Senin, 09 Februari 2015

Senja Itu, di Lorong Sekolah

Kala itu, matahari senja menerangi gedung sekolah bertingkat  dua dengan sinarnya yang hangat. Angin semilir dengan aroma teh yang harum ikut menemani momen itu. Maklum saja, sekolahku dekat dengan pabrik teh. Lorong sekolah yang terkena cahaya jingga cantik itu sudah sepi, hanya menyisakan beberapa orang. Aku dengan menyenandungkan sebuah lagu berjalan melewatinya, bersiap untuk pulang ke rumahku setelah menghabiskan waktu dengan instrumen fisika yang membuat kebas seluruh partikel otak.  Di ujung lorong itu, aku hampir terjatuh, entah karena apa. Kemudian, sebuah tangan yang kokoh menangkap tubuhku sebelum aku benar-benar terjerembab ke lantai. Aku mengucapkan terima kasih dengan terbata, dan membeku satu detik kemudian ketika melihat mata jernih berwarna hitam di depanku. Dia, dengan senyum kemilau yang masih tetap sama berdiri tepat di depanku.
            “Kau tidak apa-apa?”
            “I-iya,” kataku gagap, “terima kasih mas.”
            Dia tertawa renyah, “Mas? Lho, kita kan belum saling kenal.”
            Aku tertawa kecil dibuatnya, “kalau begitu, terima kasih.”
            “Sama-sama.” dia membalas, masih menggenggap tangan kananku, kemudian aku merasa rasa hangat di hatiku, dan juga di sebelah sisi lainnya. Aku menengok ke arah kiri dan melihat sosok lain. Sepertinya dia sahabatku, tapi itupun tidak jelas. Bersama, kita bertiga menyusuri lorong itu, hingga akhirnya semuanya memudar.
********
            “Berhentilah tertawa!” kataku sewot.
            “Hahahaha... maaf-maaf. Hanya saja, aneh rasanya kau masih memimpikannya setelah selama ini?” katanya dengan tawa yang masih berderai. “Aku pikir kau sudah melupakan Theo! Ternyata, masih saja dia hinggap di hatimu.”
            Aku merengut, mencoba mengalihkan emosiku dengan menatap cakrawala dari jendela tempatku duduk. “Mungkin dia menyuruhku move on, ya?”
            “Heh? Apa itu pengakuan bahwa selama ini kau belum bisa melupakannya? Tapi kan kalian bahkan tidak sempat saling mengenal.” Ren bertanya dengan mimik serius, tawanya kini sudah sepenuhnya menghilang dari wajah bulatnya. “Kau hanya melihatnya dari jauh, memperhatikannya tanpa berani mendekatinya. Sedangkan dia, entahlah. Aku tidak tahu menahu mengenai pria itu.”
            “Tapi, mungkin memang aku masih belum bisa melupakannya,” jawabku menerawang, “dibilang lupa, aku juga masih mengingatnya dengan baik.”
            “Ah, iya. Memang susah melupakan cowok ganteng, apalagi yang sulit dijangkau ya?” Ren menggodaku.
            “Bukankah dia terlihat cantik dibandingkan dibilang ganteng? Lagi pula, sepertinya dia bisa dijangkau asalkan pihak yang satunya berusaha.”
            Ren menggaruk kepalannya, “dia orang yang minta dikejar ya? Tipe pangeran dalam manga jepang.”
            “Sepertinya memang begitu ya?” aku tertawa.
            “Tapi serius, kau masih belum bisa melupakannya?” Ren menatap tajam manik mataku, “setelah tujuh tahun ini?” Tambahnya dengan membelalakan matanya.
            Aku mengedikkan bahuku, terlalu lelah dengan semua perasaan yang tak kunjung hilang ini. Aku menyeruput sampai habis orange juice di gelasku dan berdiri tiba-tiba.
            “Ayok balik, kita mesti siap-siap ke kawinannya Anggie, kan?”
            Ren mengangguk, ia ikut berdiri dan berjalan di sampingku meninggalkan ampas kopi berwarna hitam di mugnya. “Kesukaanmu dengan kopi hitam belum berubah ya?”
            Ren menyerigai, “aku butuh kafein, pilihanku tinggal teh atau kopi. Dan bersyukurlah aku tidak mendapatkan asupan kafein dari rokok.”
            Aku tertawa, “aku lubangi saja paru-parumu sebelum rokok yang melakukannya.”
            Kami berdua melaju dengan sedan hitam milik Ren ke apartemen miliknya. Aku sudah dua tahun ini pindah dari kota asalku, maka ketika ada teman yang mempunyai hajat, aku menumpang di tempat Ren. Yah, lagipula dia hidup sendirian dan bebas, jadi tempatnya menjadi pilihan terbaikku.
            “Kau tahu, aku sedang berpikir,” ujar Ren di tengah perjalanan menuju kediaman Anggie.
            Aku menoleh ke arahnya sambil mengernyitkan kening melihat apa yang Ren kenakan. Di acara seperti ini bahkan pilihannya jatuh kepada jeans hitam dipadukan kemeja berwarna biru toska.
            “Oh, berhentilah menilai apa yang ku kenakan. Aku tidak akan pernah bisa berpakaian sepertimu.”
            “Apa yang salah denganku?”
            “Tidak ada, hanya saja aku tidak cocok dengan dress selutut berwarna putih.” Ren mengernyitkan dahinya, “ah, berhenti membahasnya. Yang tadi ingin ku katakan adalah,” Ren berhenti sejenak, “bagaimana jika malam ini kita bertemu lagi dengan Theo?”
            Aku membelalak, “jangan ngelantur, Ren.”
            “Jangan berbohong kalau kau sendiri tidak pernah memikirkan kemungkinan ini. Kau tahu, dengan hubungan Anggie dan teman-teman Theo, ada kemungkinan dia akan datang.”
            Aku menelan ludah dengan keras, “itu kan, cuma seandainya.”
            “Tapi seandainya yang mungkin terjadi,” cecar Ren, “kau mau melakukan apa?”
            Aku diam, mencoba berpikir. “Memangnya aku harus melakukan apa?”
            Ren tertawa, “jangan bodoh. Dengan mimpi konyolmu tentang dia, kau akan membiarkan kesempatan memulai kembali hilang begitu saja?”
            “Aku tidak bisa-“
            “Maka aku yakin suatu saat kau akan menyesali semuanya.”
            Aku membeku, “ta-tapi...”
            “Kau yang membenarkan bahwa dia tipe orang yang senang dikejar. Kenapa kau tidak mencobanya? Kalaupun gagal, setidaknya kau tidak akan menyesal telah mencobanya.”
            “Kau menyuruhku mendekatinya?”
            “Jika itu yang kesimpulan yang kau dapat, maka iya.” Ren tertawa, “lagi pula sudah saatnya kau memikirkan berkeluarga sebelum orangtuamu akhirnya menjodohkanmu dengan seseorang,” Ren masih tertawa, “berapa usiamu? 26 tahun?”
            Aku memberengut kesal, “sialan kau, seperti kau tidak begitu saja.”
            “Oh ayolah, kau dan aku berbeda. Orang tuaku tidak akan memaksaku untuk menikah, mereka membebaskanku melakukan apa saja.”
            “Orang tua yang baik.” Kataku ketus.
            Ren menyerigai dan melajukan mobilnya lebih pelan. “Nah, siapkan mentalmu karena kita mempunyai kemungkinan bertemu dengan pangeranmu, honey.”
            Aku mengernyitkan kening, “apa semua penulis selalu melebih-lebihkan sepertimu ya?”
            Ren tertawa, “mungkin. Tapi aku yakin tidak semua bankir di negeri ini takut membuat terobosan baru, bukan?”
            Aku membisu, lagi-lagi kalah telak dengan balasan dari Ren.
            Kami turun dari mobil. Untuk beberapa menit aku mematut diri di depan kaca mobil Ren sembari merapikan bagian belakang yang mungkin kusut setelah duduk. Aku membenarkan pita berwarna jingga yang melingkari pinggangku dengan manis.
            “Ku rasa sudah rapi.” Kata Ren mencemooh, “itu lah salah satu sebabnya aku malas menggunakan dress ataupun gaun.”
            “Tapi, suatu saat kau pasti akan menggunakannya. Pada hari pernikahanmu misalnya.”
            Ren berdecak, “seperti hari itu akan datang saja.”
            Aku tersenyum simpul, “siapa yang tahu?”
            Kami memasuki kediaman Anggie yang super besar. Ornamen berwarna pink sukses memenuhi ruang tamu yang telah di sulap menjadi aula yang terlihat megah. Aku terpesona melihatnya, sedangkan Ren, dengan pola pikirnya yang aneh malah berdecak kagum, “aku penasaran bagaimana Anggie bisa membujuk Genta yang mantan paskibraka dengan konsep pernikahan berwarna pink ini,” katanya jujur.
            Bagiku, pesta pernikahan Anggie malam ini seperti ajang temu kangen dengan teman-teman SMA-ku. Banyak yang dengan sengaja pulang ke kota ini untuk menghadirinya, termasuk aku.        
“Kau terlihat manis malam ini, Binar,” ucap sebuah suara di belakangku..
            “Sesil!” pekikku senang ketika melihat siapa yang menyapaku, “dan kau terlihat bahagia.” Kataku sambil melirik putri kecilnya dan suaminya yang berada di sampingnya.
            Sesil tersenyum manis padaku. Ia adalah teman lamaku saat kelas 1 SMA, walaupun tidak sedekat hubunganku dengan Renita, tapi aku tahu dia orang yang baik.
            “Berapa usianya?” kataku sambil menatap bocah perempuan yang berada di gendongan Sesil.
            “Bulan depan tepat dua tahun,” kemudian kami bercakap-cakap sebentar dan membiarkan Ren sibuk dengan teman lainnya.
            Lima belas menit kemudian, Sesil pamit dan membuatku harus mencari Ren lagi. Aku berjalan mengitari aula itu dan nihil. Tidak aku temukan sosok Ren. Aku sudah putus asa dan baru akan mengeluarkan ponselku ketika suara berat memanggil namaku.
            “Binar, kau Binar kan?” kata suara itu.
            Aku mendongak ke asal suara dan mengenalinya. Theo. Sosok di depanku adalah Theo. Orang yang sama yang berada di mimpiku.
            “Theo?” kataku refleks. “Kau tahu aku?”
            Theo tersenyum, senyum yang bahkan sama seperti yang ada di dalam mimpiku. “Ada apa? Kau terlihat bingung?”
            “A-aku...” kataku gagap. Tanpa sengaja sudut mataku menangkap bayangan Ren. Dia bersedekap melihatku dari kejauhan, seolah mengatakan apa yang harusnya aku lakukan. Aku menatap cemas ke arahnya, tapi dia malah mengalihkan pandangannya, seolah berkata bahwa ini bukan urusannya.
“Aku sedang mencari seseorang,” jawabku pada akhirnya.
            Aku melihat senyum simpul Ren sebelum Ren balik kanan dan menghambur pergi entah kemana.
            “Oh ya? Siapa yang kau cari?”
            Aku menarik napas panjang, mengumpulkan segala keberanian yang aku butuhkan. Kata-kata Ren terngiang di kepalaku. Benar, setidaknya jika aku gagal, aku tidak akan menyesal karena telah mencoba.
            “Aku mencarimu, Theo. Ada banyak hal yang ingin ku katakan padamu.”

_End