Angin
sore yang semilir berhembus sejuk, membelai helai-helai rambutku yang masih
basah dan menyerbakkan wangi strawberri yang kusukai. Aku menerawang jauh di
kursi serambi rumah dan mulai menyesap teh yang masih mengepul hangat dalam
dekapan jari jemariku. Kosong, tidak dapat berpikir apapun. Tidak dapat
merasakan apapun. Bahkan untuk sekedar menangispun rasanya lelah sekali.
Lama
aku termangu menatap langit, dan sang angin masih saja memainkan rambutku yang
perlahan mulai mengering. Kala itu, engkau dengan wajah teduhmu mendekatiku
yang sedang termenung (meski ketika itu, aku tidak merasakan kapan kedatanganmu
Ma...). Engkau menungguku lama, bersabar karena pikiranku yang masih
bermain-main dengan nirwana yang kuciptakan sendiri.
Sampai
akhirnya, aku mendengar suara isakan itu. Engkau terisak dalam diam, meski mata
beningmu tidak menampakan butiran air mata, namun aku dapat merasakan hatimu
yang terisak terus menerus. Hingga aku akhirnya melepaskan diri dari nirwana
yang ku bangun dan kemudian beralih padamu.
Bahkan
ketika itupun kau masih saja menyunggingkan senyum terbaikmu.
Kemudian
aku menatap mata cokelatmu, tempat dimana kau tidak bisa membohongiku, meski
dengan senyum terbaikmu.
“Ma...”
“Setidaknya
kamu sudah berusaha... Mama juga akan berusaha...” katamu lemah. Ketika itu,
aku bisa merasakan rasa lelah yang kau alami.
Ma...
apa yang kau lakukan sepanjang siang ini? Ketika anakmu hanya bisa berdiam
diri. Meratapi diri sendiri. Berkhayal tentang sesuatu yang sudah terjadi, dan
kemudian hanya duduk terpaku sambil sesekali menangis dalam diam. Bukankah
sejak pagi tadi kau tidak terlihat di rumah? Kemana kaki muliamu membawamu
sejak tadi?
“Sudahlah
Ma... tidak perlu mencari pinjaman uang lagi...”
Kemudian,
bunyi isakan itu keluar dari mulut manismu. Air bening itupun meluncur keluar
tanpa bisa kau cegah. Kau tau Ma? Mungkin hal yang membuatku sakit seperti
sekarang tidak seberapa dibandingkan melihatmu terisak seperti ini. Dan kala
itu, akupun ikut terisak bersamamu.
“Maafkan
Mama... Mama belum bisa membuatmu meneruskan sekolah mu seperti yang kamu
inginkan...”
Ketika
itu aku masih terisak, tak mampu untuk menjawabmu Ma... Apa kau tahu Ma? Ketika
itupun aku mengetahui keadaanmu. Pun sangat mustahil untuk meneruskan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Saat itu, sangat mustahil...
Tapi
aku tidak bisa memberitahumu Ma, tidak saat itu. Kegagalan teralu berat untuk
ku terima Ma, dan hanya berdiam diri, termenung dan melamun yang bisa kulakukan
saat itu. Tapi kau mengerti benar putrimu kan Ma? Biarkan aku remuk redam untuk
beberapa saat ini dan kemudian aku akan bangkit Ma. Aku akan berlari secepat
yang aku bisa dan mengejar teman-temanku yang lain. Agar kami sejajar. Agar kau
tidak perlu merasa bersalah seperti ini. Agar air bening itu tidak keluar dari
mata indahmu lagi Ma. Dan hal itu pasti terjadi Ma... Lihatlah Ma, dan
percayalah putrimu ini Ma...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar