Minggu, 06 Oktober 2013

Gadis Berpayung Merah

Aku menyalakan mesin Espresso yang terletak di pojok dapur, dan mencoba terlelap di sudut sofa yang tak jauh darinya. Mencoba menikmati dimana aku bisa mendengar suara rintik hujan di luar sana dan dengungan halus dari mesin Espresso miliku sendiri.
@@@

                Hujan turun sejak pagi tadi, membuat udara kota Bogor yang  semula sejuk menjadi semakin dingin. Aku yang notabene hanya seorang mahasiswa asal daerah pesisir pantai, jadi di buat repot olehnya. Kalau harus memilih, aku lebih suka berada di udara terik seperti pesisir pantai. Andai bundaku tak meminta aku untuk merantau kemari, saat ini aku pasti sedang asik berlayar di pantai ku sekedar untuk menghabiskan waktu ataupun mencari ikan untuk sesuap nasi.
                Saat itu Bunda di ajak oleh paman berjalan-jalan keliling Jakarta. Selepas berkeliling Jakarta, paman mengajak Bunda ke Bogor untuk menemui calon istrinya yang ternyata seorang gadis asli Bogor. Saat itulah, bunda untuk pertama kalinya menginjakan kakinya di daerah sejuk ini. Bunda begitu terpukau karena dari beliau lahir sampai saat itu, baru pertama kalinya bunda pergi ke daerah berhawa sejuk. Dan akhirnya, ia jadi berambisi untuk mendaratkan salah satu anaknya di Bogor. Sepulang dari Bogor, Bunda begitu menggebu-gebu menceritakan perihal Bogor, dan saat itu aku yang sedang menuntut ilmu di bangku sekolah kejuruan kelas 3-pun menjadi harapan agar bisa meneruskan pendidikanku ke sana. Padahal dua kakak ku yang lain tidak begitu. Kakak pertama ku saat lulus sekolah dia langsung bekerja sebagai nelayan bersama Ayah, dan kakak ke-dua memang meneruskan pendidikannya, tapi di universitas yang dekat dengan rumah. Itupun Universitas swasta. Saat itu aku hanya menelan ludah ketika Bunda mendikte bahwa ia ingin aku bisa kuliah di Bogor. Di IPB, Institute Pertanian Bogor.
                Dan disinilah aku sekarang. Menggigil menahan udara dingin yang terus-terusan menusuk sampai ke tulang belulang ku. Aku merapatkan mantel terluar berwarna putih ke tubuhku yang tidak begitu gemuk, tapi juga tidak begitu kurus. Mantel ini adalah pakaian lapis ketiga yang kukenakan. Sebelumnya aku memakai kaus dan sebuah sweater, tapi tetap saja merasa kedinginan. Aku memandang langit sore yang masih terguyur hujan dari etalase sebuah coffee shop, tempat favoritku sejak pertama kalinya aku menginjakan kakiku di sini.
Aku ingat betul saat pertama kali temanku mengajakku ke sini. Kala itu hari tidak hujan seperti sekarang, tapi tetap saja aku merasa dingin. Ia membawaku kemari dan saat aku melangkahkan kaki pertamaku memasuki pintu kaca itu, aku disambut oleh semerbak harum kopi yang nikmat. Mataku langsung terjaga dan pandanganku tak lepas mengagumi interior dari tempat ini. Dinding berwarna cokelat muda berpadu dengan cokelat tua yang menjadikan suasana tempat ini begitu hangat dan menakjubkan.
                Untuk kesekian kalinya lonceng penanda pelanggan datang di kumandangkan. Dan untuk kesekian kalinya pula kepalaku dengan otomatis menengok ke arah datangnya suara di depan pintu masuk. Bukan tanpa alasan hari ini aku masih saja berada di dalam Cofee Shop ini dalam keadaan menggigil. Jika tidak ada alasan yang benar, aku lebih memilih pulang ke kontrakan yang aku sewa dengan beberapa teman yang lain dan melindungi diri dari udara dingin ini. Lonceng kembali berbunyi, kali ini tampak sepasang sejoli bergandengan mesra memasuki Cofee Shop ini. Aku segera mengalihkan pandanganku, berusaha tidak melihat hal itu. Aku memang bukan seorang anak pesantren, tapi untuk hal semacam itu aku benar-benar tidak suka melihatnya, tidak apa-apa jika mereka sudah menikah. Tapi kebanyakan malah belum mengikat janji di depan Tuhan, apa itu perbuatan yang baik? Aku menghembuskan nafas panjang.
                Suara musik dari coffee shop ini dengan setia menemaniku menunggu kedatangannya. Sebentar lagi pukul 6 sore, dan dengan begitu berarti aku sudah menuggunya selama 4 jam. Aku mulai frustasi dan bersiap-siap untuk pulang. Aku menyimpan lembar tugas yang tadi ku kerjakan kala menunggunya, dan segera kumatikan laptop ku dan kumasukan ke dalam tas yang anti air. Ini laptop pinjaman dari teman satu kontrakanku, jadi jika terjadi sesuatu terhadap laptop ini aku harus bertanggung jawab.
                Aku melambaikan tanganku dan dengan segera, seorang waitress wanita berumur hampir sebaya denganku mendatangiku dan menyerahkan struk yang berisi beberapa digit angka. Aku membayar dan mengucapkan terima kasih seraya melangkahkan kakiku untuk pulang. Sebelumnya mataku sempat melirik ke arah pasangan tadi yang kini sedang bersitegang, harusnya aku menonton saat-saat ini. Bibirku tertarik ke belakang dan menyunggingkan senyum saat melihat adegan itu, pasti akan sangat mengasyikan.
                Aku kembali menggigil ketika tengah berada di luar coffee shop, dengan segera ku ambil payung berwarna cokelat yang ku bawa dan segera membukannya. Dengan hati-hati aku mulai melangkahkan kaki pertamaku, jangan sampai aku terpeleset atau jatuh, karena sekarang saja badanku sudah seperti mau pecah. Aku baru melangkahkan kaki pertamaku ketika dia yang ku tunggu datang dan memberikan senyum indahnya padaku. Saat itu seperti malam yang di sinari oleh cahaya bulan, atau seperti matahari yang kau lihat ketika kau berada di kutub utara, atau bahkan sepeti kau melihat oase di gurun pasir yang panas, melanda perasaanku. Aku merasa sangat senang dan bahkan jika tidak ingat bahwa aku sedang berada di tempat umum, aku mungkin sudah melonjak karena senangnya. Dia dengan tergesa berlari kearahku dan mengucapkan salam padaku, Ya Tuhan, lagi-lagi ia menampakan senyum indahnya padaku. Aku dengan tergagap menjawab salamnya, well sebenarnya tergagap seperti ini bukan gayaku, hanya saja aku terlalu terpesona oleh senyum indahnya.
“Maaf, kau sudah lama menungguku ya?” suara indahnya keluar di sela-sela hujan yang sekarang telah menjadi rintik-rinrik kecil gerimis. Ya, aku sudah berapa lama menunggunya? 1 jam? 2 jam? 3 jam? 4 jam? Ya, 4 jam, aku sudah menunggunya selama 4 jam dan sudah hampir mati bosan di buatnya. Seharusnya aku marah padanya, tapi kenapa saat aku melihatnya bahkan lidahku kelu untuk menjawab pertanyaannya? Bahkan untuk marah padanya terasa sangat sulit sekali. Bahkan dalam pikiranku aku lebih memilih untuk mengerjakan soal-soal turunan aljabar sebanyak 100 lembar di banding untuk memarahinya.
“Kau marah padaku?” dia bertanya lagi, mungkin karena tidak ada jawaban dariku. Dalam hati aku memberontak, apakah dia tidak tahu? Bahwa, sekalipun aku memarahinya, toh aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa marah padamu.
Aku menarik nafas pelan, mencoba menjerihkan pikiranku. Apa yang dia lakukan sampai-sampai membuat Rega Ardi Putra menjadi linglung seperti ini?.
Aku tersenyum padanya, mencoba bersikap netral. “mungkin aku yang datang terlalu cepat…” kataku pada akhirnya, apa hanya itu yang bisa ku katakan?
“Ayo masuk ke dalam, aku akan mentraktirmu kopi hangat.”
Aku menggeleng, “tidak terima kasih, aku sudah hampir mati kembung karena kebanyakan minum kopi, aku akan pulang saja, dan…” aku mengambil bungkusan panjang yang aku bawa sejak pagi dan menyerahkannya pada gadis itu, gadis perpayung merah dengan mata cokelat hangat, senada dengan warna kopi hangat kesukaanku, “terima kasih atas bantuanmu kemarin lusa…” aku tersenyum padanya, mengingat bagimana payung berwarna merah ini bisa menyelamatkanku dari serangan hujan yang melandaku kemarin lusa, sebenarnya aku tidak masalah jika harus kehujanan, tapi akan menjadi masalah jika maket taman yang telah ku kerjakan selama sebulan ini hancur karena hujan itu.
“Jadi sekarang kau mau pulang?”
Aku mengangguk, “hari sudah menjelang malam, dan kurasa aku harus segera mengembalikan barang yang ku pinjam dari temanku.” Ya, tadi pemilik laptop berpesan agar aku tidak sampai malam meminjamnya, dia juga punya tugas yang harus ia selesaikan. “Kau juga sebaiknya lekas pulang.”
“Kemana?”
“Ke rumahmu tentu saja, atau mungkin ke kost mu? Atau ke kontrakanmu?” tanyaku mulai tak paham. Aku tidak tahu asal usul gadis di depanku ini, apakah dia seorang mahasiswi, atau penduduk asli Bogor.
“Rumah?” dengungnya pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya, “bukankah rumah itu tempat dimana ada seseorang yang menunggumu untuk kembali?”
Aku tambah tak mengerti, “Ya, ku rasa benar…”
“Kalau begitu aku tidak punya rumah yang seperti itu, ah,,, aku akan masuk dan memesan beberapa kopi hangat untuk ku bawa pulang. Kau bisa pulang duluan.”
“Lalu, kemana kau akan pulang?”
“Entahlah…” dia mengangkat bahunya dan tersenyum kecut. Dia membalikan badannya dan memasuki coffee shop itu. Aku mulai ragu untuk meninggalkannya sendirian, apa lagi daerah ini sangat sepi saat malam, aku tidak akan tega meninggalkannya sendirian di tempat ini. Aku kemudian mengikutinya dan ia tersenyum lebar saat melihatku berada di belakangnya.
“Aku tahu kau orang yang baik…” katanya lirih.
Aku mengabari temanku bahwa aku akan pulang setelah menyelasaikan urusanku di sini, dan meminta maaf karena mungkin pulang sedikit malam. Aku kan masih memegang laptopnya.
                Kami mengobrol agak lama, dan gadis di depanku, gadis yang ku juluki gadis berpayung merah ternyata bernama Mentari. Dia lebih muda setahun dariku dan kini sedang cuti selama setahun. Dia sendiri kebingungan untuk memilih jurusan apa atau dimana ia akan meneruskan pendidikannya. Dia orang yang ceria, dan selalu saja mempunyai topik untuk di bicarakan jika sebuah topik selesai di bicarakan. Tepat pukul 8 malam, kami menyudahi pembicaraan kami. Hujan sudah berhenti tapi udara masih saja dingin menusuk sampai ke tulang. Badanku menggiggil ngilu, dan Mentari yang tengah di sampingku berusaha menahan senyumnya. Ia orang asli sini, jadi pasti telah terbiasa dengan hawa dingin ini. Kami berjalan beriringan dan aku mengantarkannya di persimpangan yang ia bilang dekat dengan rumahnya. Walaupun aku memaksa akan mengantarkannya sampai ke depan rumahnya, tapi ia menolak dengan halus. Jadi di sanalah aku bisa mengantarkannya.
                Setelah pertemuan itu kami jadi sering bertemu. Dalam satu pekan, bisa saja kami frekuensi pertemuan kami sebanyak 3 sampai 5 kali. Dan pertemuan kami selalu di tempat yang sama, Cofee Shop tempat pertama kali kami bertemu. Teman-teman yang lain bahkan mengatakan bahwa Mentari adalah gadis berpayung merah-nya Rega. Hal ini benar-benar menggelitik perasaanku ku, tapi tidak bisa di pungkiri bahwa hal itu ada benarnya juga. Pernah suatu ketika saat aku tidak datang ke Cofee Shop karena tugas mendadak dari dosen. Temanku berinisiatif untuk mengambil tempatku dan berharap bertemu dengan Mentari. Tapi sampai malam menjelang, dia tidak kunjung datang. Mungkin dia seperti magnet yang hanya bisa melekat saat bertemu dengan pasangan yang sesuai.
                Aku baru menyelesaikan tegukan terakhirku ketika Mentari mengajak untuk pulang. padahal di luar gerimis mulai turun dan di antara kami hanya dia yang membawa payung, tentu saja dengan payung merah miliknya.
“Hujan…” kataku sambil merapatkan mantel cokelat yang baru ku beli kemarin lusa. “Kau yakin mau pulang sekarang?”
Mentari mengangguk dan bisa ku lihat matanya yang cokelat berpendar indah seperti bintang timur di langit sana. “Ayo kita main di bawah hujan ini!” katanya ceria.
Tanpa menunggu komentar dariku, ia menerobos hujan dan berlari berputar-putar di bawah hujan itu. Tak berapa lama ia menarik tubuhku yang masih kering karena masih berada di naungan atap Cofee Shop. Dengan segera, ratusan tetes air hujan membasahiku dan membuat semua bagian tubuhku yang semula kering menjadi basah sejadi-jadinya. Mentari menarikku sehingga kami berlari bersama menerobos hujan yang semakin lama semakin deras. Kami baru berhenti berlari ketika telah sampai di persimpangan yang hendak menuju rumah Mentari.
“Kau tidak akan melupakan ini bukan?” katanya padaku.
“Hujan-hujanan seperti ini? Ku rasa aku bahkan tidak bisa melupakannya hingga ke akhirat nanti…” candaku.
