Aku menyalakan mesin Espresso yang terletak di
pojok dapur, dan mencoba terlelap di sudut sofa yang tak jauh darinya. Mencoba
menikmati dimana aku bisa mendengar suara rintik hujan di luar sana dan
dengungan halus dari mesin Espresso miliku sendiri.
@@@
Hujan turun sejak
pagi tadi, membuat udara kota Bogor yang semula sejuk menjadi semakin dingin. Aku yang
notabene hanya seorang mahasiswa asal daerah pesisir pantai, jadi di buat repot
olehnya. Kalau harus memilih, aku lebih suka berada di udara terik seperti
pesisir pantai. Andai bundaku tak meminta aku untuk merantau kemari, saat ini
aku pasti sedang asik berlayar di pantai ku sekedar untuk menghabiskan waktu
ataupun mencari ikan untuk sesuap nasi.
Saat itu Bunda di
ajak oleh paman berjalan-jalan keliling Jakarta. Selepas berkeliling Jakarta,
paman mengajak Bunda ke Bogor untuk menemui calon istrinya yang ternyata seorang
gadis asli Bogor. Saat itulah, bunda untuk pertama kalinya menginjakan kakinya
di daerah sejuk ini. Bunda begitu terpukau karena dari beliau lahir sampai saat
itu, baru pertama kalinya bunda pergi ke daerah berhawa sejuk. Dan akhirnya, ia
jadi berambisi untuk mendaratkan salah satu anaknya di Bogor. Sepulang dari Bogor,
Bunda begitu menggebu-gebu menceritakan perihal Bogor, dan saat itu aku yang
sedang menuntut ilmu di bangku sekolah kejuruan kelas 3-pun menjadi harapan
agar bisa meneruskan pendidikanku ke sana. Padahal dua kakak ku yang lain tidak
begitu. Kakak pertama ku saat lulus sekolah dia langsung bekerja sebagai
nelayan bersama Ayah, dan kakak ke-dua memang meneruskan pendidikannya, tapi di
universitas yang dekat dengan rumah. Itupun Universitas swasta. Saat itu aku
hanya menelan ludah ketika Bunda mendikte bahwa ia ingin aku bisa kuliah di
Bogor. Di IPB, Institute Pertanian Bogor.
Dan disinilah aku
sekarang. Menggigil menahan udara dingin yang terus-terusan menusuk sampai ke
tulang belulang ku. Aku merapatkan mantel terluar berwarna putih ke tubuhku
yang tidak begitu gemuk, tapi juga tidak begitu kurus. Mantel ini adalah pakaian
lapis ketiga yang kukenakan. Sebelumnya aku memakai kaus dan sebuah sweater,
tapi tetap saja merasa kedinginan. Aku memandang langit sore yang masih
terguyur hujan dari etalase sebuah coffee shop, tempat favoritku sejak pertama
kalinya aku menginjakan kakiku di sini.
Aku ingat betul saat pertama kali temanku
mengajakku ke sini. Kala itu hari tidak hujan seperti sekarang, tapi tetap saja
aku merasa dingin. Ia membawaku kemari dan saat aku melangkahkan kaki pertamaku
memasuki pintu kaca itu, aku disambut oleh semerbak harum kopi yang nikmat.
Mataku langsung terjaga dan pandanganku tak lepas mengagumi interior dari
tempat ini. Dinding berwarna cokelat muda berpadu dengan cokelat tua yang
menjadikan suasana tempat ini begitu hangat dan menakjubkan.
Untuk kesekian
kalinya lonceng penanda pelanggan datang di kumandangkan. Dan untuk kesekian
kalinya pula kepalaku dengan otomatis menengok ke arah datangnya suara di depan
pintu masuk. Bukan tanpa alasan hari ini aku masih saja berada di dalam Cofee
Shop ini dalam keadaan menggigil. Jika tidak ada alasan yang benar, aku lebih
memilih pulang ke kontrakan yang aku sewa dengan beberapa teman yang lain dan
melindungi diri dari udara dingin ini. Lonceng kembali berbunyi, kali ini
tampak sepasang sejoli bergandengan mesra memasuki Cofee Shop ini. Aku segera
mengalihkan pandanganku, berusaha tidak melihat hal itu. Aku memang bukan
seorang anak pesantren, tapi untuk hal semacam itu aku benar-benar tidak suka
melihatnya, tidak apa-apa jika mereka sudah menikah. Tapi kebanyakan malah
belum mengikat janji di depan Tuhan, apa itu perbuatan yang baik? Aku
menghembuskan nafas panjang.
Suara musik dari
coffee shop ini dengan setia menemaniku menunggu kedatangannya. Sebentar lagi
pukul 6 sore, dan dengan begitu berarti aku sudah menuggunya selama 4 jam. Aku
mulai frustasi dan bersiap-siap untuk pulang. Aku menyimpan lembar tugas yang
tadi ku kerjakan kala menunggunya, dan segera kumatikan laptop ku dan kumasukan
ke dalam tas yang anti air. Ini laptop pinjaman dari teman satu kontrakanku,
jadi jika terjadi sesuatu terhadap laptop ini aku harus bertanggung jawab.
Aku melambaikan
tanganku dan dengan segera, seorang waitress wanita berumur hampir sebaya
denganku mendatangiku dan menyerahkan struk yang berisi beberapa digit angka.
Aku membayar dan mengucapkan terima kasih seraya melangkahkan kakiku untuk
pulang. Sebelumnya mataku sempat melirik ke arah pasangan tadi yang kini sedang
bersitegang, harusnya aku menonton saat-saat ini. Bibirku tertarik ke belakang
dan menyunggingkan senyum saat melihat adegan itu, pasti akan sangat mengasyikan.
Aku kembali
menggigil ketika tengah berada di luar coffee shop, dengan segera ku ambil payung
berwarna cokelat yang ku bawa dan segera membukannya. Dengan hati-hati aku
mulai melangkahkan kaki pertamaku, jangan sampai aku terpeleset atau jatuh,
karena sekarang saja badanku sudah seperti mau pecah. Aku baru melangkahkan
kaki pertamaku ketika dia yang ku tunggu datang dan memberikan senyum indahnya
padaku. Saat itu seperti malam yang di sinari oleh cahaya bulan, atau seperti
matahari yang kau lihat ketika kau berada di kutub utara, atau bahkan sepeti
kau melihat oase di gurun pasir yang panas, melanda perasaanku. Aku merasa
sangat senang dan bahkan jika tidak ingat bahwa aku sedang berada di tempat
umum, aku mungkin sudah melonjak karena senangnya. Dia dengan tergesa berlari
kearahku dan mengucapkan salam padaku, Ya Tuhan, lagi-lagi ia menampakan senyum
indahnya padaku. Aku dengan tergagap menjawab salamnya, well sebenarnya tergagap seperti ini bukan gayaku, hanya saja aku
terlalu terpesona oleh senyum indahnya.
“Maaf, kau sudah lama menungguku ya?” suara indahnya keluar di
sela-sela hujan yang sekarang telah menjadi rintik-rinrik kecil gerimis. Ya,
aku sudah berapa lama menunggunya? 1 jam? 2 jam? 3 jam? 4 jam? Ya, 4 jam, aku
sudah menunggunya selama 4 jam dan sudah hampir mati bosan di buatnya.
Seharusnya aku marah padanya, tapi kenapa saat aku melihatnya bahkan lidahku
kelu untuk menjawab pertanyaannya? Bahkan untuk marah padanya terasa sangat
sulit sekali. Bahkan dalam pikiranku aku lebih memilih untuk mengerjakan
soal-soal turunan aljabar sebanyak 100 lembar di banding untuk memarahinya.
“Kau marah padaku?” dia bertanya lagi, mungkin karena tidak ada
jawaban dariku. Dalam hati aku memberontak, apakah dia tidak tahu? Bahwa,
sekalipun aku memarahinya, toh aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa
marah padamu.
Aku menarik nafas pelan, mencoba menjerihkan pikiranku. Apa yang dia
lakukan sampai-sampai membuat Rega Ardi Putra menjadi linglung seperti ini?.
Aku tersenyum padanya, mencoba bersikap netral. “mungkin aku yang
datang terlalu cepat…” kataku pada akhirnya, apa hanya itu yang bisa ku
katakan?
“Ayo masuk ke dalam, aku akan mentraktirmu kopi hangat.”
