Aku
tahu ada banyak warna di dunia ini selain hitam dan putih. Tapi tidak dengan
apa yang kulihat saat ini. Hitam-putih. Itulah yang kulihat saat ini.
Pohon-pohon yang seharusnya mempunyai warna alam yang selalu membuatku takjub,
membuatku tidak bergeming saat ini. Batu-batuan yang mempunyai jutaan warna
yang beragam pun hanya bisa berwarna hitam dan putih. Menyedihkan, tidak ada
warna apapun selain dua warna itu. Aku tertegun untuk beberapa lama. Tidak. Aku
tidak bisa melihat apapun selain dua warna menyedihkan itu, dan rasanya
otot-otot yang selama ini kuat menyanggah tulng-tulang di kakiku pun goyah. Tak
sanggup lagi menopang dan tempurung lututku pun melemas. Aku merasa, sebentar
lagi aku aka terjatuh.
Hingga
dia datang. Dengan kecepatan cahaya, dengan tubuhnya dia menopangku dan
membangkitkanku hingga aku berdiri dengan otot-otot yang kurasa sudah tidak
serapuh sebelumnya. Dunia yang berada di sekelilingku pun kembali berwarna
dengan kehadirannya di depanku. Aku menatapnya sekilas dan ia tersenyum padaku
seraya mengembalikan tiap molekul energi kehidupan di sekelingku.
Kami
terdiam untuk beberapa lama dalam keheningan yang nyaman. Tanpa kata-kata, kami
saling memahami. Tapa kata-kata, kami saling menyelami perasaan kami, dan tanpa
kata-kata kemudian aku mengerti bahwasanya ia akan pergi ketempat yang aku
tidak tahu. Bahkan tujuannya untuk pergipun aku tidak tahu. Aku meraih
tangannya, dan masih tanpa kata-kata, aku menatap lekat mata yang terbingkai
kaca mata itu, berharap bahwa perasaanku yang tidak menginginkan kepergiannya
dapat tersampaiakan padanya. Jangan pergi... itu yang ingin aku katakan. Namun
sepertinya, walaupun ia bisa menangkap apa yang ku inginkan, ia tetap tidak
bisa berada di tempat sekarang ia berdiri untuk beberapa lama lagi.
Maka
ia tersenyum, dan dengan lembut melepaskan genggaman tanganku di tangannya. Ia
melangkah mundur sambil tetap menatapku dengan senyum miris yang juga mencabik
hatiku, perasaanku, dan juga jiwaku. Ingin rasanya aku berteriak padanya dan
memintanya untuk tetap di tempatnya sekarang. Tapi di dunia itu, kata-kata
tidaklah ada gunanya. Kata-kata bahkan terasa tidak bermakna lagi untuk di
ucapkan dalam keadaan apapun. Maka akupun berlari ke arahnya dan memeluknya
erat. Aku bisa merasakannya. Merasakan kehangatannya, merasa nyaman dalam
dadanya yang bidang, merasakan embusan nafasnya di ujung rambutku yang tertiup
angin. Aku merasakan semuanya tentangnya. Aku memeluknya semakin erat, dengan
harapan agar dia tidak pergi kemanapun ia akan pergi. Aku tidak peduli
bagaimana dia akan menilaiku setelah ini, tapi yang jelas, aku tidak ingin dia
pergi. Kemudian, kedua tangannya yang hangat ikut memelukku erat. Inilah dunia,
yang aku tahu kata-kata tidaklah berguna.
@@@
Mey
tertawa ketika aku selesai menceritakan mimpiku semalam, dan itu membuatku
semakin kacau.
“Kau
tahu itu bukanlah sikap yang pantas bagi seorang teman ketika dia tahu mimpi
seperti apa yang mendatangi temannya tadi malam.” Desisku berusaha setajam
mungkin.
Mey
masih tertawa, dan bahkan sekarang aku bisa melihat ujung matanya mulai berair.
Aku mulai kesal dan menganggap Mey teman yang menyebalkan.
“Mey?!”
bentak ku dengan menambahkan sorotan mataku yang tajam, sorotan yang kupelajari
dari seorang senior ketika aku menjadi anggota patroli keamanan sekolah ketika
aku berada di bangku sekolah menangah atas.
“Baiklah-baiklah...
maafkan aku...” katanya tersendat. Aku bisa melihat bahwa Mey masih berusaha
-dengan sangat keras- untuk menghentikan tawanya.
Aku
mengetuk-ngetukan jariku di atas meja berwarna cokelat yang selama ini berada
di anatar aku dan Mey, dan juga yang selama ini menjadi penghalang hingga
akhirnya aku berhasil untuk tidak membunuh Mey dengan tawanya yang menyebalkan.
“Kau
tahu kan? Kau terdengar sangat dramatis disetiap cerita yang kau ceritakan, dan
begitu melo-drama.” Komentarnya kemudian ketika akhirnya tawanya berhenti
total.
“Aku
hanya menceritakan semuanya padamu, selengkap-lengkapnya.”
“Ya,
aku tahu.” Potongnya cepat. Ia lalu menyesap teh hijau di depannya dan kemudian
membetulkan letak kacamata berbentuk persegi panjang yang membingkai mata
sipitnya.
“Dan
kau juga tahu, bahwa mimpi seperti potongan-potongan puzzle yang mengendap
dalam alam bawah sadarmu. Mimpi adalah refleksi dari apa yang sebenarnya ingin
kau lakukan, tapi tidak bisa kau wujudkan di alam nyata.”
“Atau...”
“Atau
juga hanya serpihan bayang-bayang dari apa yang kau lihat, dengar, rasakan,
yang secara tidak langsung membentuk partikel yang saling acak dan kemudian
menjadikan itu sebuah mimpi yang sulit untuk di tebak jalannya.” Mey melirik ke
arahku sebelum melanjutkan penjelasannya, “atau mungkin gabungan dari kedua hal
tersebut.”
Aku
terdiam mendengar argumennya. Argumen itu adalah hal yang kami bentuk
bersama-sama beberapa tahun yang lalu ketika obrolan kami yang kadang aneh
berkisar sekitar mimpi dan faktor apa saja yang mungkin bisa menjadikan sebuah
mimpi, tentunya kami berlagak sok tahu kaarena tidak ada referensi buku apapun
yang mengilhami kami membuat argumen ini.
Aku
menghela nafas panjang, dan bisa kulihat Mey menyunggingkan sedikit senyum di
sudut bibirnya yang mungil. “Kau benar.” Kataku kemudian.
Mey
kembali menyesap teh hijaunya dan menatapku dengan mata sipitnya, “jadi
menurutmu, manakah yang mengilhami mimpimu tadi malam?”
“Aku
tidak tahu... kau tahu bahwa sudah sangat lama, dan tidak sepatutnya mimpi itu
datang ketika aku sudah berada sejauh ini!”
Mey
menaikan sebelah alisnya dan kemudian berdiri sembari menarik tanganku. “Well,
tapi itulah yang terjadi, dan ternyata mimpi itu cukup patut untuk bercokol di
mimpimu.”
“Bercokol?
Kata apa itu?” protesku tanpa ada tanggapan yang berarti dari Mey.
Mey
mengibaskan tangannya ke kiri dan ke kanan seolah menyingkirkan asap rokok di
depannya.
“Dengar
ya... aku akan memberimu saran terakhir sebagai orang yang mengatahui paling
tidak seperempat hidup yang kau jalani dari total umurmu sekarang.”
“Hah?”
Mey
berkacak pinggang, dan kemudian dengan gerakan jarinya menyuruhku untuk duduk
di tempatku sembari ia berjalan mondar-mandir di depanku. Mencari wangsit,
begitu katanya ketika aku bertanya kenapa ia berjalan bolak-balik seperti
sertrika rusak.
“Pertama,
kau tidak benar-benar mencitai orang yang akan kau nikahi dalam waktu satu bulan
lebih beberapa hari.”