“Kalau begitu kau pasti tidak akan melupakanku bukan?”
“Bisa ya, dan bisa juga tidak…” tawaku berderai.
“Tapi aku tahu kau tidak akan melupakanku…” lagi-lagi, dia menampakan senyum indahnya padaku. Dan berlalu pergi meninggalkanku yang pasih terpaku di bawah hujan ini.
@@@
                Hari ini Bunda, Ayah, dan kedua kakakku datang ke Bogor untuk melihat acara wisudaku. Tak terasa sudah 4 tahun aku menuntut ilmu di Bogor. Selama di sini aku banyak mengalami berbagai hal yang membuatku menghargai setiap moment berharga yang aku habiskan dengan orang-orang yang ku sayangi.
                Hari ini langit sangat cerah, saat yang tepat untuk menyelenggarakan acara wisuda di tempat terbuka. Pikiranku menerawang ke langit biru yang terbentang di atasku. Setelah hujan kala itu, aku tidak lagi bertemu dengan Mentari. Dia menghilang begitu saja, dan bagaimanapun kerasnya aku mencari ke setiap rumah di persimpangan jalan itu, aku tetap tidak bisa menemuinya. Hingga kemarin lusa, datang seseorang yang mengaku kenalan dari Mentari datang menemuiku di Cofee Shop. Ia bercerita bahwa hidup Mentari tidaklah seindah senyumnya. Ia adalah anak dari hubungan gelap seorang pejabat ternama di Ibu Kota. Ibunya sendiri bahkan tidak mengharapkan kelahiran Mentari karena ia di anggap hanya akan menjadi masalah baginya dan bagi pejabat itu. Walaupun dari kecil ia hidup berkecukupan dan di barengi dengan kekayaan yang melimpah, tapi dia sama sekali tidak mengenal apa itu kasih sayang dari orang tua. Hanya neneknya yang merawatnya dengan penuh cinta kasih, bahkan neneknya yang memberikan nama untuknya. Tapi umur neneknya tidak sepanjang yang Mentari kira, Neneknya meninggal kala Mentari memasuki bangku sekolah menengah pertama. Dan sejak saat itu ia benar-benar seperti seorang yatim piatu. Ibunya sendiri, meskipun berada di atap yang sama dengan Mentari, tak pernah menyapanya atau menilik keadaannya dan bahkan tidak pernah  menanyakan kabarnya. Aku mulai paham dengan pengertian ‘rumah’ yang ia katakan kala itu.
                Aku lalu menanyakan kemana kiranya kepergian Mentari selama ini, tapi orang itu tidak bergeming sedikitpun. Ia juga tidak tahu kemana Mentari pergi. Tapi yang ia tahu, Mentari pergi meninggalkan rumah dengan senyum indahnya. Bukankah itu berarti suatu penanda yang baik? Aku kembali tersadar ketika tubuh kecil Bunda memeluku erat. Bunda menangis haru saat melihatku di wisuda. Dan ia mengatakan terima kasih karena aku sudah mau menuruti kemauannya yang ia tahu bahwa sangat berat bagiku untuk meninggalkan laut-ku. Aku hanya tersenyum pada Bunda. Beginikah kasih sayang itu? Hangat, seperti matahari yang menerangi kami di pagi ini? Apakah dia tidak pernah merasakannya? Di mana dia sekarang? Sedang apa kau di suatu tempat di luar sana?
@@@

                Aku bangkit dari posisi nyaman yang sebenarnya bisa saja membuatku terlelap jika saja aku tidak memikirkan gadis berpayung merah itu. Aku beranjak di pojok dapur dan menungkan secangkir kopi panas yang baru saja di olah oleh mesin espresso milik ku. Sekarang ini aku bukanlah seorang mahasiswa yang hampir menghabiskan setiap waktu luangnya untuk pergi ke Cofee Shop. Kini aku sudah bekerja dan telah mempunyai rumah rumah idamanku sendiri. Rumah di tepi pantai dengan taman yang ku rancang sendiri. Hasil usaha kerasku kala aku menempuh pendidikan untuk menjadi seorang Arsitek Landscape yang andal, telah membuahkan hasil.
                Aku membawa kopiku ke teras rumah, berusaha menikmatinya sembari mendengarkan rintik hujan di luar sana sambil memandang pemandangan terindah yang pernah ku lihat seumur hidupku. Derai tawa berkumandang dari seorang anak berumur 6 tahun yang dengan asik bermain dengan hujan bersama Ibunya. Mereka bergandengan tangan dan melompati setiap genangan air yang tercipta karena hujan sambil tertawa senang. Sang Ibu dengan setia menemani gadis kecil itu sambil memakai sebuah payung berwarna merah. Ya, dia adalah gadis berpayung merah-ku… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar