Kamis, 12 Desember 2013

Titik Balik

            Aku masih terpaku sembari menatap pigura-pigura yang tersusun rapi di tembok-tembok galeri pribadiku. Tak sedikit potret dari sosoknya yang selalu kucinta –setidaknya itulah anggapanku- berjajar rapi didepanku. Disatu sisi, kulihat potret dirinya yang sedang tersenyum sambil menatap ratusan atau bahkan lebih bunga dandelion yang terhampar luas di depannya. Dipigura lain ada potretnya ketika ia sedang ngambek karena janji kami dibatalkan, kami berencana ke bukit savana dimana kami dapat melihat ilalang yang tumbuh subur bahkan terkesan liar. Aku tersenyum satir ketika mengingat hal itu. Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya dia tidak marah lagi padaku.
            Ada juga potret ketika ia sedang tertawa dengan riangnya, ia sedang bermain dengan anak-anak tetangga dekat galeriku. Di potret itu ia tampak begitu bahagia, polos, dan naif. Dan sejujurnya, memang begitulah sosoknya dimataku.
            Aku tersentak ketika mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arahku, langkah kaki yang sudah ku hafal. Adrian, teman baikku sekaligus asisten fotograferku.
            Gue tahu lo bakalan ada disini.” Katanya dengan suara baritonnya yang khas.
            “Ada masalah apa?” tanyaku to the point, merasa terganggu sekaligus terselamatkan karena dia datang diwaktu yang tepat sebelum aku terlalu dalam terhanyut dalam dunia di dalam pigura yang kubuat sendiri.
            Adrian tidak menjawab, sebaliknya dia penepuk bahuku dan mengambil tempat duduk dengan menggeser salah satu kursi yang sebelumnya berada cukup jauh dariku, kini ia sudah berada dihadapanku.
            “Ini menyangkut Renata, bukan?”
            Menyebut nama sosok dalam pigura itu disebut, langsung memprofokasi terjadinya reaksi kimia di tubuhku yang kemudian berpengaruh pada bagian-bagian tubuhku yang lain. Rasa nyerilah yang terasa di ulu hati ini.
            Lo jadi pendiem setelah hangout bareng dia malam minggu kemarin. Lo putus sama dia?”
            Aku masih tidak menjawab, masih membiarkan Adrian untuk berspekulasi dengan hal-hal yang mungkin terjadi diantar aku dan Renata.
            “Apa lo udah bosen sama dia?” pancing Adrian selanjutnya.
            Aku masih tidak bergeming dan hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Aku bangkit dari posisiku dan kemudian bergegas keluar dari galeri, menghindar dari segala ucapan-ucapan Adrian yang aku tahu akan segera mendekati kebenaran dan kembali menguak hal-hal yang sedang tidak ingin kubicarakan.
            Aku masih mengalungi kameraku dan kemudian mengambil ranselku dan barang-barang praktis lainnya sebelum akhirnya melaju dengan sepeda motor berwarna merah. Hari menjelang senja, dan akan sangat bagus jika aku bisa sampai di tempat dimana aku bisa menenangkan pikiran dan hatiku sebelum matahari tenggelam. Maka ku-gas sepeda motor itu sampai batas yang bisa kutolerir dan menuju tempat itu sesegera mungkin.
            Aku sampai sesuai dengan harapanku. Masih lebih kurang 15 menit lagi sebelum matahari tenggelam di ufuk barat. Langit kini sudah berubah menjadi kemerahan akibat kejadian alam yang berlangsung tak lama lagi.
            Aku duduk di ujung bukit dengan pemandangan yang langsung menghadap lautan lepas. Dari sini aku bisa melihat dengan angel yang sempurna peristiwa alam yang setiap hari berlangsung itu. Selain itu au juga bisa melihat burung laut yang berbondong-bondong pulang ke sarangnya, dan juga aku bisa mendengar suara ombak serta merasakan bau air asin yang tercipta secara alami.
            Aku berdiam diri disana, tanpa teman. Melihat matahari yang secara perlahan seperti tertelan oleh lautan, padahal aku tahu bahwa esok hari kala aku menatap ke arah timur aku akan menjumpainya lagi. Mungkin senja adalah titik balik dimana secara perlahan-lahan matahari mulai mengekang dirinya dan menggantikannya dengan cahaya bulan yang lembut sebelum kembali lagi untuk memancarkan kehangatannya kepada dunia ini.
            Titik balik. Jika keadaanku sama saja dengan titik balik matahari, maka aku akan sangat menyukuri itu. Setidaknya aku bisa mengatakan untuk berhenti bertemu selama beberapa saat dan kemudian aku akan menemuinya lagi dengan penuh kerinduan dan kembali berada di titik dimana keadaan kami saling merindu.