Mataku
membelalak lebar ketika aku mendengarnya dan baru saja akan menginterupsinnya
ketika Mey dengan gerakan tangannya menghentikan apa yang baru saja akan
meluncur keluar dari bibirku.
“Kedua,
kau masih mencintai Ari, percaya atau tidak.” Aku semakin membelalak, “dan
ketiga...” Mey memberi jeda sejenak hingga ia akhirnya melanjutkan perkataannya,
“berhentilah lari dari hatimu, turuti kehendaknya. Tinggalkan Johan sialan itu
dan datanglah kepada Ari-mu tercinta.”
Mey
berhenti tepat di depanku, dan aku berdiri. Menatapnya tidak percaya dan dengan
langkah-langkah panjang mulai meninggalkannya dengan bill yang belum terbayar.
Aku sudah janji aku yang mentraktir, tapi mendengar perkataanya yang sangat
tidak masuk akal, akupun marah dan melupakan semua janjiku.
Aku
tidak tahu kemana kakiku akan membawaku ketika akhirnya aku berhenti di sebuah
kanopi yang menjulang indah di tengah kota dengan pemandangan air mancur yang
menjadi sentralnya. Aku duduk di salah satu sudutnya dan mulai mengutuki diri
sendiri. Dari semua yang dikatakan Mey, aku bahkan tidak bisa sama sekali
membalas omongannya ataupun menyangkal salah satunya. Yang aku lakukan hanyalah
duduk diam dan membiarkan Mey mengatakan hal-hal mengerikan itu. Oh Tuhan...
@@@
28
hari menjelang pernikahanku.
Sudah
satu minggu aku tidak bertemu dengan Mey. Aku menghindari untuk berkomunikasi
bagaimanapun caranya dengannya. Aku masih marah dengannya, atau barangkali aku
takut mendengar apa yang akan ia katakan. Apalagi, mimpi yang sama selalu
berulang-ulang ketika aku terjaga, dan akibatnya, terdapat kantung hitam di
bawah mataku karena ketakutanku berada di alam bawah sadar.
“Mbaak,
mbak denger aku nggak sih?” suara serak salsa, adik ku menyadarkanku dari
lamunanku.
“Eh?
Ada apa?” tanyaku gelagapan, menyadari tindakanku.
Salsa
menghembuskan nafas panjang, “Mbak bener-bener
harus ngomong sama Mbak Mey.” Salsa
bangun dan mengambil telepon genggamku.
“Apa?”
tanyaku masih tidak mengerti arah pembicaraan Salsa.
“Apa
lagi? Cepat hubungi Mbak Mey dan minta dia kesini! Aku benar-benar nggak sanggup menangani Mbak seorang
diri. Seharusnya aku menolak ketika Ibu memintaku memeriksa keadaan Mbak di
sini jika tahu kalau keberadaanku sama sekali nggak di anggap.”
“Salsa...”
kataku sembari menarik nafas panjang, “maafkan Mbak, hanya saja banyak yang
Mbak pikirkan akhir-akhir ini.”
“Ya...
aku bisa melihat buktinya dari kantung mata di bawah mata Mbak. Suara Mbak pun
terdengar lesu ketika Ibu menelponmu sampai Ibu menyuruhku menemanimu.”
Jawabnya sambil menatapku heran. “Ada apa?”
Aku
diam, tidak bisa menjawab apapun dan sepertinya Salsa cukup bijak untuk tidak memaksaku
mengatakan apa yang terjadi.
“Baiklah,
aku akan menghubungi Mbak Mey, dia selalu bisa mengatasimu.”
Maka
begitulah, Salsa menghubungi Mey dan setengah jam kemudian Mey telah berada di
depanku dengan senyumnya yang penuh ejekan padaku.
“Aku
akan meninggalakan kalian sebentar, aku ada janji dengan temanku dan sebaiknya
ketika aku kembali, Mbak sudah membuat keputusan yang tepat. Dengar Mbak, kami
tidak akan menyalahkan Mbak atas setiap keputusan yang akan Mbak ambil. Kami
sayang Mbak dan selalu ingin yang terbaik buat Mbak.” Salsa tersenyum di akhir
kalimatnya dan kemudian menghilang seiring dengan suara pintu yang terbuka,
kemudian tertutup pada detik yang selanjutnya. Meninggalkanku bersama Mey yang
saat ini lagi-lagi tersenyum layaknya pemenang.
“Look Disa! Bahkan adikmu mengerti
masalah apa yang sedang kau buat sendiri!”
“Bukan
aku yang membuat masalah. Tapi kau!” desisku tajam.
Mey
hanya tertawa, “bukan aku yang bermimpi bebh,
dan bukan aku yang akan menikah 28 hari lagi terhitung dari hari ini.”
“Kau
pikir Salsa tahu apa yang baru saja dia katakan?”
“I think so, kau tidak bisa meremehkan
naluri seorang wanita walaupun dia masih SMA.”
“Apa
kau pikir apa yang dikatakannya adalah cerminan dari kedua orangtuaku?”
“Maybe yes, or no!” katanya santai, “wait... apa kau bermakud untuk menurut
saranku?” pupil mata Mey melebar dan aku tahu itu tanda bahwa Mey sangat senang
dengan kemungkinan aku menuruti sarannya.
“Aku
tidak mengatakan bahwa aku akan mengikuti saranmu Mey! Aku hanya berkata bahwa
mungkinkah?”
Mey
tertawa lagi, demi Tuhan. Kenapa mahluk
yang satu ini senang sekali tertawa. “Itu tidak ada bedanya bahwa kau
memikirkan saranku. Dan kujamin itulah yang harus kau lakukan jika kau tidak
ingin menyesal.”
“Dan
tentu saja aku tidak akan meelakukannya.”
“Why?”
“Karena
aku mencintai Johan!”
“Itu
tidak benar.”
“Bagaimana
kau mengatakan bahwa itu tidak benar? Bukan kau yang merasakan apa yang
kurasakan!” balasku tak mau kalah.
“Kau
hanya membutuhkan Johan untuk menikahimu 28 hari lagi, tapi jelas sekali kau
tidak mencintainya!”
Aku
menjadi gusar, “atas dasar apa kau mengatakan hal itu!”
“Observasi
Mey! Observasi! Sesuatu yang selalu kau lakukan dalam pekerjaanmu!”
“Terangkan!”
tantangku.
Mey
mengambil ancang-ancang, “alasan Mey mengatakan bahwa Adisa hanya sekedar
membutuhkan Johan, tapi tidak mencintainya.” Mey berkata tenang, sambil membuka
buku agendanya yang berada di tas jinjing miliknya yang berwarna merah marun.
Produk calvin klein, aku ingat kami membelinya ketika sedang ada diskon
gila-gilaan.
“Pertama,
Adisa selalu menjadi orang lain ketika ia bersama Johan.” Mey menatapku yang
duduk sambil menatap tidak percaya dengan apa yang kulihat. Mey membaca
agendanya ketika mengatakan apa yang dia ingin katakan, seperti sudah siap
sebelumnya dan hanya menunggu waktu yang pas untuk membeberkannya padaku.
“Apa
alasanya?”
“Biarkan
aku membacanya sampai selesai, oke?”
Aku
menurut dan membiarkan Mey melanjutkan ocehannya. Ah, ocehan mungkin terlalu
kasar. Lagipula Mey benar-benar teman yang baik untukku. Jadi aku menurut dan
membiarkan Mey melanjutkan membacakan hasil observasinya.
“Alasan
pertama memang tidak menunjukan bahwa Adisa hanya membutuhkan Johan, tapi itu
menjelaskan bahwa tidak seharusnya kau menjadi oranglain ketika bersama dengan
orang yang au cintai. Jadi kesimpulannya, Adisa tidak mencintai Johan!”
Aku
baru saja akan melontarkan protesku ketika sadar bahwa aku telah mengijinkan
Mey membacakan hasil observasinya sampai selesai, jadi aku menelan bulat-bulat
apa yang ingin aku katakan. Lagipula, aku rasa Mey mulai benar, dan astaga!
Tidak, pemikiran seperti itu tidak boleh mampir walaupun sedetik di otakku.
“Kedua,
alasan sebenarnya Adisa menikahi Johan karena ia kecewa dengan Ari hingga
menjadikan Johan sebagai pelampiasan. Namun sepertinya Adisa sudah keterlaluan
hingga akan menikah dengan orang yang ia tahu, tidak ia cintai.”
“Itu
tidak benar! Aku tidak seperti apa yang kau katakan!”
“Ya,
aku benar. Itulah awalnya, dan masih sama sampai sekarang.”
“Aku
mencintai Johan!”
“Kau
membutuhkan Johan, tapi tidak mencintainya. Johan membuatmu merasa di cintai,
bertolak belakang dengan Ari yang membuatmu harus mencintainya. Tapi kau tahu
bahwa Ari juga mencintaimu. Johan mengekspolasi rasa cintanya dengan
kata-katanya, tapi Ari dengan perbuatannya mengatakan bahwa ia mencintaimu.”
“Memangnya
kenapa kalau begitu? Itu bukan hal yang bisa membuatmu mengatakan bahwa aku
tidak mencintai Johan!”
“Johan adalah bentuk nyata dari imajimu, seperti
tameng yang kau butuhkan untuk menolak keberadaan Ari di dalam hatimu! Kau harus
akui itu Disa!”
Tubuhku
lumpuh ketika Mey berhenti mengatakan sesuatu yang aku tahu, itu semua adalah
benar. Bisa kulihat Mey panik ketika mendapatiku jatuh berlutut di lantai yang dingin.
Mey membuang agendanya dan terbuka ketika ia berteriak panik memanggil namaku
bersamaan dengan langkahnya yang berlari ke arahku. Ketika itu, waktu seakan
melambat dan pandanganku bisa 100 kali lebih tajam daripada biasanya. Di buku
agenda Mey, tercatat paling tidak 5 poin alasan kenapa aku hanya membutuhkan
Johan, tapi tidak mencintainya. Tapi bahkan hanya sampai point ke dua dan alam
bawah sadarku sudah meneriakan bahwa semua yang di katakan Mey adalah kenyataan
yang sesunguhnya. Bahwa selama ini aku hanya menggunakan Johan sebagai
tamengku.
Tatapanku
kosong, dan air mata jatuh tanpa bisa ku cegah. Aku menangis seperti anak kecil
dengan lengan Mey yang memeluk ku.
“Mey...
apa yang harus kulakukan?” kataku di tengah-tengah tangisku.
“Mey...
aku mencintai Ari... Mey, apa yang harus kulakukan?”
Mey
hanya diam, membiarkanku meracau dengan omonganu di tengah isak tangisku, dan
aku bisa merasakan bahwa saat itu, Mey pun ikut menangis bersamaku. Menyedihkan
sekali, bahkan lebih menyedihkan jikalau dunia ini hanya mempunyai dua warna,
hitam dan putih.
@@@
25
hari menjelang pernikahanku.
Mey
menggenggam tanganku erat dan berkali-kali ia mengucapkan bahwa semuanya akan
baik-baik saja. Mengatakan bahwa aku bisa melewatinya. Mengatakan bahwa aku
adalah wanita kuat yang selalu bisa mengatasi segala halangan dan rintangan
yang melandaku.
Tapi,
tak tahukah kau Mey? Bahwa dalam hal perasaan maupun cinta, bahkan seorang
pejuang terkuatpun akan luluh dan menjadi tak berdaya. Bahkan di hadapan cinta,
seorang Romeo rela mati demi bersama dengan kekasihnya, seorang Qais pun
menjadi gila oleh perasaanya. Tapi mungkin kisahku tak setragis kisah mereka,
itu yang selalu kita bicarakan ketika kau kehilangan cinta pertamamu kan Mey?
Maka biarlah sekali lagi kekuatanmu mengisiku dan membuatku menuju bahagiaku
hingga aku tidak akan menyesalinya di masa depan nanti.
Johan
datang menemuiku, masih denga gayanya yang biasa. Setelan kemeja dan celana
panjang berwarna hitam. Sangat berbeda dengan penampilan Ari yang
sehari-harinya hanya menggunakan kaus dengan celana denim. Bahkan dalam
mimpiku, Ari mengenakan kaos putih panjang dengan celana denim berwarna biru.
Rambut Johan rapi dengan gel berbau maskulin yang tercium jika kau cukup dekat
dengannya. Sementara Ari selalu membiarkan rambutnya jatuh di bahunya, di
keningnya, di samping telinganya tanpa gel.
Tuhan...
kenapa baru saat ini aku menyadari bahwa aku sangat mencintai Ari? Aku bahkan
merindukannya hingga dadaku sesak. Tapi disini, terlebih dahulu aku harus
menyelesaikan urusanku dengan Johan yang aku tahu, akan membuat Johan sedih
karena perbuatanku.
Johan
sampai di tempat ini dan aku bisa melihatnya ketika ia memasuki pintu yang
terbuat dari kaca transparan.
Mey
menggenggam tanganku lebih erat, dan aku tahu ini adalah saatnya Mey
membiarkanku hanya berdua dengan Johan. Aku tersenyum pada Mey dan ia dengan
enggan mengangguk dan melepaskan genggamannya untuk kemudian pergi
meninggalkanku.
Johan
kini berada di depanku, hanya meja selebar kurang dari setangah meter yang
memisahkan aku dengannya. Wajahnya murung, dan awan mendung seperti tergambar
jelas disana. Seperti ia tahu tujuanku memintanya datang menemuiku disini.
Hening
diantara kami, tidak seorangpun dari kami ingin memulai pembicaraan yang
menyakitkan ini. Tidak, itu tidak benar, itu menyakitkan hanya untuk Johan.
Kenyataannya aku cukup kejam hingga memperalat Johan sampai sejauh ini. Sampai
dua tahun setelah aku melepaskan hubunganku dengan Ari. Betapa menjijikannya
aku.
Aku
menggigigt bibirku, dan tanpa awal mula yang menjanjikan, aku menetaskan air
mataku yang menetes tak tahu malu.
Johan
tetap tidak bergeming, tidak seperti biasanya ketika aku menangis dan kemudian
ia akan memelukku, menenangkanku dengan kata-katanya. Seolah-olah ada palang
peringatan bahwa tujuan Johan kesini bukanlah untuk menghiburku seperti
biasanya. Tugas itu telah selesai dan ia tidak bisa melakukan itu lagi.
“Aku...
selalu bertanya kapan saat ini akan tiba...” ucap Johan dengan suara bariton nya.
Aku
tidak berani menatapnya, dan hanya bisa terus merunduk dengan tetesan air mata
yang semakin tak tahu malu untuk keluar.
“Bolehkan,
bolehkan aku yang mengakhiri ini?”
Aku
makin tersedu ketika mendengar ucapannya. Johan, maafkan aku... Aku meraung
dalam hati. Kau tahu aku tidak bisa berkata-kata saat ini, dapatkan kau
mendengarkan permintaan maafku yang menjijikan itu Johan? Maafkan aku, maafkan
aku...
“Tidak
ada yang perlu dimaafkan Disa. Kau tidak bersalah, sama seperti aku juga tidak
bersalah kepadamu.”
Aku
masih tersedu.
“Lagipula,
aku yang mengakhiri hubungan ini. Aku rasa aku tidak sanggup untuk membina
rumah tangga bersamamu. Kau tahu aku terlalu sempurna untuk menjadi suamimu dan
aku bisa mencari seorang istri yang lebih baik darimu.”
Lihat.
Kau bahkan memberiku alasan Johan. Kau benar laki-laki yang baik, tapi kenapa
aku tidak bisa mencintaimu? Bukankah seharusnya aku bisa mencintaimu? Kenapa
aku tidak bisa?
Karena
rasa cinta adalah sesuatu yang tidak bisa kau manipulasi. Itu argumen lain yang
aku dan Mey buat. Hasil dari pembicaraan-pembicaraan kami yang kadang aneh.
“Terima
kasih kau sudah menemaniku sampai sejauh ini. Tapi sayangnya, semua itu harus
berakhir. Mulai detik ini, kau, Adisa, bukan lagi calon istriku yang 25 hari
lagi akan ku nikahi.”
@@@
Bau
cat minyak mendominasi ruangan berukuran 3x3 yang didalamnya penuh sesak dengan
kanvas yang telah meninggalkan jejak putihnya. Di tengah ruangan, duduk seorang
pria yang sedang memegang kuas tanpa cat minyak yang berada di dekatnya. Tidak,
pria itu tidak sedang melukis atau sebagainya. Pria itu hanya duduk di tengah
ruangan sembari menatap figur dalam lukisan di atas kanvas di depannya.
Aku
melangkah mendekatinya yang masih saja tidak menyadari akan keberadaan manusia
lain dalam sangkarnya yang kecil itu. Aku menatap punggungnya lama, dan
tersenyum ketika menyadari bahwa hanya beberapa langkah lagi dan aku akan bisa bersamanya.
Terlepas dari apapun yang pernah terjadi, aku menyadari bahwa ia pun masih
mencintaiku seperti aku mencintainya. Tidak peduli bahwa dua tahun yang lalu,
ketika aku memintanya menikahiku dia dengan cepat menjawab ”tidak”.
Ketika
itu, aku sangat kecewa padamu dan menganggap bahwa kau tidak mencintaiku seperi
aku mencintaimu. Aku hanya berburuk sangka kepadamu, dan enggan bertanya lebih
jauh kenapa kau mengatakan tidak. Bukankah saat itu aku begitu egois? Aku
bahkan tidak mempunyai sedikit keinginan mendengar alasanmu.
Setelah
aku tahu alasanmu pun, (bahwa kau mengetahui Ibuku sakit dan aku harus
menemaninya dan merawaatnya dengan baik, atau aku akan menyesalinya kemudian,
tapi kau tidak pernah mau memberitahukan padaku dan hanya diam. ketika itu hubunganmu dengan Ibuku deimikian buruk, tapi tidak pernah kau begitu egois untuk memiliki ku hanya untukmu seorang) aku telah memiliki
Johan sehingga egoku tidak mengijinkan ku untuk meminta maaf dan kembali
padamu. Tapi hari ini, lagi-lagi aku datang seperti sebelumnya dengan harapan
bahwa kau akan menerimaku kembali dalam hatimu, dalam kehidupanmu.
Aku
tidak tahu apa penyebabnya ketika ku lihat tubuhmu tersentak, dan kemudian kau
berbalik dan menemukanku menatapmu. Tatapan kita bertemu. Seolah bumi berhenti
berputar dan dimensi yang bernama waktu tak ada lagi, kita hanyut dalam imaji
masing-masing. Aku menyelami kedalaman matamu yang melukiskan kerinduanmu akan
kehadiranku. Bukankah rindu itu sangat menyesakkan? Lalu matamu melukiskan
sesuatu yang lain, sesuatu yang menandakan bahwa kehadiranku untukmu adalah
sebuah anugerah terindah yang pernah kau dapat. Aku ingat kau pernah mengatakan
hal itu kepadaku. Ketika itu aku hanya menanggapinya dengan senyuman tanpa
kata-kata. Tapi bisakah kau melihatnya juga di kedalaman mataku bahwa kaupun
seperti anugerah untuk ku. Ari, aku kembali. Aku mencintaimu.
Di
dunia tanpa kata-kata, dimana diam adalah salah satu alat dimana kita dapat
saling memahami satu sama lain. Lalu aku merasa kesadaran terpatri di hatimu,
bahwa ada satu cara agar aku tidak pergi darimu, tidak lari darimu lagi, dan
tidak akan meninggalkanmu. Kau bertanya padaku... apakah aku mau menjadi
pengantinmu?
Akupun
menjawab, aku mau... aku mau menjadi pengantinmu, Ari...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar