, mengamati jalanan yang kini sudah sepi karena telah meninggalkan pusat keramaian. Untuk sesaat, aku berusaha melepas genggaman tangan Dewa, tapi ternyata itu sia-sia saja. Dia sama sekali tidak membiarkan tanganku terlepas dari genggamannya.
            Dewa, dia pria yang baik. Aku tahu itu, teman-teman kantor yang lain juga tahu akan hal itu. Dia tampan dan orang yang menyenangkan, dan kadang-kadang dia bersikap konyol yang membuat teman-teman lain tergelak. Mbak Desi berkata, Dewa tidak seperti biasanya saat pertama kali bertemu denganku, dia menjadi pendiam dan setelah beberapa waktu, dia datang menemuiku dan mengatakan jika dia mencintaiku pada pandangan yang pertama. Awalnya aku menganggap itu sebagai permainan untuk pendatang baru sepertiku, dan aku tidak begitu menanggapinya. Tapi entahlah, setiap hari setelah pertemuan pertama itu, Dewa tidak henti-hentinya mengatakan hal itu padaku. Aku bercerita mengenai hal itu pada Mbak Desi dan menanyakan tentang Dewa. Mungkinkah dia melakukan hal yang sama pada tiap wanita yang ia temui. Mbak Desi hanya tersenyum dan mengatakan jika Dewa benar-benar mencintaiku, apalagi melihat apa saja yang telah Dewa lakukan padaku. Dia sering sekali bersikap romantis padaku, tak peduli kapan dan dimana kami berada.
“Kau sakit? Kenapa dari tadi diam saja?” tangan hangat Dewa yang tidak menggenggam tanganku menyentuh dahiku lembut, membuatku tersentak dan menatapnya yang sedang khawatir memandangku.
“Eh, tidak… tidak apa-apa…” kataku kaku, walaupun dia sering sekali bertindak romantis terhadapku, tapi sampai saat ini aku belum terbiasa dengan hal itu.
Dewa menepuk pundaknya, “Tidurlah, kalau sudah sampai akan ku bangunkan….” Dia tersenyum lebar.
Aku menggeleng lemah. “Aku tidak mengantuk…”
“Ooh, baiklah…”
“Dewa….” Kataku lirih.
“Yaa?” dia menatapku berbinar, seolah seperti mendapatkan harta karun yang luar biasa ketika aku menyebut namanya.
“Kenapa kau mencintaiku sampai seperti ini? Kau tidak mengenalku sebelumnya kan? Aku tidak tahu apa yang kau sukai dariku.”
Dewa tergelak, menampakan barisan giginya yang rapi dan lesung pipinya yang membuatnya menjadi lebih mempesona. Dewa memang mempesona, dan banyak wanita yang aku tahu, memendam rasa padanya.
“Aku tidak tahu…” jawabnya santai. “Yang aku tahu, saat aku melihatmu, di sini…” dia menujuk dadanya. “seperti ada kupu-kupu yang terbang di dalamnya. Seperti ada matahari yang tumbuh di dalamnya dan membuatku hangat. Dan seperti ada desiran angin segar yang berhembus di dalamnya. Aku mungkin tidak mengenalmu sebelumnya, tapi tiba-tiba saja rasa itu hadir, dan aku tahu… kau adalah the one yang aku cari selama ini…”
“Bagaimana… bagaimana jika ternyata aku bukanlah the one yang kau cari? Mungkin kau salah?”
Dia menggeleng, “aku mungkin bisa salah… tapi hatiku tidak pernah salah….”
Dia menatap tanganku yang saat ini sedang berada di genggamannya dan mengangkatnya ke atas, “Erin… aku mencintaimu…” katanya dalam dan kemudian dia mencium punggung tanganku, membuat sesuatu di bagian hatiku berdesir.
“Dewa…”
“Jangan berkata apa-apa, kau tidak boleh memaksakan dirimu.” Dia tersenyum lembut padaku, dan selanjutnya, keheningan muncul di antara kami.
            Dewa mesih menggenggam tanganku, dan berjalan di sampingku, menemaniku berjalan menuju kediamanku. Tidak ada kata yang terucap di antara kami, hanya keheningan, keheningan yang rasanya hangat. Bukan kehebingan yang mencekam yang selama ini aku rasakan seorang diri.
“Sudah sampai…” katanya santai saat kami berada di depan sebuah rumah berpagar putih.
“Masuklah, dan lekas tidur. Kau kelihatan lelah sekali hari ini…”
“Baik…” kataku pendek, aku kemudian menatap tanganku yang masih saja di genggamnya.
“Ah, benar… maafkan aku…” dengan gerakan perlahan, Dewa melepaskan tanganku, seolah berat sekali untuk melepasnya.
“Aku pulang…” katanya berat, dan kemudian dia berbalik hendak meninggalkanku.
Aku menatap punggungnya, dan beralih menatap tanganku yang kini telah bebas. Entah kenapa ada rasa berat yang menjalari hati ini ketika dia melepas genggamannya.
“Dewa.” Ucapku tanpa sadar. Aku segera membungkam mulutku dan aku sadar bahwa sudah telambat untukku melakukan itu. Dewa berbalik dan dengan langkah cepat menghampiriku.
“Ya?”
“Apakah… apakah aku boleh mencintaimu dan menjadikan the one seperti yang kau katakan?” kataku ragu.
Dewa mengangguk dan tersenyum lebar padaku. Merentangkan tangannya dan merengkuhku ke dalam pelukannya.
“Tentu, tentu saja boleh….” Bisiknya tepat di samping telingaku. “Aku mencintaimu Erin…”
“Aku tahu…” jawabku sambil tersenyum di dalam pelukannya. Aku tidak begitu mengerto perasaanku padanya, tapi aku merasa nyaman ketika berada bersamanya dan mungkin, aku mulai mencintainya seiring dengan rasa cintanya yang besar yang selalu mengalir untukku.