Ketika
berada di bangku sekolah dasar, telah diajarkan bahwa manusia adalah mahluk
sosial yang membutuhkan orang lain, dan dibutuhkan orang lain. Tak peduli
sekaya apapun dirimu hingga mampu membeli robot-robot untuk sekedar melayanimu,
tak peduli sekuat apa dirimu untuk bisa menghadapi binatang paling buas
sekalipun, ataupun tak peduli seberapa apatisnya dirimu hingga yang hanya kau
pedulikan adalah dirimu sendiri. Yang jelas adalah, bahwa manusia adalah mahluk
sosial, mahluk yang harus saling bahu membahu dalam segala hal.
Aku merasa
ada yang salah untuk beberapa hal, yang aku sendiri belum mengerti apa itu,
-mungkin aku tahu, hanya saja selalu berusaha untuk tidak merasakannya agar
tidak mengendap di cairan kelabu di dalam tempurung kepalaku-. Disaat inilah, kemampuan untuk bersifat Apatis akhirnya
dipilih, dan berlari sejauh-jauhnya akan menjadi
pilihan akhir ketika tahap sebagai pecundang mulai dirasakan. Ketika eksistensi sebagai bagian dari sesuatu tidak terlalu
dirasa, maka diri mulai goyah dan tidak yakin
dengan apa yang dilakukannya... Menyedihkan...
Aku menggulum senyum, berusaha
mencerna detak ditiap roda kehidupan yang telah membawaku ke tempat ini. Mencari
dan terus saja mencari segala hal yang mungkin bisa kuperbaiki. Apa yang salah?
Aku manusia, mahluk dengan kulit ari
yang tipis, mahluk dengan 80% komposisi tubuh terbuat dari air. Dan aku sebagai
diriku, manusia yang mempunyai wujud, tapi merasa tak mempunyai eksistensi yang
nyata. Semua kegiatan yang menguras waktu dan tenagaku telah kugunakan, namun
hal itu belum juga membuatku mempunyai eksistensi di tempat itu, dan yang ada
hanyalah ruangan kosong yang tak pernah tersentuh kehangatan.
Ketika kau melihat binatang dengan
pandangan ingin membunuh, maka binatang itu akan memperlihatkan sisi liarnya.
Namun ketika kau melihatnya dengan cinta kasih, maka binatang terbuas pun akan
menjadi jinak hingga bersedia menjilati kakimu. Aaah, mungkin apa yang kita hadapi adalah bentuk refleksi dari diri
kita sebenarnya.
“Mereka terlalu sibuk dengan
dunianya masing-masing, mereka adalah sekumpulan mahluk egois yang sedikitpun
tak mau melirik keadaan manusia lemah lainnya...” desisku tajam.
“Astaga! Begitukah kau menganggap
mereka, Ami?”
Aku tertawa dengan suara sumbang,
mata Mira kian membulat ketika ia mendengar kalimat kejam yang kulontarkan pagi
ini. Itu adalah kalimat pertamaku di pagi ini, dan aku bahkan telah menciptakan
atmosfer paling buruk untuk pagi yang cerah ini. Mungkin itu salah satu
sebabnya keberadaanku diambang antara ada dan tiada.
“Ami, setidaknya kau harus
memikirkan ada saat-saat menyenangkan bersama mereka bukan? Kau tidak boleh
begitu saja merasa mereka seperti itu hanya untuk beberapa hal kecil yang
menyinggungmu.”
“Yeah, beberapa hal kecil. Jika
ternyata apa-apa yang kau lakukan tidak mereka hargai, maka biar itu menjadi
hal-hal kecil.” Aku membantah ucapan Mira dengan desisan tajam yang sama, Mira
mendengarnya dan kemudian termenung untuk beberapa saat.
Mira sahabatku, mungkin dialah
satu-satunya manusia di tempat ini yang mengakui adanya aku. Namun dengan
kelakuan anehku akhir-akhir ini, jika dia memilih untuk pergi meninggalkanku,
aku akan rela, dengan hujatan yang sama tentunya. Aku menyerigai membiarkan
imaji liarku melakukan hal itu, bahkan aku merasa aku lebih busuk dibanding
koreng yang telah membusuk dan bernanah sekalipun.
“Oooh, Ami...” ucap Mira lirih.
Tubuhnya yang kecil lalu mendatangiku dan ia memelukku dengan parasaan
melindungi yang ku kenal baik. “Ami, jika kau merasa seperti itu, seharusnya
kau mengatakannya pada mereka...”
“Hanya untuk membuatku tampak
semakin menyedihkan?” tanyaku dengan nada sarkastis, namun aku masih saja
membiarkan tubuh dengan jiwa yang dingin ini berada dalam perlindungan Mira.
“Tentu bukan itu yang aku
maksudkan...” ucapnya ketika aku sudah melepaskan pelukannya, dengan matanya
yang berwarna cokelat hangat ia menatapku.
“Tapi aku benar ketika aku mengatakan
bahwa aku adalah orang yang menyedihkan. Kau tidak bisa membantah itu.”
Pandangan Mira menyiratkan rasa iba
kepadaku, bukan, bukan pandangan itu yang ingin aku peroleh darinya. Aku hanya
ingin dimengerti, aku hanya ingin di akui, dan aku hanya ingin merasa bahwa
keberadaan diriku ada seutuhnya.
Aku menggelengan kepalaku dan tanpa
sadar berjalan mundur untuk menjauhi Mira. Aku menatap nanar kepadanya dan
Mirapun melakukan hal yang sama padaku. Ketika aku menjauh dari dirinya dia pun
menjauhiku.
Aku
tertawa, betapa sangat menyedihkan diriku ini. Bahkan satu-satunya sahabat
terbaikku adalah potret diriku sendiri, dan sekarang ia bahkan menjauh dariku.
Kepercayaan diri atas eksistensi diriku seluruhnya kini meluruh, meninggalkan
raga tak berarti yang tak lagi dipandang.
Angin
dengan deru yang ganas mulai menerpa tubuhku, tiga puluh menit yang lalu aku
masih memiliki Mira, dan sekarang aku tidak memiliki siapa-siapa lagi yang
menganggap diriku ada. Kerapuhan jiwa telah menjerumuskanku untuk mengakhiri
kegetiran yang kurasakan, dan tanpa kusadari aku telah berdiri ditepi antara
kehidupan yang menyesakkan, ataukan kematian yang menawarkan kegelapan.
Aku
berdiri di atap bangunan dengan 30 tingkatan yang membentuk rumah-rumah singgah
bagi pemiliknya, atau penyewanya. Aku berjalan ketepian dan bisa kulihat
jalanan kota Jakarta yang tidak pernah sepi dilalui oleh berbagai macam
kendaraan. Kakiku menanjak dinding pengaman yang hanya mempunyai tinggi satu
meter, dan dari saja aku bisa merasakan malaikat maut sedang menatapku seolah
enggan dengan apa yang akan kulakukan.
Namun,
aku merasa hal inilah yang tepat kulakukan. Lagipula, kematianku tidaklah
terlalu berpengaruh bagi orang lain, bukankah ragaku seolah berada diantara ada
dan ketiadaan? Bahkan aku sangsi akan ada yang berduka jika aku mati nanti.
Maka
kurentangkan tanganku, merasakan angin yang berhembus ganas menerpa tubuhku.
Mungkin rasanya seperti terbang ketika aku melompat dari atas ini menuju
kegelapan itu.
Aku
sudah siap.
Aku
tersenyum untuk kali terakhir dan baru saja akan terjun ketika sebuah tangan
menarikku hingga akhirnya aku terjatuh ke arah yang berlawanan. Sebuah benda
padat menjadi bantalanku sehingga tubuhku tidak mengenai lantai di atap gedung
ini.
Sesaat
aku terpaku dan kemudian barulah aku sadar ketika suara nafas seseorang yang
seperti telah berlari berkilo-kilo meter terdengar dari bawahku.
“Amira...
kau tidak apa-apa?”
Sosok
itu bangun, dan sekarang duduk di depanku yang juga sedang terpaku
memandangnya. Ia tersenyum padaku dan mengatakan hal yang sama, “Amira... kau
tidak apa-apa? Maafkan aku karena aku datang terlambat.”
Aku
tertegun ketika namaku ia sebutkan, bukan hanya sekali tapi dua kali. Bukankah
itu bukti bahwa keberadaan diriku, eksistensi diriku tidak sepenuhnya
menghilang?
Pandanganku
kabur, dan sedetik kemudian aku mulai menangis sejadi-jadinya, membiarkan
seluruh butiran-butiran air mata itu turun dari mataku.