            Tapi masa-masa itu tidak ada lagi. Seberapa lamanya kami berpisah, rasa rindu itu tidak akan pernah datang lagi. Seberapa jauhnya kami berpisah, kami tidak akan saling kehilangan. Karena apa? Hubungan kami bukan berada di titik balik, melainkan titik buta dimana kami tidak lagi saling mengetahui perasaan kami masing-masing.
            Mungkin benar apa yang Renata katakan padaku bahwa rasa cintanya tidak ada lagi untukku. Begitupun sebaliknya. Semuanya sudah berakhir. BERAKHIR.
________________
            Sore itu, aku dengan perasaan yang sudah tidak karuan akhirnya bersedia memenuhi ajakan Renata untuk bertemu dengannya di salah satu tepi telaga yang biasa kami datangi. Disana selalu ramai baik pagi hari, siang, maupun malam, namun kami tetap bisa menemukan tempat yang ideal jika kami ingin membicarakan sesuatu yang penting.
            Maka dengan setengah hati, aku melajukan sepeda motorku dan satu jam setelahnya kami bertemu di sana.
            Hari itu, Renata mengenakan terusan selutu berwarna baby green dengan rambut hitamnya yang ia biarkkan tergerai. Angin sore mempermainkan helai-helai rambutnya, namun begitu ia masih saja terlihat cantik, bahkan lebih cantik. Hanya saja, seperti ada yang kurang ketika aku menatapnya. Tidak ada satu hal itu, tidak ada getaran aneh ketika aku menatapnya, jantungku pun baik-baik saja ketika kemudian Renata tersenyum menyambutku.
            “Abang, kau datang...” katanya lembut.
            Aku hanya bisa tersenyum membalas ucapannya, kemudian aku menggandeng tangannya dan menuntunnya untuk duduk di bawah sebuah pohon flamboyan yang sudah lumayan tua jika melihat dari seberapa besar batang pohon itu.
            “Bagaimana kabarmu?” tanyaku memulai percakapan.
            “Baik. Dan Abang sendiri?”
            Aku tersenyum mendengar jawabannya, kami benar-benar sudah tidak bisa tertolong lagi. “Abang tidak tahu bagaimana harus menjawabmu. Kau tahu abang tidak bisa berbohong, apalagi kepadamu.” Pandanganku yang semula menatapnya kini aku alihkan ke telaga yang ada di depanku. Hari masih sore dan suasana di sini benar-benar nyaman. Beberapa angsa berenang di tengah telaga dan di tepi-tepi telaga banyak tanaman air dengan bunga-bunga yang bermekaran menghiasinya.
            “Karena itu, jangan berbohong abang...”
            Aah, Renata. Kau masih saja dengan jawaban naifmu, seperti kau yang dulu. Kau memang tidak pernah berubah dan kenaifanmulah yang membuatku terpesona, tapi kenapa sekarang aku bahkan tidak mendapatkan rasa itu kembali. Aku tersenyum getir sembari manatap segerombolan Angsa yang masih saja tenag di tengah telaga itu. Aku tersenyum karena kebodohanku sendiri, dan kurasa aku memang benar-benar manusia yang bodoh.
            “Abang...” katanya kemudian melihatku tidak menjawab, Renata lalu menyetuh tanganku dan membawanya untuk kemudian ia genggam. Tatpan kami slaing bertemu dan saling mengunci satu sama lain, namun tidak ada getaran-getaran itu. Tidak ada sama sekali.
            “Katakan apa yang harus kau katakan, dan aku pun akan melakukannya abang...”
            Aku terdiam cukup lama sembari masih menatap mata hitam di depanku. Sudah siapkah aku melepas semuanya? Sudah siapkah aku mengakhiri semuanya?
            Renata tersenyum padaku, berusaha menguatkanku. Aku rasa ia bahkan sudah mengetahui semuanya, hanya saja ia begitu baik hingga membiarkan aku mengatakannya sebelum keadaan bertembah runyam.
            “Ini mengenai hubungan kita, bukan?”
            Aku mengangguk ketika lagi-lagi Renata lah yang berbicara.
            “Ada yang mau kau katakan mengenai hal itu?”
            Aku menarik nafas panjang. Berusaha menguatkan diriku. Aku tahu, semakin lama kami mengakhirinya maka hanya ada kesedihan yang akan kami dapatkan. Mengikat Renata dalam sebuah hubungan yang tidak mempunyai esensi yang jelas kenapa kami harus melakukannya adalah hal yang salah. Tidak seharusnya aku mengukungnya seperti ini, dan sudah seharusnya aku membiarkannya pergi, terbang dengan sayap tak kasat mata yang akan membawanya ke macam-macam dunia yang berbeda. Dunia yang lebih luas dan mungkin lebih indah daripada dunia kecilku.
            “Renata... maafkan aku. Aku tak lagi mencintaimu.” Kataku pada akhirnya.
            Aku bisa merasakan ketika tangan lembut yang menyelubungi tanganku menjadi kaku untuk beberapa saat. Namun kemudian, tangan itu kembali melembut.
            Renata lalu melepas genggamannya dan ikut menatap telaga di depannya. Kami membisu untuk waktu yang lama dan begitulah, tak ada yang bisa kami katakan. Seluruh kenyataan sudah jelas dengan kalimat itu.
            Aku bisa mendengar ketika Renata menari nafas panjang, sebelum ia berkata, “aku senang kau mengatakannya. Setidaknya itulah yang juga kurasakan padamu abang.” Renata berhenti sejenak, “kita benar-benar tidak tertolong lagi bukan? Selalu memaksa tersenyum ketika kita bersama, padahal berapa lama kita sudah mempunyai chemistry itu? Satu bulankah? Dua bulan? Atau bahkan berbulan-bulan yang lalu?”
            Aku tidak menjawab, hanya mampu menunduk.
            “Aku terlalu lama mengurungmu dalam hubungan ini, maafkan aku.”
            “Tidak abang, tidak ada yang harus dimaafkan. Aku tidak pernah menyesal bersamamu selama ini. Jadi, tidak sepentasnya kau meminta maaf abang...”
            Aku masih menunduk, dan ketika aku mengangkap kepalaku untuk menatapnya, Renata malah memberiku senyumannya. Senyumannya yang kemudian ikut membuatku tersenyum padanya.
            “Renata, terimakasih.” Kataku pada akhirnya dan itulah pembicaraan terakhir kami di senja itu.
________________
            Aku menghela nafas panjang ketika detik-detik terbenamnya matahari sudah berakhir. Matahari maupun jejak-jejak merah yang telah ia timbulkan sudah tidak ada lagi. Begitupun kekalutan yang melandaku beberapa saat yang lalu. Semuanya telah berakhir dan seharusnya aku harus lebih kuat. Bahkan, aku harus senang. Bukankah ini merupakan awal baru untukku dan juga untuk Renata?
            Aku tersenyum seraya bangkit dan menatap ke arah terbenamnya matahari itu. Bulan purnama muncul dan menggantikan posisi bola bulat panas yang berpijar itu. Sudah waktunya aku pulang, dan sudah waktunya memuaskan rasa keingintahuan Adrian tadi.


Surakarta,
8:33 PM, 12-12-2013

Minggu, 01 Desember 2013

Wahana Adinda



Menurut observasi yang ku lakukan pada diriku sendiri, aku adalah orang yang belajar dari apa yang orang katakan tentang sesuatu. Dan sepertinya itu benar, namun yang membuat itu menjadi hal yang mengerikan adalah bahwa aku tidak mencoba mencari tahu apakah yang orang itu katakan benar atau tidak. Yah, kurasa aku tidak perlu mencari tahu dan bisa menerimanya begitu saja jika orang itu adalah sosok yang di anggap berkompeten dalam urusan ajar-mengajar bukan?
                Yah, bisa saja kalian menyebutku pemalas, dan aku tidak akan mempedulikannya.
Kau tahu apa yang kulakukan sekarang dengan bentuk wajahku? Dengan lapisan kulit yang membungkus tulang-tulang ini? Tengkorak ini? Ataupun sel-sel yang berada di dalamnya? Oooh ayolah, aku tidak akan menakutimu, aku hanya tersenyum. Tersenyum.
                Seperti penjelasanku tadi, aku hanya mendengarkan, mencernanya dalam tiap sel dendrit dan neurit yang membentuk jaringan-jaringan berwarna abu-abu bernama otak. Dalam otak ku yang super sederhana yang mungkin saja hanya nol koma nol nol nol seperjuta yang baru digunakan. Aku tertawa. Ya kau harus melihatku tertawa, kata dia aku begitu tampan ketika aku tertawa.
                Ah, akan ku jelaskan kenapa aku membicarakan hal-hal tidak berguna seperti yang telah kusebutkan tadi. Kalian tahu kata ‘agama’ bukan?
‘A’ berarti tidak, dan ‘gama’ berarti tidak beraturan. Maka agama membentuk makna tidak tidak beraturan yang kemudian di olah dengan rumus matematika tertentu -mungkin menggunakan logika- dan menghasilkan makna baru yaitu beraturan atau teratur. Itu mungkin sama halnya dengan ketika kau mengkailan dua bilangan negatif dan kau akan mendapatkan bilangan positif sebagai hasilnya.
Lalu, selanjutnya aku menerapkan apa yang telah ku dapat dalam kata yang lain. Ya, kata yang lain, kata yang kusukai, kata yang perwujudannya merupakan sosok dengan kedudukan paling tinggi di silsilah ranting tertinggi dalam pohon-pohon emas di dalam hati, pikiran, dan kehidupanku. Adinda.
Jika A merupakan perwujudan dari kata tidak atau barangkali bukan, dan dinda yang ku tahu bermakna adik. Maka Adinda mempunyai makna bukan adik. Ya, itu benar. Adinda bukan adik, dan yang lebih mencengangkan lagi kau tahu? Adinda benar-benar bukan adik ku.
@@@
“Kau mulai meracau Alan...” Diyah mengembuskan nafas panjang entah sudah yang keberapa puluh kali di hari ini, hari yang secara matematis baru saja mengeluarkan detik ke 46.800 terhitung dari pukul 00.00. Yah, entah kenapa dalam otak abu-abu ku sangat cepat mengkalkulasi itu semua. Kau akan menemukannya jika kau penasaran, ini baru pukul 1 siang.
Aku tertawa mendengar komentarnya, “tapi harus kau akui bahwa apa yang kukatakan benar bukan? Setidaknya kau tidak boleh mengabaikan rumus-rumus indah itu dan menolak mentah-mentah apa yang aku katakan tadi.”
“Yah, teruslah berbicara sampai lidahmu putus!” Diyah mulai bersungut-sungut dan mengambil ransel yang berada tepat di sampingku. Ia menjinjingnya dan beranjak bangkit.
“Kau mau kemana?”
Diyah memutar mata cokelatnya yang bulat, kemudian mulai melepas kuciran rambut panjangnya untuk kemudian ia buat menjadi kucir kuda seperti sebelumnya. Paling tidak kali ini lebih rapi. “Aku bukan orang yang mempunyai banyak waktu luang sepertimu. Lihat?” ia menunjuk jam tangan digital di lengan kirinya yang berwarna kuning langsat. “Aku ada janji dengan seseorang yang seharusnya bertemu dengan orang di depanku.”
Bibir Diyah meruncing, gayanya ketika ia mencibir.
Aku tertawa lagi, “aku akan mentraktirmu begitu kau selesai.” Kataku santai.
Diyah tidak peduli, dengan wajahnya sudah mulai menandakan tanda-tanda keletihan ia membalik badan dan meninggalkan kubikelnya yang tepat berada di sebelah kubikel ku. Aku menatap kepergian Diyah, dan buru-buru ikut meninggalkan kubikel ku seperti yang dilakukan Diyah.
Kalian tahu? Aku bukanlah seorang pekerja keras. Jika kalian berminat ingin tahu, aku adalah orang yang well, apa sebutannya. Melakukan hal-hal yang ku inginkan dan tidak melakukan apa-apa yang tidak ku inginkan. Egois memang, tapi kalian tidak berhak memperotesnya. This my life...
Aku tersandung batuan dan hampir saja akan terjatuh, dan mari kita lihat dimana aku berada saat ini? Aku tertawa, namun kali ini tawaku hanya akan aku simpan dalam hati.
Bangunan tua yang megah menjulang tinggi dihadapanku. Rumput-rumput yang kentara sekali sudah lama tidak di basmi tumbuh subur dan menjulang, tersebar di tiap inchi tanah lapang yang berhasil mereka temukan. Cat-cat yang terkelupas berwarna putih kekuningan mendominasi tiap lapisan demi lapisan bangunan kokoh ini.
Aku tertawa lagi, dalam hati. Bukankah ini tempat yang menyenangkan untuk mati? Tempat yang sepurna dimana malaikat maut mengajakmu turut serta bersamanya. Kemanapun akhirnya, surga ataupun neraka, aku sudah tidak peduli lagi. Aku melangkahkan kaki menuju bangunan calon tempat malaikat maut membawaku serta.
Detik berlalu begitu lambat. Lagi dan lagi aku menatap gumpalan awan yang menjingga bersamaan dengan tertelannya bola api raksasa bernama matahari yang nantinya kedudukannya di langit yang menaungiku berganti dengan posisi benda bulat yang di daulat Tuhan menjadi satelit untuk planet bumi. Detik demi detik terus berjalan, dan dengan kalkulasi yang sudah melebihi kemampuanku, akhirnya aku menyerah. Aku sudah tidak tahu berapa ribu detik, atau bahkan berapa juta detik yang telah ku habiskan di tempat ini. Yang ku tahu, disini aku sedang mengharapkan kedatangan malaikat maut. Lama, benar-benar lama. Kenapa malaikat maut tidak juga datang.
Aku terpekur di sudut tembok, di salah satu bagian gelap di dalam bangunan tua yang ku masuki. Sudah berapa lama aku tidak melihat matahari siang? Aku tidak tahu. Tapi aku ingat sudah berapa kali bola api itu berganti dengan bola gelap yang tidak mempunyai cahayannya sendiri. Ini adalah malam ke-13 dan malaikat maut belum juga datang menjemputku.
Dengan kesadaranku yang mulai kuragukan, aku menolak memasukan apapun ke dalam tubuhku hanya untuk membuat malaikat maut datang. Aku menolaknya. Kau tahu kenapa? Karena jika begitu, aku tidak akan bisa melihat dengan jelas rupa malaikat maut. Sesuatu yang diam-diam telah menjadi obsesiku. Ah ya, bisa saja aku menggantung diri di sejumput tali. Dengan teori bahwa lilitan tali itu akan menekan pembuluh arteri di leherku. Tentu itu cara yang lebih cepat untuk  mengundang malaikat maut. Dan kenapa sampai sekarang aku belum bisa melakukannya?
Aku tertawa, miris. Aku terlalu takut melakukannya bukan? Bukankah aku seorang pecundang sejati? Kemudian sisi liarku mulai memikirkan hal itu dan dengan tekad menyedihkan, aku menatap ke bagian dimana aku dapat melihat cahaya terbit. Setidaknya aku akan melihat matahar terbit bersamaan dengan melihat malaikat maut. Aku menyerigai dalam kegelapan.
Seperti waktu yang perlahan merangkak menuju tempat dimana ia ingin berada, akupun berada di tempat yang sempurna untuk ku mati. Di tempat ini, posisi ini, koordinat ini, adalah tempat yang paling menjanjikan untuk ku. Sudah 13 hari aku tidak melihat bola api itu, dan setelah 13 hari tidak melihatnya, maka di hari ke 14 ini akhirnya aku bisa melihatnya kembali bersamaan dengan sisa-sisa nafasku yang akan ku habiskan.
Aku tersenyum kala melihat bola api itu, dan kakiku bergerak menaiki undakan yang ku buat dari benda-benda yang kutemukan di dalam bangunan tua ini. Satu undakan, dua undakan, dan tiga undakan. Tali tambang sudah mantap mengakhiri hidupku. Aku memejamkan mataku, meghirup udara subuh untuk yang terkhir kalinya dan mulai memasangkan tali itu di leherku.
“Alan!”
Aku masih tidak bergeming.
“Alan!”
Suara itu kembali memanggilku, siapakah Alan? Kenapa rasanya aku mengenal nama itu? Ooh, benar, itu namaku. Aku tersenyum, senang karena mungkin malaikat maut telah mengenal namaku.
Kemudian aku merasakan benda yang berat menimpa tubuhku, menjatuhkanku di ketinggian sempurna dimana aku akan mengakhiri hidupku. Aku merasakan lantai yang keras ketika tubuhku membentur lantai, dan serta merta kesadaranku timbul bersamaan dengan gerakan benda yang lalu menindih ku.
“Alan, jangan bodoh!”
Aku membuka mataku dan kutemukan sinar matahari berpendar melewati lubang-lubang gedung tua itu. Menimpa sosok di depanku, sosok gadis dengan kuncir kuda yang menatap tajam ke arahku. Diyah.
Aku tertawa. Di saat-saat akhirpun Diyah masih saja menggangguku.
“Kenapa kau tertawa?” tanyanya sinis.
“Kenapa kau disini?” jawabku datar.
Diah menampar pipiku, dan dengan nafas tersengal, kemudian ia bangun dari posisinya yang menindihku. Ia bangkit, berdiri, mengahadap arah matahari seolah ia berkata bahwa ia pun akan menantangnya jika ia bisa.
“Kau bodoh Alan!”
Aku tidak bergeming, masih saja dalam posisiku yang terbaring di lantai. Mataku terpejam dan bisa kuhirup aroma lembab ruangan ini, aroma yang sudah 13 hari ini menemaniku, bercampur dengan aroma lembut dari Diyah.
“Aku memang bodoh.” Kataku lirih. Aku masih terpejam, dan tertidur dalam kedamaian yang aneh.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, tapi yang aku tahu, ketika aku terbangun, ruangan yang tadinya hanya diteringai semburat-semburat matahari terbit kini sudah terang. Aku bangkit untuk kemudian menemukan kepalaku yang berdenyut, sakit sekali. Aku merintih kesakitan sembari dengan susah payah aku mencoba dalam posisi duduk di tantai marmer kotor berwarna kuning kecokelatan. Dalam posisi itu, aku melihat sosok lain dengan tatapan tajam yang mengarah ke tempatku berada. Diyah.
Aku menghela nafas panjang. Setelah melhat sosoknya di depanku, kini aku memngingat semua yang sudah terjadi setidaknya beberapa jam yang lalu.
“Sampai kapan kau akan berusaha melubangi kepalaku dengan tatapan tajam mu?”
“Sampai kau mati.” Jawabnya dingin.
“Bagus sekali jika kau bisa melakukannya...” kataku sambil tertawa senang diselingi dengan ekspresi wajah Diyah yang seakan-akan ingin melahapku.
Diyah kemudian berdiri dan menarikku serta.
“Ayo pergi dari tempat ini.” Katanya sembari menyeretku dengan tenaganya yang kurasa mampu untuk menumbangkanku dengan sangat sangat mudah. Yang bisa kulakukan hanya menurut. Maka sambil menghela nafas, aku menurut kepadanya.
Bukan berarti keinginanku untuk mati sudah tidak ada lagi. Alasanku sampai saat ini belumlah bertemu dengan malaikat maut juga karena Diyah. Entah sudah keberapa kali dia menemukanku di detik-detik akhir malaikat maut akan menjemputku.
Kami masuk ke dalam sebuah mobil sedan berwarna merah milik Diyah. Tanpa banyak kata, dia mulai menyalakan mesin dan kemudian mengemudikannya begitu saja.
“Coba katakan Diyah, apakah kau memasang alat pelacak pada tubuhku?” tanyaku asal.
Diyah tidak bergeming, masih berkosentrasi menerobos jalanan kota yang mulai ramai. Aku salah jika mengayangka aku hanya tidur beberapa jam. Kenyataannya adalah, matahari hampir berada di ufuk timur yang itu artinya aku hampir tidur seharian ini.
“Bagaimana kau tahu dimana aku berada Diyah? Bagaimana kau bisa datang ketika aku hampir saja bertemu dengannya?”
Diyah masih tidak bergeming sedikitpun.
“Bah, baiklah. Anggap saja aku tidak pernah menanyakannya.”
Aku tertawa, ketika mengingat sesuatu. “Ah, mungkin malaikat maut tidak jadi menemuiku tadi karena aku belum membayar hutangku padamu ya? Jadi, tender terakhir yang kuberikan padamu sudah selesai? Kau ingin aku mentraktirmu ya?” aku masih meracau, dan Diyah masih saja diam. “Yah baiklah, kapan kau ada waktu luang? Aku akan segera menepati janjiku hingga nanti jika aku memanggilnya kau tidak bisa datang lagi seperti itu.”
Tanpa ku sangka kemudian. Diyah menepikan mobilnya, kemudian matanya kembali menajam ke arahku. Ia menatapku lama hingga beberapa waktu. Tidak ada suara yang keluar diantara kami, hanya keheningan yang ada, keheningan yang mencekam kurasa.
“Alan. Jika kau sangat ingin mati. Keluarlah dari mobil ku, berdiri di depanku dan aku akan menabrakmu.”
Aku terpaku ketika mendengar hal itu, dan ya... itu saran yang bagus terima atau tidak terima. Maka aku menggerakan otot-otot tubuhku, memaksakan tanganku untuk membuka pintu  mobil dan bersiap keluar ketika aku berasakan tubuh hangat Diyah memelukku dari belakang. Lengannya yang ramping memelukku dan kemudian aku mulai mendengar isakannya.
Aku diam, seperti halnya Diah yang tetap diam dalam posisinya saat ini. Tidak ada kata yang terucap, namun suara isakkan Diyah seakan mampu menjelaskan tentang semua yang tak terjelaskan selama ini. Betapa selama ini aku telah menyakiti Diyah terus menerus tanpa peduli dengannya. Betapa aku telah membuatnya melakukan hal-hal sulit karenaku. Dan mungkin benar, hidupku tidak berarti lagi, setidaknya hidupku bukan hak-ku lagi, ada yang lebih berhak atas hidupku yang menjijikan ini. Seseorang yang berkali-kali mencegahku bertemu dengan malaikat maut. Dan orang itu, bisa ku pastikan adalah Diyah.
@@@
Diyah menuntunku ketika kami berada di depan sebuah rumah dengan dua tingkat dan halaman yang cukup luas dimana ada sebuah wahana permainan kecil di dalam halaman itu. Ada sepasang ayunan, dan tak jauh darinya ada meja bundar dengan keempat kursi berwarna hijau yang mengelilinginya.
Aku masih bergeming ketika Diyah menarik lenganku, tapi kemudian tangan lembut Diyah menyentuh pipiku dan membuatku menatap wajahnya yang seindah rembulan. Ia tersenyum dan mengembalikan rasa percaya diriku. Maka kubiarkan ketika Diyah menekan bel rumah itu yang disambut oleh sepasang orang tua setengah baya yang memandang dengan kepahitan kepadaku. Aku mengalihkan pandanganku dan berusaha untuk tidak menatap mereka.
Menatap mereka yang secara tidak langsung mungkin menyebabkan aku menjadi seperti ini. Jika saja ayahku tidak menikah lagi dengan ibu dari seseorang yang ku cintai, aku tidak akan seperti ini. Hidupku pasti tidak akan semenyakitkan ini, aku pasti tidak akan semenyedihkan ini. Ya, aku tidak akan seperti ini.
Bisa kudengar ketika Diyah mengatakan sesuatu dan kemudian dengan masih menggandeng tanganku, ia mengajakku masuk ke dalam rumah, menaiki tangga, dan menuntunku ke sebuah kamar di sudut.
Kamar yang semula gelap menjadi terang dengan bantuan lampu di sudut yang dinyalakan Diyah. Retina mataku perlu menyesuaikan beberapa saat sebelum mulai terbiasa dengan apa yang kulihat di dalamnya. Kamar yang sudah kutinggalkan hampir satu tahun yang lalu masih sama seperti sebelum ku tinggalkan, aku ingat letak semua buku yang berada di atas meja di samping tempat  tidurku, tidak berpindah satu sentipun. Begitu pula dengan letak barang-barang lainnya. Namun di tempat ini, tidak ada debu barang sedikitpun. Menandakan bahwa ada orang yang secara rutin membersihkan kamar ini.
Diyah lalu menuntunku agar aku duduk di atas tempat tidur, kemudian ia menghilang ke dalam kamar mandi dan kembali sambil membawa handuk dan sebaskom air hangat. Ia membasahi handuk itu dengan air hangat, kemudian membasuh dengan lembut bagian tubuhku yang bisa ia jangkau. Dari wajahku, kedua lenganku, hingga kakiku.
Kemudian Diyah membuka kemejaku yang sudah kusut dan sangat kotor, kemudian membasuh dadaku, dan juga punggungku sebelum akhirnya memakaikan piyama berwarna biru dengan garis-garis tipis. Ia menyerahkan celana piyama berwarna senada dengan atasannya padaku dan menyuruhku menggantinya, seraya mengatakan bahwa alangkah lebih baiknya jika aku memangkas bakal jenggot yang mulai tumbuh di sekitar daguku. Aku mengangguk dan menurut.
Sepuluh menit kemudian, aku selesai dan Diyah masih berada di kamarku. Ia kembali menggadengku dan menyuruhku berbaring. Ia menyelimutiku, dan mengecup dahiku lembut sebelum mematikan lampu kamarku dengan di gantikan dengan cahaya temaram dari lampu tidur. Kemudian Diyah keluar.
Aku kini sendirian di ruangan itu. Ruangan yang dulu menjadi sangkarku dimana tidak seorangpun boleh mengusikku disini. Tapi, hampir setahun yang lalu, aku pergi dari sini dengan luka yang semakin menganga lebar dalam dadaku dan berusaha mencari penyembuhnya sampai akhirnya aku tahu bahwa satu-satunnya hal yang bisa menyembuhkannya adalah kematian.
Aku bangkit dari tempat tidurku, berjalan ke arah jendela dimana aku bisa melihat bintang malam dan juga cahaya bulan yang kutahu selalu ada bahkan di saat cahayanya tidak bisa ku tangkap dengan retina mataku.
Diyah... tak tahukan kau apa yang kau lakukan padaku hari ini bisa membuat semuanya menjadi porak poranda kembali? Aku menghela nafas, dan dari balkon kamarku, aku bisa melihat mobil sedan merah Diyah yang meninggalkan rumah ini. Sampai jumpa Diyah.
Tidak seperti sebelumnya dimana aku merasa pergerakan detik begitu lambat, aku merasa bahwa detik berjalan cepat hingga yang kutahu, matahari pagi kembali berada di langit dan menggantikan keberadaan bintang dan bulan. Tidak sedetikpun aku terlelap setelah Diyah pergi dan yang kulakukan hanyalah duduk termenung dibalkon kamar dengan menatap malam yang saat ini mulai memudar dan menjadikan terang permukaan bumi ini.
Seseorang mengetuk pintu kamarku, dan tanpa jawaban dariku, pintu terbuka. Menampakan sosok menakjubkan yang selama ini mempunyai wahananya sendiri dalam hati, pikiran, dan jiwaku.
Adinda, bukan adik ku kini berada tepat di hadapanku dengan bagian bawah matanya yang menghitam dan tubuhnya yang kurasa bertambah kurus.
“Abang, kau pulang...” katanya lemah sembari tersenyum padaku.
“Ya Jelita, abang pulang...” jawabku lirih. Aku menggunakan Jelita untuk ganti namanya. Tidak, sudah lama aku tidak memanggilnya Adinda, selama ini bahkan aku tidak pernah memanggilnya Adinda. Jelita, itu nama yang kupilihkan untuknya, nama yang kurasa pantas untuk ia sandang. Nama yang mewakili dirinya. Jelita.
“Abang...” dia menggigit bibirnya yang aku tahu akan ia lakukan ketika ia gugup, senang, ataupun risau. Manakah di antara ketiga sebab itu yang membuatmu melakukannya Jelita?
Aku tersenyum padanya, yang manapun akan terasa sama saja. Katakanlah Jelita, katakan apa yang ingin kau katakan. Katakan apa yang harus kau katakan.
Lama aku pandangi Jelita, dan lama pula Jelita hanya berdiri dengan mengigit bibirnya yang tipis. Jelita, hal apakah yang ingin kau katakan padaku? Mungkin ada baiknya aku tidak pernah lagi kembali kesini bukan? Meninggalkanmu adalah pilihan terbaik yang pernah ku buat dalam hidupku, bukankah menurutmu begitu?
“Abang...”
Ah, akhirnya kau kembali berkata-kata Jelita. Jadi, apa yang ingin kau katakan Jelita?
“Abang... bisakah kau membawaku pergi dari sini?”
Aku tertegun dengan perkataan Jelita. Masih tak percaya hingga Jelita mengulanginya lagi.
“Abang, bisakah kau membawaku pergi bersamamu?”
“Jelita...” suara pelan itu keluar dari bibirku.
“Bukan abang, namaku bukan Jelita. Namaku Adinda. A yang berarti bukan, dinda yang berarti adik. Adinda berarti bukan adik. Aku bukan adik mu abang...”
“Jelita...” kataku lirih. Itukah yang selama ini aku katakan tentangmu? Apakah itu yang membuatmu menjadi seperti ini? Bisa kulihat bahwa hatimu sedang tidak stabil seperti biasanya, bisa ku lihat Jelita... kau sedang gundah, risau? Kau sedang bingung Jelita...
Aku bangun dari tempatku dan mengampiri Jelita. Aku mendekatinya dan bisa kulihat dengan jelas dalam matanya yang hitam -dan tidak bersinar seperti biasanya- ada kebingungan yang teramat dalam disana. Jelita, apakah aku yang merampas kemilau itu dari matamu?
“Jelita...”
“Bukan. Aku Adinda, bukan Jelita.”
“Jelita...”
Bisa kulihat tubuhnya bergetar, dan kemudian dia meneriakan kata yang sama berulang kali. Dia yang membenarkan bahwa dirinya bukanlah Jelita. Dia Adinda, dan seperti itulah yang aku yakini selama ini meskipun aku memanggilmu Jelita.
Bukankah nama Jelita itu lebih baik di banding Adinda? Setidaknya aku tidak akan tersakiti dengan nama itu, dan aku juga tidak akan menyakitimu. Karena aku hanya bisa memandangmu jika kau menyandang nama itu, dan apakah kau pernah memikirkan apa yang bisa kuperbuat dengan namamu sebagai Adinda?
Jelita, jika kau Adinda maka sudah lama aku akan membawamu serta kemanapun aku melangkah. Tak peduli dengan hukum terkutuk yang menentang hubungan kita, tak peduli pada orang-orang yang akan tersakiti dengan perbuatan kita.
Tapi tidak Jelita, biarlah kau menjadi Jelita dan hanya memimpikanmu menjadi Adinda. Cukuplah kau sebagai Jelita, dan cukuplah kau berperan sebagai Adinda untuk kehidupanmu yang lain, tapi tidak untuk kehidupanku.
Jelita, jika wahana berasal dari bahasa sansekerta Vah dengan huruf-huruf lainnya yang mengikuti dan terbentuk makna yang baru, maka biarlah, biarlah Jelita. Biarlah makna kata itu adalah tempat. Biarlah aku memilikimu dalam wahana, tempat yang ku miliki sendiri. Paling tidak di tempat itu kau dan aku bisa bersama, paling tidak kau tidak akan tersakiti, dan paling tidak, tidak ada orang-orang yang menyayangimu yang akan tersakiti karenanya.
Karena itu Jelita...
“Aku tidak bisa... aku tidak bisa membawamu Jelita...”
Jelita, kau menangis ketika mendengar jawabanku. Kemudian kau berlari keluar dari ruanganku dan entah kemana lagi kau melangkah. Tapi setidaknya, aku tahu... aku tahu ada seseorang yang selalu siap untuk berada di sisimu. Seseorang yang hampir setahun lalu hadir di hidupmu. Seseorang yang secara perlahan-lahan memudarkan bayangan Adinda, dan menjadikanmu hanya sekedar Jelita untuk ku. Bukankah di sisinya kau merasa di cintai Jelita? Kau merasa di sayangi dan merasa aman? Memang di sisinya adalah tempatmu, jadi Jelita... jangan pernah berbalik untuk sekedar menatapku dan jangan kau beri aku kesempatan seperti tadi Jelita.
Aku menghampiri meja dan disana aku menuliskan apa yang sedang ku pikirkan. Aku tahu tindakanku selama ini benar-benar salah. Dan sekaranglah aku harus mengakhirinya. Mengakhiri semua yang telah terjadi.
Maka hanya beberapa baris itulah yang mampu aku tuliskan untukmu Jelita. Sebelum aku pergi, sebelum aku kembali bergumul dengan kehidupanku yang entah ada atau tidak. Sampai jumpa Jelita, sampai jumpa Adinda...
@@@
Untuk Jelita...
Biarkan di sudut terkecil hati ini terdapat wahana Adinda. Tempat dimana kau menjadi Adinda dan aku menjadi diriku. Dimana kau dan aku bersama, menjalin tali-tali cinta yang tidak akan menyakiti siapapun. Disana, aku akan memanggilmu Adinda...