Senin, 24 Maret 2014

Ruang Kosong


Ketika berada di bangku sekolah dasar, telah diajarkan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain, dan dibutuhkan orang lain. Tak peduli sekaya apapun dirimu hingga mampu membeli robot-robot untuk sekedar melayanimu, tak peduli sekuat apa dirimu untuk bisa menghadapi binatang paling buas sekalipun, ataupun tak peduli seberapa apatisnya dirimu hingga yang hanya kau pedulikan adalah dirimu sendiri. Yang jelas adalah, bahwa manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang harus saling bahu membahu dalam segala hal.
            Aku merasa ada yang salah untuk beberapa hal, yang aku sendiri belum mengerti apa itu, -mungkin aku tahu, hanya saja selalu berusaha untuk tidak merasakannya agar tidak mengendap di cairan kelabu di dalam tempurung kepalaku-. Disaat inilah, kemampuan untuk bersifat Apatis akhirnya dipilih, dan berlari sejauh-jauhnya akan menjadi pilihan akhir ketika tahap sebagai pecundang mulai dirasakan. Ketika eksistensi sebagai bagian dari sesuatu tidak terlalu dirasa, maka diri mulai goyah dan tidak yakin dengan apa yang dilakukannya... Menyedihkan...
            Aku menggulum senyum, berusaha mencerna detak ditiap roda kehidupan yang telah membawaku ke tempat ini. Mencari dan terus saja mencari segala hal yang mungkin bisa kuperbaiki. Apa yang salah?
            Aku manusia, mahluk dengan kulit ari yang tipis, mahluk dengan 80% komposisi tubuh terbuat dari air. Dan aku sebagai diriku, manusia yang mempunyai wujud, tapi merasa tak mempunyai eksistensi yang nyata. Semua kegiatan yang menguras waktu dan tenagaku telah kugunakan, namun hal itu belum juga membuatku mempunyai eksistensi di tempat itu, dan yang ada hanyalah ruangan kosong yang tak pernah tersentuh kehangatan.
            Ketika kau melihat binatang dengan pandangan ingin membunuh, maka binatang itu akan memperlihatkan sisi liarnya. Namun ketika kau melihatnya dengan cinta kasih, maka binatang terbuas pun akan menjadi jinak hingga bersedia menjilati kakimu. Aaah, mungkin apa yang kita hadapi adalah bentuk refleksi dari diri kita sebenarnya.
            “Mereka terlalu sibuk dengan dunianya masing-masing, mereka adalah sekumpulan mahluk egois yang sedikitpun tak mau melirik keadaan manusia lemah lainnya...” desisku tajam.
            “Astaga! Begitukah kau menganggap mereka, Ami?”
            Aku tertawa dengan suara sumbang, mata Mira kian membulat ketika ia mendengar kalimat kejam yang kulontarkan pagi ini. Itu adalah kalimat pertamaku di pagi ini, dan aku bahkan telah menciptakan atmosfer paling buruk untuk pagi yang cerah ini. Mungkin itu salah satu sebabnya keberadaanku diambang antara ada dan tiada.
            “Ami, setidaknya kau harus memikirkan ada saat-saat menyenangkan bersama mereka bukan? Kau tidak boleh begitu saja merasa mereka seperti itu hanya untuk beberapa hal kecil yang menyinggungmu.”
            “Yeah, beberapa hal kecil. Jika ternyata apa-apa yang kau lakukan tidak mereka hargai, maka biar itu menjadi hal-hal kecil.” Aku membantah ucapan Mira dengan desisan tajam yang sama, Mira mendengarnya dan kemudian termenung untuk beberapa saat.
            Mira sahabatku, mungkin dialah satu-satunya manusia di tempat ini yang mengakui adanya aku. Namun dengan kelakuan anehku akhir-akhir ini, jika dia memilih untuk pergi meninggalkanku, aku akan rela, dengan hujatan yang sama tentunya. Aku menyerigai membiarkan imaji liarku melakukan hal itu, bahkan aku merasa aku lebih busuk dibanding koreng yang telah membusuk dan bernanah sekalipun.
            “Oooh, Ami...” ucap Mira lirih. Tubuhnya yang kecil lalu mendatangiku dan ia memelukku dengan parasaan melindungi yang ku kenal baik. “Ami, jika kau merasa seperti itu, seharusnya kau mengatakannya pada mereka...”
            “Hanya untuk membuatku tampak semakin menyedihkan?” tanyaku dengan nada sarkastis, namun aku masih saja membiarkan tubuh dengan jiwa yang dingin ini berada dalam perlindungan Mira.
            “Tentu bukan itu yang aku maksudkan...” ucapnya ketika aku sudah melepaskan pelukannya, dengan matanya yang berwarna cokelat hangat ia menatapku.
            “Tapi aku benar ketika aku mengatakan bahwa aku adalah orang yang menyedihkan. Kau tidak bisa membantah itu.”
            Pandangan Mira menyiratkan rasa iba kepadaku, bukan, bukan pandangan itu yang ingin aku peroleh darinya. Aku hanya ingin dimengerti, aku hanya ingin di akui, dan aku hanya ingin merasa bahwa keberadaan diriku ada seutuhnya.
            Aku menggelengan kepalaku dan tanpa sadar berjalan mundur untuk menjauhi Mira. Aku menatap nanar kepadanya dan Mirapun melakukan hal yang sama padaku. Ketika aku menjauh dari dirinya dia pun menjauhiku.
Aku tertawa, betapa sangat menyedihkan diriku ini. Bahkan satu-satunya sahabat terbaikku adalah potret diriku sendiri, dan sekarang ia bahkan menjauh dariku. Kepercayaan diri atas eksistensi diriku seluruhnya kini meluruh, meninggalkan raga tak berarti yang tak lagi dipandang.
Angin dengan deru yang ganas mulai menerpa tubuhku, tiga puluh menit yang lalu aku masih memiliki Mira, dan sekarang aku tidak memiliki siapa-siapa lagi yang menganggap diriku ada. Kerapuhan jiwa telah menjerumuskanku untuk mengakhiri kegetiran yang kurasakan, dan tanpa kusadari aku telah berdiri ditepi antara kehidupan yang menyesakkan, ataukan kematian yang menawarkan kegelapan.
Aku berdiri di atap bangunan dengan 30 tingkatan yang membentuk rumah-rumah singgah bagi pemiliknya, atau penyewanya. Aku berjalan ketepian dan bisa kulihat jalanan kota Jakarta yang tidak pernah sepi dilalui oleh berbagai macam kendaraan. Kakiku menanjak dinding pengaman yang hanya mempunyai tinggi satu meter, dan dari saja aku bisa merasakan malaikat maut sedang menatapku seolah enggan dengan apa yang akan kulakukan.
Namun, aku merasa hal inilah yang tepat kulakukan. Lagipula, kematianku tidaklah terlalu berpengaruh bagi orang lain, bukankah ragaku seolah berada diantara ada dan ketiadaan? Bahkan aku sangsi akan ada yang berduka jika aku mati nanti.
Maka kurentangkan tanganku, merasakan angin yang berhembus ganas menerpa tubuhku. Mungkin rasanya seperti terbang ketika aku melompat dari atas ini menuju kegelapan itu.
Aku sudah siap.
Aku tersenyum untuk kali terakhir dan baru saja akan terjun ketika sebuah tangan menarikku hingga akhirnya aku terjatuh ke arah yang berlawanan. Sebuah benda padat menjadi bantalanku sehingga tubuhku tidak mengenai lantai di atap gedung ini.
Sesaat aku terpaku dan kemudian barulah aku sadar ketika suara nafas seseorang yang seperti telah berlari berkilo-kilo meter terdengar dari bawahku.
“Amira... kau tidak apa-apa?”
Sosok itu bangun, dan sekarang duduk di depanku yang juga sedang terpaku memandangnya. Ia tersenyum padaku dan mengatakan hal yang sama, “Amira... kau tidak apa-apa? Maafkan aku karena aku datang terlambat.”
Aku tertegun ketika namaku ia sebutkan, bukan hanya sekali tapi dua kali. Bukankah itu bukti bahwa keberadaan diriku, eksistensi diriku tidak sepenuhnya menghilang?
Pandanganku kabur, dan sedetik kemudian aku mulai menangis sejadi-jadinya, membiarkan seluruh butiran-butiran air mata itu turun dari mataku.