Kamis, 12 Desember 2013

Titik Balik

            Aku masih terpaku sembari menatap pigura-pigura yang tersusun rapi di tembok-tembok galeri pribadiku. Tak sedikit potret dari sosoknya yang selalu kucinta –setidaknya itulah anggapanku- berjajar rapi didepanku. Disatu sisi, kulihat potret dirinya yang sedang tersenyum sambil menatap ratusan atau bahkan lebih bunga dandelion yang terhampar luas di depannya. Dipigura lain ada potretnya ketika ia sedang ngambek karena janji kami dibatalkan, kami berencana ke bukit savana dimana kami dapat melihat ilalang yang tumbuh subur bahkan terkesan liar. Aku tersenyum satir ketika mengingat hal itu. Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya dia tidak marah lagi padaku.
            Ada juga potret ketika ia sedang tertawa dengan riangnya, ia sedang bermain dengan anak-anak tetangga dekat galeriku. Di potret itu ia tampak begitu bahagia, polos, dan naif. Dan sejujurnya, memang begitulah sosoknya dimataku.
            Aku tersentak ketika mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arahku, langkah kaki yang sudah ku hafal. Adrian, teman baikku sekaligus asisten fotograferku.
            Gue tahu lo bakalan ada disini.” Katanya dengan suara baritonnya yang khas.
            “Ada masalah apa?” tanyaku to the point, merasa terganggu sekaligus terselamatkan karena dia datang diwaktu yang tepat sebelum aku terlalu dalam terhanyut dalam dunia di dalam pigura yang kubuat sendiri.
            Adrian tidak menjawab, sebaliknya dia penepuk bahuku dan mengambil tempat duduk dengan menggeser salah satu kursi yang sebelumnya berada cukup jauh dariku, kini ia sudah berada dihadapanku.
            “Ini menyangkut Renata, bukan?”
            Menyebut nama sosok dalam pigura itu disebut, langsung memprofokasi terjadinya reaksi kimia di tubuhku yang kemudian berpengaruh pada bagian-bagian tubuhku yang lain. Rasa nyerilah yang terasa di ulu hati ini.
            Lo jadi pendiem setelah hangout bareng dia malam minggu kemarin. Lo putus sama dia?”
            Aku masih tidak menjawab, masih membiarkan Adrian untuk berspekulasi dengan hal-hal yang mungkin terjadi diantar aku dan Renata.
            “Apa lo udah bosen sama dia?” pancing Adrian selanjutnya.
            Aku masih tidak bergeming dan hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Aku bangkit dari posisiku dan kemudian bergegas keluar dari galeri, menghindar dari segala ucapan-ucapan Adrian yang aku tahu akan segera mendekati kebenaran dan kembali menguak hal-hal yang sedang tidak ingin kubicarakan.
            Aku masih mengalungi kameraku dan kemudian mengambil ranselku dan barang-barang praktis lainnya sebelum akhirnya melaju dengan sepeda motor berwarna merah. Hari menjelang senja, dan akan sangat bagus jika aku bisa sampai di tempat dimana aku bisa menenangkan pikiran dan hatiku sebelum matahari tenggelam. Maka ku-gas sepeda motor itu sampai batas yang bisa kutolerir dan menuju tempat itu sesegera mungkin.
            Aku sampai sesuai dengan harapanku. Masih lebih kurang 15 menit lagi sebelum matahari tenggelam di ufuk barat. Langit kini sudah berubah menjadi kemerahan akibat kejadian alam yang berlangsung tak lama lagi.
            Aku duduk di ujung bukit dengan pemandangan yang langsung menghadap lautan lepas. Dari sini aku bisa melihat dengan angel yang sempurna peristiwa alam yang setiap hari berlangsung itu. Selain itu au juga bisa melihat burung laut yang berbondong-bondong pulang ke sarangnya, dan juga aku bisa mendengar suara ombak serta merasakan bau air asin yang tercipta secara alami.
            Aku berdiam diri disana, tanpa teman. Melihat matahari yang secara perlahan seperti tertelan oleh lautan, padahal aku tahu bahwa esok hari kala aku menatap ke arah timur aku akan menjumpainya lagi. Mungkin senja adalah titik balik dimana secara perlahan-lahan matahari mulai mengekang dirinya dan menggantikannya dengan cahaya bulan yang lembut sebelum kembali lagi untuk memancarkan kehangatannya kepada dunia ini.
            Titik balik. Jika keadaanku sama saja dengan titik balik matahari, maka aku akan sangat menyukuri itu. Setidaknya aku bisa mengatakan untuk berhenti bertemu selama beberapa saat dan kemudian aku akan menemuinya lagi dengan penuh kerinduan dan kembali berada di titik dimana keadaan kami saling merindu.
            Tapi masa-masa itu tidak ada lagi. Seberapa lamanya kami berpisah, rasa rindu itu tidak akan pernah datang lagi. Seberapa jauhnya kami berpisah, kami tidak akan saling kehilangan. Karena apa? Hubungan kami bukan berada di titik balik, melainkan titik buta dimana kami tidak lagi saling mengetahui perasaan kami masing-masing.
            Mungkin benar apa yang Renata katakan padaku bahwa rasa cintanya tidak ada lagi untukku. Begitupun sebaliknya. Semuanya sudah berakhir. BERAKHIR.
________________
            Sore itu, aku dengan perasaan yang sudah tidak karuan akhirnya bersedia memenuhi ajakan Renata untuk bertemu dengannya di salah satu tepi telaga yang biasa kami datangi. Disana selalu ramai baik pagi hari, siang, maupun malam, namun kami tetap bisa menemukan tempat yang ideal jika kami ingin membicarakan sesuatu yang penting.
            Maka dengan setengah hati, aku melajukan sepeda motorku dan satu jam setelahnya kami bertemu di sana.
            Hari itu, Renata mengenakan terusan selutu berwarna baby green dengan rambut hitamnya yang ia biarkkan tergerai. Angin sore mempermainkan helai-helai rambutnya, namun begitu ia masih saja terlihat cantik, bahkan lebih cantik. Hanya saja, seperti ada yang kurang ketika aku menatapnya. Tidak ada satu hal itu, tidak ada getaran aneh ketika aku menatapnya, jantungku pun baik-baik saja ketika kemudian Renata tersenyum menyambutku.
            “Abang, kau datang...” katanya lembut.
            Aku hanya bisa tersenyum membalas ucapannya, kemudian aku menggandeng tangannya dan menuntunnya untuk duduk di bawah sebuah pohon flamboyan yang sudah lumayan tua jika melihat dari seberapa besar batang pohon itu.
            “Bagaimana kabarmu?” tanyaku memulai percakapan.
            “Baik. Dan Abang sendiri?”
            Aku tersenyum mendengar jawabannya, kami benar-benar sudah tidak bisa tertolong lagi. “Abang tidak tahu bagaimana harus menjawabmu. Kau tahu abang tidak bisa berbohong, apalagi kepadamu.” Pandanganku yang semula menatapnya kini aku alihkan ke telaga yang ada di depanku. Hari masih sore dan suasana di sini benar-benar nyaman. Beberapa angsa berenang di tengah telaga dan di tepi-tepi telaga banyak tanaman air dengan bunga-bunga yang bermekaran menghiasinya.
            “Karena itu, jangan berbohong abang...”
            Aah, Renata. Kau masih saja dengan jawaban naifmu, seperti kau yang dulu. Kau memang tidak pernah berubah dan kenaifanmulah yang membuatku terpesona, tapi kenapa sekarang aku bahkan tidak mendapatkan rasa itu kembali. Aku tersenyum getir sembari manatap segerombolan Angsa yang masih saja tenag di tengah telaga itu. Aku tersenyum karena kebodohanku sendiri, dan kurasa aku memang benar-benar manusia yang bodoh.
            “Abang...” katanya kemudian melihatku tidak menjawab, Renata lalu menyetuh tanganku dan membawanya untuk kemudian ia genggam. Tatpan kami slaing bertemu dan saling mengunci satu sama lain, namun tidak ada getaran-getaran itu. Tidak ada sama sekali.
            “Katakan apa yang harus kau katakan, dan aku pun akan melakukannya abang...”
            Aku terdiam cukup lama sembari masih menatap mata hitam di depanku. Sudah siapkah aku melepas semuanya? Sudah siapkah aku mengakhiri semuanya?
            Renata tersenyum padaku, berusaha menguatkanku. Aku rasa ia bahkan sudah mengetahui semuanya, hanya saja ia begitu baik hingga membiarkan aku mengatakannya sebelum keadaan bertembah runyam.
            “Ini mengenai hubungan kita, bukan?”
            Aku mengangguk ketika lagi-lagi Renata lah yang berbicara.
            “Ada yang mau kau katakan mengenai hal itu?”
            Aku menarik nafas panjang. Berusaha menguatkan diriku. Aku tahu, semakin lama kami mengakhirinya maka hanya ada kesedihan yang akan kami dapatkan. Mengikat Renata dalam sebuah hubungan yang tidak mempunyai esensi yang jelas kenapa kami harus melakukannya adalah hal yang salah. Tidak seharusnya aku mengukungnya seperti ini, dan sudah seharusnya aku membiarkannya pergi, terbang dengan sayap tak kasat mata yang akan membawanya ke macam-macam dunia yang berbeda. Dunia yang lebih luas dan mungkin lebih indah daripada dunia kecilku.
            “Renata... maafkan aku. Aku tak lagi mencintaimu.” Kataku pada akhirnya.
            Aku bisa merasakan ketika tangan lembut yang menyelubungi tanganku menjadi kaku untuk beberapa saat. Namun kemudian, tangan itu kembali melembut.
            Renata lalu melepas genggamannya dan ikut menatap telaga di depannya. Kami membisu untuk waktu yang lama dan begitulah, tak ada yang bisa kami katakan. Seluruh kenyataan sudah jelas dengan kalimat itu.
            Aku bisa mendengar ketika Renata menari nafas panjang, sebelum ia berkata, “aku senang kau mengatakannya. Setidaknya itulah yang juga kurasakan padamu abang.” Renata berhenti sejenak, “kita benar-benar tidak tertolong lagi bukan? Selalu memaksa tersenyum ketika kita bersama, padahal berapa lama kita sudah mempunyai chemistry itu? Satu bulankah? Dua bulan? Atau bahkan berbulan-bulan yang lalu?”
            Aku tidak menjawab, hanya mampu menunduk.
            “Aku terlalu lama mengurungmu dalam hubungan ini, maafkan aku.”
            “Tidak abang, tidak ada yang harus dimaafkan. Aku tidak pernah menyesal bersamamu selama ini. Jadi, tidak sepentasnya kau meminta maaf abang...”
            Aku masih menunduk, dan ketika aku mengangkap kepalaku untuk menatapnya, Renata malah memberiku senyumannya. Senyumannya yang kemudian ikut membuatku tersenyum padanya.
            “Renata, terimakasih.” Kataku pada akhirnya dan itulah pembicaraan terakhir kami di senja itu.
________________
            Aku menghela nafas panjang ketika detik-detik terbenamnya matahari sudah berakhir. Matahari maupun jejak-jejak merah yang telah ia timbulkan sudah tidak ada lagi. Begitupun kekalutan yang melandaku beberapa saat yang lalu. Semuanya telah berakhir dan seharusnya aku harus lebih kuat. Bahkan, aku harus senang. Bukankah ini merupakan awal baru untukku dan juga untuk Renata?
            Aku tersenyum seraya bangkit dan menatap ke arah terbenamnya matahari itu. Bulan purnama muncul dan menggantikan posisi bola bulat panas yang berpijar itu. Sudah waktunya aku pulang, dan sudah waktunya memuaskan rasa keingintahuan Adrian tadi.


Surakarta,
8:33 PM, 12-12-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar