Kamis, 03 April 2014

Kupu-kupu Tak Bersayap


“Tetapi manusia hidup dengan akal budi dan kesadaran. Ketika nalar menerjemahkan waktu menjadi sesuatu yang mempunyai ruas dan buku, mempunyai tepi, dengan detik, dengan jam, dengan hari, pekan, bulan dan tahun, kita pun sadar akan awal dan akhir. Kita berpikir tentang kelahiran, usia lanjut, dan kematian.”
–Goenawan Mohamad–
¥ ¥ ¥ ¥ ¥

            “Kupu-kupu tak bersayap.” Kata lelaki bertubuh kekar itu datar. Alisnya yang tebal sekarang hampir bertaut satu sama lain karena dahinya yang membentuk kerutan tanya. Ia mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja ketika akhirnya, ia tidak mendapat tanggapan pada lelaki berwajah malaikat di depannya.
“Apa?” kata lelaki malaikat itu heran. Saat ini ia benar-benar tidak ingin menanggapi lelaki di depannya itu. Sudah cukup selama beberapa tahun ini selalu berdampingan dengannya, dan kini waktu berpisah dengan lelaki di depannya itu telah dekat.
“Kupu-kupu tak bersayap.”
“Kau bisa menyebutnya… Ulat.” Jawab lelaki malaikat itu dengan suara yang dalam, suara yang mententramkan jiwa yang mendengarnya. Tapi ia bahkan ragu apakah karunia dari Tuhan yang diberikan padanya bisa berpengaruh pada sosok di depannya.
“Hah?” untuk beberapa saat, lelaki satunya melongo dan lalu tertawa mengejek sambil jemarinya menuliskan kata itu ke dalam buku teka-teki silang yang dibawanya.
“Kau tidak bisa mentertawakan hal itu. Bagaimanapun juga, kau harus ingat bahwa roda kehidupan selalu berputar. Binatang yang kau tertawakan itu, kelak akan menjadi kupu-kupu yang cantik. Binatang yang banyak memberikan manfaat.”
“Aaaaagghht….” Teriak lelaki itu kemudian, suaranya menggelegar membuat yang mendengarnya ketakutan. Setidaknya itu yang akan terjadi jika ada manusia yang mendengarnya.
“Aku tidak memintamu untuk menceramahiku. Dan siapa kau sampai bertindak sok bijaksana seperti itu hah?!”
“Aku bukannya ingin bertindak sok bijak atau apapun, hanya saja…”
Ucapan lelaki berwajah malaikat itu terhenti ketika terdengar rintihan menyayat hati datang dari sudut ruangan. Dimana terkulai sesosok tubuh manusia dengan kondisi yang menggenaskan. Tubuhnya yang dulu atletis telah berubah menjadi kurus kering. Wajahnya yang dulu tampan, kini berubah tirus. Hanya meninggalkan goresan-goresan rasa sakit yang terlalu sering menderanya.
“Aaaaaaa… tolong… tolong aku…” rintih orang itu kemudian. Tak berapa lama datang beberapa perawat yang memeriksa kondisinya. Setelah menyuntikkan obat penghilang rasa sakit, perawat itu kemudian segera keluar dari ruangan itu. Seakan-akan enggan untuk berada di ruangan itu lebih lama.
“Waktunya sebentar lagi bukan?” lelaki malaikat itu berkata lirih, seolah sedih dengan kondisi dia yang terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.
“Itu lebih baik baginya.” Jawab lelaki yang satunya, datar.
“Aku tidak menyangka dia bisa terperosok ke jurang kenistaan begitu dalam. Aku pikir, aku tidak akan menyaksikan hal seperti ini lagi.”
Lelaki bertubuh kekar itu tertawa kemudian, “yah… siapa sangka seorang pelajar teladan pada mulanya, seorang mahasiswa dengan prestasi prestisius, dan kemudian menjadi seorang wakil rakyat heh?” ia tertawa lagi sebelum akhirnya berkata, “bisa berubah menjadi seorang mafia hukum dengan segala kebejatan yang dilakukannya.”
Dengan santai, lelaki dengan tawa menggelegar itu kembali bersandar pada kursi malasnya setelah tiba-tiba ia berdiri berbarengan dengan lelaki malaikat tatkala mendengar rintihan orang itu.
“Seperti yang kau bilang tadi, roda kehidupan selalu berputar bukan? Seperti ulat yang merupakan kupu-kupu tak bersayap kemudian menjadi kupu-kupu yang bersayap. Manusia dengan segala kelebihan yang di milikinya bisa juga kehilangan semua itu.”
“Kau benar, dan menurutmu kenapa ia seperti itu?”
Mereka terdiam sesaat, sebelum kemudian lelaki berwajah malaikat itu menjawab, “aku pernah mendengar bahwa jika kau ingin merusak sebuah bangsa, maka rusaklah kaum wanita. Karena kelak ia akan membawa anak serta suaminya menjadi rusak juga. Apakah menurutmu itu yang terjadi?”
“Kau melihatnya sendiri bukan? Orang itu…” lelaki kekar itu menunjuk pesakitan yang kini tertidur dengan wajah menahan kesakitan, “hanyalah objek yang terkena imbasnya karena apa yang dilakukan oleh wanitanya. Ckckck… dia hanya kurang beruntung.”
“Dan, dimana wanita itu?”
“Entahlah, bukankah kita tidak melihatnya sejak ia masuk di ruangan ini?”
Lelaki malaikat itu mengangguk dan kemudian merenung. Semua yang di katakan sosok di depannya memang benar. Dan walaupun ia tidak menyukai sosok di depannya itu, namun ia harus mengakui bahwa ia benar dalam setiap perkataanya.
            Tiba-tiba suasana berubah mencekam. Angin dingin berhembus dari jendela yang tertutup, mengisi seluruh kekosongan di ruangan itu. Dari ketiadaan, muncul sesosok besar dengan kedua sayap berwarna putih yang merentang di kanan dan kirinya.
Sosok besar bersayap itu kemudian melayang tepat di atas lelaki yang terbaring tak berdaya di ranjangnya. Tubuh lelaki malang itu membeku, namun roh yang menghuninya seakan hendak berontak dan ingin menjauh dari sosok besar itu.
            Kedua lelaki yang sedari tadi berada di ruangan itu ikut membeku di balik sosok besar itu. Mereka tidak bisa bergerak dari tempatnya, seolah ada magnet yang menahan mereka. Untuk kesekian kalinya, kedua lelaki itu hanya bisa menebak-nebak seperti apa sosok besar itu jika di lihat dari depan, seperti apa pemandangan dari tiap helai sayap putih yang membentang itu.
            Jeritan keputusasaan yang menyayat hati keluar dari mulut lelaki malang itu. Matanya membelalak lebar dan ia tak henti-hentinya berhenti untuk gemetar. Berkali-kali ia memohon ampun yang tidak di gubris oleh sosok itu. Dan jeritan kesakitan yang memilukan keluar bersamaan dengan keluarnya roh lelaki malang itu yang di cabut dengan paksa.
            Sedetik kemudian, sosok besar itu menghilang tiba-tiba bersama roh lelaki malang itu. Meninggalkan tubuh tak bernyawa dengan wajah kesakitan dan mata membelalak lebar. Di detik selanjutnya, para perawat dan dokter memasuki ruangan itu. Berusaha mencari tanda-tanda kehidupan pada tubuh tak bernyawa yang membuahkan kesia-siaan. Lelaki itu telah mati.
            Kedua lelaki yang tadi ikut membeku kembali ke keadaan yang semula tatkala sosok besar bersayap itu hilang. Dengan wajah prihatin kedua sosok itu lalu berjabat tangan.
“Ku harap, lain kali aku akan melihat senyum ketika sosok bersayap itu datang menjemput manusia yang lainnya.”
Lelaki kekar itu terkekeh, “Kau pikir hanya kau saja yang menginginkan begitu? Walaupun sifatku adalah lawan dari sifatmu. Aku masih saja merasa benci ketika misiku berhasil mengalahkan misimu.”
“Yah, mungkin lain kali kau bisa bekerja sebagai sisi yang baik.”
Mereka berdua tersenyum. Menampakkan wajah serupa, bak pinang di belah dua. Kemudian secara perlahan-lahan angin hangat berhembus dari pintu yang terbuka. Menerpa kedua lelaki itu dan membawa serta kedua sosok itu menyatu dengan angin. Terasa, namun tak terlihat.


Rabu, 04 Sept’13 10:42 WIB

Senin, 24 Maret 2014

Ruang Kosong


Ketika berada di bangku sekolah dasar, telah diajarkan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain, dan dibutuhkan orang lain. Tak peduli sekaya apapun dirimu hingga mampu membeli robot-robot untuk sekedar melayanimu, tak peduli sekuat apa dirimu untuk bisa menghadapi binatang paling buas sekalipun, ataupun tak peduli seberapa apatisnya dirimu hingga yang hanya kau pedulikan adalah dirimu sendiri. Yang jelas adalah, bahwa manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang harus saling bahu membahu dalam segala hal.
            Aku merasa ada yang salah untuk beberapa hal, yang aku sendiri belum mengerti apa itu, -mungkin aku tahu, hanya saja selalu berusaha untuk tidak merasakannya agar tidak mengendap di cairan kelabu di dalam tempurung kepalaku-. Disaat inilah, kemampuan untuk bersifat Apatis akhirnya dipilih, dan berlari sejauh-jauhnya akan menjadi pilihan akhir ketika tahap sebagai pecundang mulai dirasakan. Ketika eksistensi sebagai bagian dari sesuatu tidak terlalu dirasa, maka diri mulai goyah dan tidak yakin dengan apa yang dilakukannya... Menyedihkan...
            Aku menggulum senyum, berusaha mencerna detak ditiap roda kehidupan yang telah membawaku ke tempat ini. Mencari dan terus saja mencari segala hal yang mungkin bisa kuperbaiki. Apa yang salah?
            Aku manusia, mahluk dengan kulit ari yang tipis, mahluk dengan 80% komposisi tubuh terbuat dari air. Dan aku sebagai diriku, manusia yang mempunyai wujud, tapi merasa tak mempunyai eksistensi yang nyata. Semua kegiatan yang menguras waktu dan tenagaku telah kugunakan, namun hal itu belum juga membuatku mempunyai eksistensi di tempat itu, dan yang ada hanyalah ruangan kosong yang tak pernah tersentuh kehangatan.
            Ketika kau melihat binatang dengan pandangan ingin membunuh, maka binatang itu akan memperlihatkan sisi liarnya. Namun ketika kau melihatnya dengan cinta kasih, maka binatang terbuas pun akan menjadi jinak hingga bersedia menjilati kakimu. Aaah, mungkin apa yang kita hadapi adalah bentuk refleksi dari diri kita sebenarnya.
            “Mereka terlalu sibuk dengan dunianya masing-masing, mereka adalah sekumpulan mahluk egois yang sedikitpun tak mau melirik keadaan manusia lemah lainnya...” desisku tajam.
            “Astaga! Begitukah kau menganggap mereka, Ami?”
            Aku tertawa dengan suara sumbang, mata Mira kian membulat ketika ia mendengar kalimat kejam yang kulontarkan pagi ini. Itu adalah kalimat pertamaku di pagi ini, dan aku bahkan telah menciptakan atmosfer paling buruk untuk pagi yang cerah ini. Mungkin itu salah satu sebabnya keberadaanku diambang antara ada dan tiada.
            “Ami, setidaknya kau harus memikirkan ada saat-saat menyenangkan bersama mereka bukan? Kau tidak boleh begitu saja merasa mereka seperti itu hanya untuk beberapa hal kecil yang menyinggungmu.”
            “Yeah, beberapa hal kecil. Jika ternyata apa-apa yang kau lakukan tidak mereka hargai, maka biar itu menjadi hal-hal kecil.” Aku membantah ucapan Mira dengan desisan tajam yang sama, Mira mendengarnya dan kemudian termenung untuk beberapa saat.
            Mira sahabatku, mungkin dialah satu-satunya manusia di tempat ini yang mengakui adanya aku. Namun dengan kelakuan anehku akhir-akhir ini, jika dia memilih untuk pergi meninggalkanku, aku akan rela, dengan hujatan yang sama tentunya. Aku menyerigai membiarkan imaji liarku melakukan hal itu, bahkan aku merasa aku lebih busuk dibanding koreng yang telah membusuk dan bernanah sekalipun.
            “Oooh, Ami...” ucap Mira lirih. Tubuhnya yang kecil lalu mendatangiku dan ia memelukku dengan parasaan melindungi yang ku kenal baik. “Ami, jika kau merasa seperti itu, seharusnya kau mengatakannya pada mereka...”
            “Hanya untuk membuatku tampak semakin menyedihkan?” tanyaku dengan nada sarkastis, namun aku masih saja membiarkan tubuh dengan jiwa yang dingin ini berada dalam perlindungan Mira.
            “Tentu bukan itu yang aku maksudkan...” ucapnya ketika aku sudah melepaskan pelukannya, dengan matanya yang berwarna cokelat hangat ia menatapku.
            “Tapi aku benar ketika aku mengatakan bahwa aku adalah orang yang menyedihkan. Kau tidak bisa membantah itu.”
            Pandangan Mira menyiratkan rasa iba kepadaku, bukan, bukan pandangan itu yang ingin aku peroleh darinya. Aku hanya ingin dimengerti, aku hanya ingin di akui, dan aku hanya ingin merasa bahwa keberadaan diriku ada seutuhnya.
            Aku menggelengan kepalaku dan tanpa sadar berjalan mundur untuk menjauhi Mira. Aku menatap nanar kepadanya dan Mirapun melakukan hal yang sama padaku. Ketika aku menjauh dari dirinya dia pun menjauhiku.
Aku tertawa, betapa sangat menyedihkan diriku ini. Bahkan satu-satunya sahabat terbaikku adalah potret diriku sendiri, dan sekarang ia bahkan menjauh dariku. Kepercayaan diri atas eksistensi diriku seluruhnya kini meluruh, meninggalkan raga tak berarti yang tak lagi dipandang.
Angin dengan deru yang ganas mulai menerpa tubuhku, tiga puluh menit yang lalu aku masih memiliki Mira, dan sekarang aku tidak memiliki siapa-siapa lagi yang menganggap diriku ada. Kerapuhan jiwa telah menjerumuskanku untuk mengakhiri kegetiran yang kurasakan, dan tanpa kusadari aku telah berdiri ditepi antara kehidupan yang menyesakkan, ataukan kematian yang menawarkan kegelapan.
Aku berdiri di atap bangunan dengan 30 tingkatan yang membentuk rumah-rumah singgah bagi pemiliknya, atau penyewanya. Aku berjalan ketepian dan bisa kulihat jalanan kota Jakarta yang tidak pernah sepi dilalui oleh berbagai macam kendaraan. Kakiku menanjak dinding pengaman yang hanya mempunyai tinggi satu meter, dan dari saja aku bisa merasakan malaikat maut sedang menatapku seolah enggan dengan apa yang akan kulakukan.
Namun, aku merasa hal inilah yang tepat kulakukan. Lagipula, kematianku tidaklah terlalu berpengaruh bagi orang lain, bukankah ragaku seolah berada diantara ada dan ketiadaan? Bahkan aku sangsi akan ada yang berduka jika aku mati nanti.
Maka kurentangkan tanganku, merasakan angin yang berhembus ganas menerpa tubuhku. Mungkin rasanya seperti terbang ketika aku melompat dari atas ini menuju kegelapan itu.
Aku sudah siap.
Aku tersenyum untuk kali terakhir dan baru saja akan terjun ketika sebuah tangan menarikku hingga akhirnya aku terjatuh ke arah yang berlawanan. Sebuah benda padat menjadi bantalanku sehingga tubuhku tidak mengenai lantai di atap gedung ini.
Sesaat aku terpaku dan kemudian barulah aku sadar ketika suara nafas seseorang yang seperti telah berlari berkilo-kilo meter terdengar dari bawahku.
“Amira... kau tidak apa-apa?”
Sosok itu bangun, dan sekarang duduk di depanku yang juga sedang terpaku memandangnya. Ia tersenyum padaku dan mengatakan hal yang sama, “Amira... kau tidak apa-apa? Maafkan aku karena aku datang terlambat.”
Aku tertegun ketika namaku ia sebutkan, bukan hanya sekali tapi dua kali. Bukankah itu bukti bahwa keberadaan diriku, eksistensi diriku tidak sepenuhnya menghilang?
Pandanganku kabur, dan sedetik kemudian aku mulai menangis sejadi-jadinya, membiarkan seluruh butiran-butiran air mata itu turun dari mataku.