Senin, 09 Februari 2015

Senja Itu, di Lorong Sekolah

Kala itu, matahari senja menerangi gedung sekolah bertingkat  dua dengan sinarnya yang hangat. Angin semilir dengan aroma teh yang harum ikut menemani momen itu. Maklum saja, sekolahku dekat dengan pabrik teh. Lorong sekolah yang terkena cahaya jingga cantik itu sudah sepi, hanya menyisakan beberapa orang. Aku dengan menyenandungkan sebuah lagu berjalan melewatinya, bersiap untuk pulang ke rumahku setelah menghabiskan waktu dengan instrumen fisika yang membuat kebas seluruh partikel otak.  Di ujung lorong itu, aku hampir terjatuh, entah karena apa. Kemudian, sebuah tangan yang kokoh menangkap tubuhku sebelum aku benar-benar terjerembab ke lantai. Aku mengucapkan terima kasih dengan terbata, dan membeku satu detik kemudian ketika melihat mata jernih berwarna hitam di depanku. Dia, dengan senyum kemilau yang masih tetap sama berdiri tepat di depanku.
            “Kau tidak apa-apa?”
            “I-iya,” kataku gagap, “terima kasih mas.”
            Dia tertawa renyah, “Mas? Lho, kita kan belum saling kenal.”
            Aku tertawa kecil dibuatnya, “kalau begitu, terima kasih.”
            “Sama-sama.” dia membalas, masih menggenggap tangan kananku, kemudian aku merasa rasa hangat di hatiku, dan juga di sebelah sisi lainnya. Aku menengok ke arah kiri dan melihat sosok lain. Sepertinya dia sahabatku, tapi itupun tidak jelas. Bersama, kita bertiga menyusuri lorong itu, hingga akhirnya semuanya memudar.
********
            “Berhentilah tertawa!” kataku sewot.
            “Hahahaha... maaf-maaf. Hanya saja, aneh rasanya kau masih memimpikannya setelah selama ini?” katanya dengan tawa yang masih berderai. “Aku pikir kau sudah melupakan Theo! Ternyata, masih saja dia hinggap di hatimu.”
            Aku merengut, mencoba mengalihkan emosiku dengan menatap cakrawala dari jendela tempatku duduk. “Mungkin dia menyuruhku move on, ya?”
            “Heh? Apa itu pengakuan bahwa selama ini kau belum bisa melupakannya? Tapi kan kalian bahkan tidak sempat saling mengenal.” Ren bertanya dengan mimik serius, tawanya kini sudah sepenuhnya menghilang dari wajah bulatnya. “Kau hanya melihatnya dari jauh, memperhatikannya tanpa berani mendekatinya. Sedangkan dia, entahlah. Aku tidak tahu menahu mengenai pria itu.”
            “Tapi, mungkin memang aku masih belum bisa melupakannya,” jawabku menerawang, “dibilang lupa, aku juga masih mengingatnya dengan baik.”
            “Ah, iya. Memang susah melupakan cowok ganteng, apalagi yang sulit dijangkau ya?” Ren menggodaku.
            “Bukankah dia terlihat cantik dibandingkan dibilang ganteng? Lagi pula, sepertinya dia bisa dijangkau asalkan pihak yang satunya berusaha.”
            Ren menggaruk kepalannya, “dia orang yang minta dikejar ya? Tipe pangeran dalam manga jepang.”
            “Sepertinya memang begitu ya?” aku tertawa.
            “Tapi serius, kau masih belum bisa melupakannya?” Ren menatap tajam manik mataku, “setelah tujuh tahun ini?” Tambahnya dengan membelalakan matanya.
            Aku mengedikkan bahuku, terlalu lelah dengan semua perasaan yang tak kunjung hilang ini. Aku menyeruput sampai habis orange juice di gelasku dan berdiri tiba-tiba.
            “Ayok balik, kita mesti siap-siap ke kawinannya Anggie, kan?”
            Ren mengangguk, ia ikut berdiri dan berjalan di sampingku meninggalkan ampas kopi berwarna hitam di mugnya. “Kesukaanmu dengan kopi hitam belum berubah ya?”
            Ren menyerigai, “aku butuh kafein, pilihanku tinggal teh atau kopi. Dan bersyukurlah aku tidak mendapatkan asupan kafein dari rokok.”
            Aku tertawa, “aku lubangi saja paru-parumu sebelum rokok yang melakukannya.”
            Kami berdua melaju dengan sedan hitam milik Ren ke apartemen miliknya. Aku sudah dua tahun ini pindah dari kota asalku, maka ketika ada teman yang mempunyai hajat, aku menumpang di tempat Ren. Yah, lagipula dia hidup sendirian dan bebas, jadi tempatnya menjadi pilihan terbaikku.
            “Kau tahu, aku sedang berpikir,” ujar Ren di tengah perjalanan menuju kediaman Anggie.
            Aku menoleh ke arahnya sambil mengernyitkan kening melihat apa yang Ren kenakan. Di acara seperti ini bahkan pilihannya jatuh kepada jeans hitam dipadukan kemeja berwarna biru toska.
            “Oh, berhentilah menilai apa yang ku kenakan. Aku tidak akan pernah bisa berpakaian sepertimu.”
            “Apa yang salah denganku?”
            “Tidak ada, hanya saja aku tidak cocok dengan dress selutut berwarna putih.” Ren mengernyitkan dahinya, “ah, berhenti membahasnya. Yang tadi ingin ku katakan adalah,” Ren berhenti sejenak, “bagaimana jika malam ini kita bertemu lagi dengan Theo?”
            Aku membelalak, “jangan ngelantur, Ren.”
            “Jangan berbohong kalau kau sendiri tidak pernah memikirkan kemungkinan ini. Kau tahu, dengan hubungan Anggie dan teman-teman Theo, ada kemungkinan dia akan datang.”
            Aku menelan ludah dengan keras, “itu kan, cuma seandainya.”
            “Tapi seandainya yang mungkin terjadi,” cecar Ren, “kau mau melakukan apa?”
            Aku diam, mencoba berpikir. “Memangnya aku harus melakukan apa?”
            Ren tertawa, “jangan bodoh. Dengan mimpi konyolmu tentang dia, kau akan membiarkan kesempatan memulai kembali hilang begitu saja?”
            “Aku tidak bisa-“
            “Maka aku yakin suatu saat kau akan menyesali semuanya.”
            Aku membeku, “ta-tapi...”
            “Kau yang membenarkan bahwa dia tipe orang yang senang dikejar. Kenapa kau tidak mencobanya? Kalaupun gagal, setidaknya kau tidak akan menyesal telah mencobanya.”
            “Kau menyuruhku mendekatinya?”
            “Jika itu yang kesimpulan yang kau dapat, maka iya.” Ren tertawa, “lagi pula sudah saatnya kau memikirkan berkeluarga sebelum orangtuamu akhirnya menjodohkanmu dengan seseorang,” Ren masih tertawa, “berapa usiamu? 26 tahun?”
            Aku memberengut kesal, “sialan kau, seperti kau tidak begitu saja.”
            “Oh ayolah, kau dan aku berbeda. Orang tuaku tidak akan memaksaku untuk menikah, mereka membebaskanku melakukan apa saja.”
            “Orang tua yang baik.” Kataku ketus.
            Ren menyerigai dan melajukan mobilnya lebih pelan. “Nah, siapkan mentalmu karena kita mempunyai kemungkinan bertemu dengan pangeranmu, honey.”
            Aku mengernyitkan kening, “apa semua penulis selalu melebih-lebihkan sepertimu ya?”
            Ren tertawa, “mungkin. Tapi aku yakin tidak semua bankir di negeri ini takut membuat terobosan baru, bukan?”
            Aku membisu, lagi-lagi kalah telak dengan balasan dari Ren.
            Kami turun dari mobil. Untuk beberapa menit aku mematut diri di depan kaca mobil Ren sembari merapikan bagian belakang yang mungkin kusut setelah duduk. Aku membenarkan pita berwarna jingga yang melingkari pinggangku dengan manis.
            “Ku rasa sudah rapi.” Kata Ren mencemooh, “itu lah salah satu sebabnya aku malas menggunakan dress ataupun gaun.”
            “Tapi, suatu saat kau pasti akan menggunakannya. Pada hari pernikahanmu misalnya.”
            Ren berdecak, “seperti hari itu akan datang saja.”
            Aku tersenyum simpul, “siapa yang tahu?”
            Kami memasuki kediaman Anggie yang super besar. Ornamen berwarna pink sukses memenuhi ruang tamu yang telah di sulap menjadi aula yang terlihat megah. Aku terpesona melihatnya, sedangkan Ren, dengan pola pikirnya yang aneh malah berdecak kagum, “aku penasaran bagaimana Anggie bisa membujuk Genta yang mantan paskibraka dengan konsep pernikahan berwarna pink ini,” katanya jujur.
            Bagiku, pesta pernikahan Anggie malam ini seperti ajang temu kangen dengan teman-teman SMA-ku. Banyak yang dengan sengaja pulang ke kota ini untuk menghadirinya, termasuk aku.        
“Kau terlihat manis malam ini, Binar,” ucap sebuah suara di belakangku..
            “Sesil!” pekikku senang ketika melihat siapa yang menyapaku, “dan kau terlihat bahagia.” Kataku sambil melirik putri kecilnya dan suaminya yang berada di sampingnya.
            Sesil tersenyum manis padaku. Ia adalah teman lamaku saat kelas 1 SMA, walaupun tidak sedekat hubunganku dengan Renita, tapi aku tahu dia orang yang baik.
            “Berapa usianya?” kataku sambil menatap bocah perempuan yang berada di gendongan Sesil.
            “Bulan depan tepat dua tahun,” kemudian kami bercakap-cakap sebentar dan membiarkan Ren sibuk dengan teman lainnya.
            Lima belas menit kemudian, Sesil pamit dan membuatku harus mencari Ren lagi. Aku berjalan mengitari aula itu dan nihil. Tidak aku temukan sosok Ren. Aku sudah putus asa dan baru akan mengeluarkan ponselku ketika suara berat memanggil namaku.
            “Binar, kau Binar kan?” kata suara itu.
            Aku mendongak ke asal suara dan mengenalinya. Theo. Sosok di depanku adalah Theo. Orang yang sama yang berada di mimpiku.
            “Theo?” kataku refleks. “Kau tahu aku?”
            Theo tersenyum, senyum yang bahkan sama seperti yang ada di dalam mimpiku. “Ada apa? Kau terlihat bingung?”
            “A-aku...” kataku gagap. Tanpa sengaja sudut mataku menangkap bayangan Ren. Dia bersedekap melihatku dari kejauhan, seolah mengatakan apa yang harusnya aku lakukan. Aku menatap cemas ke arahnya, tapi dia malah mengalihkan pandangannya, seolah berkata bahwa ini bukan urusannya.
“Aku sedang mencari seseorang,” jawabku pada akhirnya.
            Aku melihat senyum simpul Ren sebelum Ren balik kanan dan menghambur pergi entah kemana.
            “Oh ya? Siapa yang kau cari?”
            Aku menarik napas panjang, mengumpulkan segala keberanian yang aku butuhkan. Kata-kata Ren terngiang di kepalaku. Benar, setidaknya jika aku gagal, aku tidak akan menyesal karena telah mencoba.
            “Aku mencarimu, Theo. Ada banyak hal yang ingin ku katakan padamu.”

_End

Kamis, 03 April 2014

Kupu-kupu Tak Bersayap


“Tetapi manusia hidup dengan akal budi dan kesadaran. Ketika nalar menerjemahkan waktu menjadi sesuatu yang mempunyai ruas dan buku, mempunyai tepi, dengan detik, dengan jam, dengan hari, pekan, bulan dan tahun, kita pun sadar akan awal dan akhir. Kita berpikir tentang kelahiran, usia lanjut, dan kematian.”
–Goenawan Mohamad–
¥ ¥ ¥ ¥ ¥

            “Kupu-kupu tak bersayap.” Kata lelaki bertubuh kekar itu datar. Alisnya yang tebal sekarang hampir bertaut satu sama lain karena dahinya yang membentuk kerutan tanya. Ia mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja ketika akhirnya, ia tidak mendapat tanggapan pada lelaki berwajah malaikat di depannya.
“Apa?” kata lelaki malaikat itu heran. Saat ini ia benar-benar tidak ingin menanggapi lelaki di depannya itu. Sudah cukup selama beberapa tahun ini selalu berdampingan dengannya, dan kini waktu berpisah dengan lelaki di depannya itu telah dekat.
“Kupu-kupu tak bersayap.”
“Kau bisa menyebutnya… Ulat.” Jawab lelaki malaikat itu dengan suara yang dalam, suara yang mententramkan jiwa yang mendengarnya. Tapi ia bahkan ragu apakah karunia dari Tuhan yang diberikan padanya bisa berpengaruh pada sosok di depannya.
“Hah?” untuk beberapa saat, lelaki satunya melongo dan lalu tertawa mengejek sambil jemarinya menuliskan kata itu ke dalam buku teka-teki silang yang dibawanya.
“Kau tidak bisa mentertawakan hal itu. Bagaimanapun juga, kau harus ingat bahwa roda kehidupan selalu berputar. Binatang yang kau tertawakan itu, kelak akan menjadi kupu-kupu yang cantik. Binatang yang banyak memberikan manfaat.”
“Aaaaagghht….” Teriak lelaki itu kemudian, suaranya menggelegar membuat yang mendengarnya ketakutan. Setidaknya itu yang akan terjadi jika ada manusia yang mendengarnya.
“Aku tidak memintamu untuk menceramahiku. Dan siapa kau sampai bertindak sok bijaksana seperti itu hah?!”
“Aku bukannya ingin bertindak sok bijak atau apapun, hanya saja…”
Ucapan lelaki berwajah malaikat itu terhenti ketika terdengar rintihan menyayat hati datang dari sudut ruangan. Dimana terkulai sesosok tubuh manusia dengan kondisi yang menggenaskan. Tubuhnya yang dulu atletis telah berubah menjadi kurus kering. Wajahnya yang dulu tampan, kini berubah tirus. Hanya meninggalkan goresan-goresan rasa sakit yang terlalu sering menderanya.
“Aaaaaaa… tolong… tolong aku…” rintih orang itu kemudian. Tak berapa lama datang beberapa perawat yang memeriksa kondisinya. Setelah menyuntikkan obat penghilang rasa sakit, perawat itu kemudian segera keluar dari ruangan itu. Seakan-akan enggan untuk berada di ruangan itu lebih lama.
“Waktunya sebentar lagi bukan?” lelaki malaikat itu berkata lirih, seolah sedih dengan kondisi dia yang terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.
“Itu lebih baik baginya.” Jawab lelaki yang satunya, datar.
“Aku tidak menyangka dia bisa terperosok ke jurang kenistaan begitu dalam. Aku pikir, aku tidak akan menyaksikan hal seperti ini lagi.”
Lelaki bertubuh kekar itu tertawa kemudian, “yah… siapa sangka seorang pelajar teladan pada mulanya, seorang mahasiswa dengan prestasi prestisius, dan kemudian menjadi seorang wakil rakyat heh?” ia tertawa lagi sebelum akhirnya berkata, “bisa berubah menjadi seorang mafia hukum dengan segala kebejatan yang dilakukannya.”
Dengan santai, lelaki dengan tawa menggelegar itu kembali bersandar pada kursi malasnya setelah tiba-tiba ia berdiri berbarengan dengan lelaki malaikat tatkala mendengar rintihan orang itu.
“Seperti yang kau bilang tadi, roda kehidupan selalu berputar bukan? Seperti ulat yang merupakan kupu-kupu tak bersayap kemudian menjadi kupu-kupu yang bersayap. Manusia dengan segala kelebihan yang di milikinya bisa juga kehilangan semua itu.”
“Kau benar, dan menurutmu kenapa ia seperti itu?”
Mereka terdiam sesaat, sebelum kemudian lelaki berwajah malaikat itu menjawab, “aku pernah mendengar bahwa jika kau ingin merusak sebuah bangsa, maka rusaklah kaum wanita. Karena kelak ia akan membawa anak serta suaminya menjadi rusak juga. Apakah menurutmu itu yang terjadi?”
“Kau melihatnya sendiri bukan? Orang itu…” lelaki kekar itu menunjuk pesakitan yang kini tertidur dengan wajah menahan kesakitan, “hanyalah objek yang terkena imbasnya karena apa yang dilakukan oleh wanitanya. Ckckck… dia hanya kurang beruntung.”
“Dan, dimana wanita itu?”
“Entahlah, bukankah kita tidak melihatnya sejak ia masuk di ruangan ini?”
Lelaki malaikat itu mengangguk dan kemudian merenung. Semua yang di katakan sosok di depannya memang benar. Dan walaupun ia tidak menyukai sosok di depannya itu, namun ia harus mengakui bahwa ia benar dalam setiap perkataanya.
            Tiba-tiba suasana berubah mencekam. Angin dingin berhembus dari jendela yang tertutup, mengisi seluruh kekosongan di ruangan itu. Dari ketiadaan, muncul sesosok besar dengan kedua sayap berwarna putih yang merentang di kanan dan kirinya.
Sosok besar bersayap itu kemudian melayang tepat di atas lelaki yang terbaring tak berdaya di ranjangnya. Tubuh lelaki malang itu membeku, namun roh yang menghuninya seakan hendak berontak dan ingin menjauh dari sosok besar itu.
            Kedua lelaki yang sedari tadi berada di ruangan itu ikut membeku di balik sosok besar itu. Mereka tidak bisa bergerak dari tempatnya, seolah ada magnet yang menahan mereka. Untuk kesekian kalinya, kedua lelaki itu hanya bisa menebak-nebak seperti apa sosok besar itu jika di lihat dari depan, seperti apa pemandangan dari tiap helai sayap putih yang membentang itu.
            Jeritan keputusasaan yang menyayat hati keluar dari mulut lelaki malang itu. Matanya membelalak lebar dan ia tak henti-hentinya berhenti untuk gemetar. Berkali-kali ia memohon ampun yang tidak di gubris oleh sosok itu. Dan jeritan kesakitan yang memilukan keluar bersamaan dengan keluarnya roh lelaki malang itu yang di cabut dengan paksa.
            Sedetik kemudian, sosok besar itu menghilang tiba-tiba bersama roh lelaki malang itu. Meninggalkan tubuh tak bernyawa dengan wajah kesakitan dan mata membelalak lebar. Di detik selanjutnya, para perawat dan dokter memasuki ruangan itu. Berusaha mencari tanda-tanda kehidupan pada tubuh tak bernyawa yang membuahkan kesia-siaan. Lelaki itu telah mati.
            Kedua lelaki yang tadi ikut membeku kembali ke keadaan yang semula tatkala sosok besar bersayap itu hilang. Dengan wajah prihatin kedua sosok itu lalu berjabat tangan.
“Ku harap, lain kali aku akan melihat senyum ketika sosok bersayap itu datang menjemput manusia yang lainnya.”
Lelaki kekar itu terkekeh, “Kau pikir hanya kau saja yang menginginkan begitu? Walaupun sifatku adalah lawan dari sifatmu. Aku masih saja merasa benci ketika misiku berhasil mengalahkan misimu.”
“Yah, mungkin lain kali kau bisa bekerja sebagai sisi yang baik.”
Mereka berdua tersenyum. Menampakkan wajah serupa, bak pinang di belah dua. Kemudian secara perlahan-lahan angin hangat berhembus dari pintu yang terbuka. Menerpa kedua lelaki itu dan membawa serta kedua sosok itu menyatu dengan angin. Terasa, namun tak terlihat.


Rabu, 04 Sept’13 10:42 WIB

Senin, 24 Maret 2014

Ruang Kosong


Ketika berada di bangku sekolah dasar, telah diajarkan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain, dan dibutuhkan orang lain. Tak peduli sekaya apapun dirimu hingga mampu membeli robot-robot untuk sekedar melayanimu, tak peduli sekuat apa dirimu untuk bisa menghadapi binatang paling buas sekalipun, ataupun tak peduli seberapa apatisnya dirimu hingga yang hanya kau pedulikan adalah dirimu sendiri. Yang jelas adalah, bahwa manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang harus saling bahu membahu dalam segala hal.
            Aku merasa ada yang salah untuk beberapa hal, yang aku sendiri belum mengerti apa itu, -mungkin aku tahu, hanya saja selalu berusaha untuk tidak merasakannya agar tidak mengendap di cairan kelabu di dalam tempurung kepalaku-. Disaat inilah, kemampuan untuk bersifat Apatis akhirnya dipilih, dan berlari sejauh-jauhnya akan menjadi pilihan akhir ketika tahap sebagai pecundang mulai dirasakan. Ketika eksistensi sebagai bagian dari sesuatu tidak terlalu dirasa, maka diri mulai goyah dan tidak yakin dengan apa yang dilakukannya... Menyedihkan...
            Aku menggulum senyum, berusaha mencerna detak ditiap roda kehidupan yang telah membawaku ke tempat ini. Mencari dan terus saja mencari segala hal yang mungkin bisa kuperbaiki. Apa yang salah?
            Aku manusia, mahluk dengan kulit ari yang tipis, mahluk dengan 80% komposisi tubuh terbuat dari air. Dan aku sebagai diriku, manusia yang mempunyai wujud, tapi merasa tak mempunyai eksistensi yang nyata. Semua kegiatan yang menguras waktu dan tenagaku telah kugunakan, namun hal itu belum juga membuatku mempunyai eksistensi di tempat itu, dan yang ada hanyalah ruangan kosong yang tak pernah tersentuh kehangatan.
            Ketika kau melihat binatang dengan pandangan ingin membunuh, maka binatang itu akan memperlihatkan sisi liarnya. Namun ketika kau melihatnya dengan cinta kasih, maka binatang terbuas pun akan menjadi jinak hingga bersedia menjilati kakimu. Aaah, mungkin apa yang kita hadapi adalah bentuk refleksi dari diri kita sebenarnya.
            “Mereka terlalu sibuk dengan dunianya masing-masing, mereka adalah sekumpulan mahluk egois yang sedikitpun tak mau melirik keadaan manusia lemah lainnya...” desisku tajam.
            “Astaga! Begitukah kau menganggap mereka, Ami?”
            Aku tertawa dengan suara sumbang, mata Mira kian membulat ketika ia mendengar kalimat kejam yang kulontarkan pagi ini. Itu adalah kalimat pertamaku di pagi ini, dan aku bahkan telah menciptakan atmosfer paling buruk untuk pagi yang cerah ini. Mungkin itu salah satu sebabnya keberadaanku diambang antara ada dan tiada.
            “Ami, setidaknya kau harus memikirkan ada saat-saat menyenangkan bersama mereka bukan? Kau tidak boleh begitu saja merasa mereka seperti itu hanya untuk beberapa hal kecil yang menyinggungmu.”
            “Yeah, beberapa hal kecil. Jika ternyata apa-apa yang kau lakukan tidak mereka hargai, maka biar itu menjadi hal-hal kecil.” Aku membantah ucapan Mira dengan desisan tajam yang sama, Mira mendengarnya dan kemudian termenung untuk beberapa saat.
            Mira sahabatku, mungkin dialah satu-satunya manusia di tempat ini yang mengakui adanya aku. Namun dengan kelakuan anehku akhir-akhir ini, jika dia memilih untuk pergi meninggalkanku, aku akan rela, dengan hujatan yang sama tentunya. Aku menyerigai membiarkan imaji liarku melakukan hal itu, bahkan aku merasa aku lebih busuk dibanding koreng yang telah membusuk dan bernanah sekalipun.
            “Oooh, Ami...” ucap Mira lirih. Tubuhnya yang kecil lalu mendatangiku dan ia memelukku dengan parasaan melindungi yang ku kenal baik. “Ami, jika kau merasa seperti itu, seharusnya kau mengatakannya pada mereka...”
            “Hanya untuk membuatku tampak semakin menyedihkan?” tanyaku dengan nada sarkastis, namun aku masih saja membiarkan tubuh dengan jiwa yang dingin ini berada dalam perlindungan Mira.
            “Tentu bukan itu yang aku maksudkan...” ucapnya ketika aku sudah melepaskan pelukannya, dengan matanya yang berwarna cokelat hangat ia menatapku.
            “Tapi aku benar ketika aku mengatakan bahwa aku adalah orang yang menyedihkan. Kau tidak bisa membantah itu.”
            Pandangan Mira menyiratkan rasa iba kepadaku, bukan, bukan pandangan itu yang ingin aku peroleh darinya. Aku hanya ingin dimengerti, aku hanya ingin di akui, dan aku hanya ingin merasa bahwa keberadaan diriku ada seutuhnya.
            Aku menggelengan kepalaku dan tanpa sadar berjalan mundur untuk menjauhi Mira. Aku menatap nanar kepadanya dan Mirapun melakukan hal yang sama padaku. Ketika aku menjauh dari dirinya dia pun menjauhiku.
Aku tertawa, betapa sangat menyedihkan diriku ini. Bahkan satu-satunya sahabat terbaikku adalah potret diriku sendiri, dan sekarang ia bahkan menjauh dariku. Kepercayaan diri atas eksistensi diriku seluruhnya kini meluruh, meninggalkan raga tak berarti yang tak lagi dipandang.
Angin dengan deru yang ganas mulai menerpa tubuhku, tiga puluh menit yang lalu aku masih memiliki Mira, dan sekarang aku tidak memiliki siapa-siapa lagi yang menganggap diriku ada. Kerapuhan jiwa telah menjerumuskanku untuk mengakhiri kegetiran yang kurasakan, dan tanpa kusadari aku telah berdiri ditepi antara kehidupan yang menyesakkan, ataukan kematian yang menawarkan kegelapan.
Aku berdiri di atap bangunan dengan 30 tingkatan yang membentuk rumah-rumah singgah bagi pemiliknya, atau penyewanya. Aku berjalan ketepian dan bisa kulihat jalanan kota Jakarta yang tidak pernah sepi dilalui oleh berbagai macam kendaraan. Kakiku menanjak dinding pengaman yang hanya mempunyai tinggi satu meter, dan dari saja aku bisa merasakan malaikat maut sedang menatapku seolah enggan dengan apa yang akan kulakukan.
Namun, aku merasa hal inilah yang tepat kulakukan. Lagipula, kematianku tidaklah terlalu berpengaruh bagi orang lain, bukankah ragaku seolah berada diantara ada dan ketiadaan? Bahkan aku sangsi akan ada yang berduka jika aku mati nanti.
Maka kurentangkan tanganku, merasakan angin yang berhembus ganas menerpa tubuhku. Mungkin rasanya seperti terbang ketika aku melompat dari atas ini menuju kegelapan itu.
Aku sudah siap.
Aku tersenyum untuk kali terakhir dan baru saja akan terjun ketika sebuah tangan menarikku hingga akhirnya aku terjatuh ke arah yang berlawanan. Sebuah benda padat menjadi bantalanku sehingga tubuhku tidak mengenai lantai di atap gedung ini.
Sesaat aku terpaku dan kemudian barulah aku sadar ketika suara nafas seseorang yang seperti telah berlari berkilo-kilo meter terdengar dari bawahku.
“Amira... kau tidak apa-apa?”
Sosok itu bangun, dan sekarang duduk di depanku yang juga sedang terpaku memandangnya. Ia tersenyum padaku dan mengatakan hal yang sama, “Amira... kau tidak apa-apa? Maafkan aku karena aku datang terlambat.”
Aku tertegun ketika namaku ia sebutkan, bukan hanya sekali tapi dua kali. Bukankah itu bukti bahwa keberadaan diriku, eksistensi diriku tidak sepenuhnya menghilang?
Pandanganku kabur, dan sedetik kemudian aku mulai menangis sejadi-jadinya, membiarkan seluruh butiran-butiran air mata itu turun dari mataku.