Aku menggeleng, “tidak terima kasih, aku sudah hampir mati kembung
karena kebanyakan minum kopi, aku akan pulang saja, dan…” aku mengambil
bungkusan panjang yang aku bawa sejak pagi dan menyerahkannya pada gadis itu,
gadis perpayung merah dengan mata cokelat hangat, senada dengan warna kopi
hangat kesukaanku, “terima kasih atas bantuanmu kemarin lusa…” aku tersenyum
padanya, mengingat bagimana payung berwarna merah ini bisa menyelamatkanku dari
serangan hujan yang melandaku kemarin lusa, sebenarnya aku tidak masalah jika
harus kehujanan, tapi akan menjadi masalah jika maket taman yang telah ku
kerjakan selama sebulan ini hancur karena hujan itu.
“Jadi sekarang kau mau pulang?”
Aku mengangguk, “hari sudah menjelang malam, dan kurasa aku harus segera
mengembalikan barang yang ku pinjam dari temanku.” Ya, tadi pemilik laptop
berpesan agar aku tidak sampai malam meminjamnya, dia juga punya tugas yang
harus ia selesaikan. “Kau juga sebaiknya lekas pulang.”
“Kemana?”
“Ke rumahmu tentu saja, atau mungkin ke kost mu? Atau ke kontrakanmu?”
tanyaku mulai tak paham. Aku tidak tahu asal usul gadis di depanku ini, apakah
dia seorang mahasiswi, atau penduduk asli Bogor.
“Rumah?” dengungnya pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya, “bukankah
rumah itu tempat dimana ada seseorang yang menunggumu untuk kembali?”
Aku tambah tak mengerti, “Ya, ku rasa benar…”
“Kalau begitu aku tidak punya rumah yang seperti itu, ah,,, aku akan
masuk dan memesan beberapa kopi hangat untuk ku bawa pulang. Kau bisa pulang
duluan.”
“Lalu, kemana kau akan pulang?”
“Entahlah…” dia mengangkat bahunya dan tersenyum kecut. Dia membalikan
badannya dan memasuki coffee shop itu. Aku mulai ragu untuk meninggalkannya
sendirian, apa lagi daerah ini sangat sepi saat malam, aku tidak akan tega meninggalkannya
sendirian di tempat ini. Aku kemudian mengikutinya dan ia tersenyum lebar saat
melihatku berada di belakangnya.
“Aku tahu kau orang yang baik…” katanya lirih.
Aku mengabari temanku bahwa aku akan pulang setelah menyelasaikan
urusanku di sini, dan meminta maaf karena mungkin pulang sedikit malam. Aku kan
masih memegang laptopnya.
Kami mengobrol
agak lama, dan gadis di depanku, gadis yang ku juluki gadis berpayung merah
ternyata bernama Mentari. Dia lebih muda setahun dariku dan kini sedang cuti
selama setahun. Dia sendiri kebingungan untuk memilih jurusan apa atau dimana
ia akan meneruskan pendidikannya. Dia orang yang ceria, dan selalu saja
mempunyai topik untuk di bicarakan jika sebuah topik selesai di bicarakan.
Tepat pukul 8 malam, kami menyudahi pembicaraan kami. Hujan sudah berhenti tapi
udara masih saja dingin menusuk sampai ke tulang. Badanku menggiggil ngilu, dan
Mentari yang tengah di sampingku berusaha menahan senyumnya. Ia orang asli
sini, jadi pasti telah terbiasa dengan hawa dingin ini. Kami berjalan
beriringan dan aku mengantarkannya di persimpangan yang ia bilang dekat dengan
rumahnya. Walaupun aku memaksa akan mengantarkannya sampai ke depan rumahnya,
tapi ia menolak dengan halus. Jadi di sanalah aku bisa mengantarkannya.
Setelah pertemuan
itu kami jadi sering bertemu. Dalam satu pekan, bisa saja kami frekuensi
pertemuan kami sebanyak 3 sampai 5 kali. Dan pertemuan kami selalu di tempat
yang sama, Cofee Shop tempat pertama kali kami bertemu. Teman-teman yang lain
bahkan mengatakan bahwa Mentari adalah gadis berpayung merah-nya Rega. Hal ini
benar-benar menggelitik perasaanku ku, tapi tidak bisa di pungkiri bahwa hal
itu ada benarnya juga. Pernah suatu ketika saat aku tidak datang ke Cofee Shop
karena tugas mendadak dari dosen. Temanku berinisiatif untuk mengambil tempatku
dan berharap bertemu dengan Mentari. Tapi sampai malam menjelang, dia tidak
kunjung datang. Mungkin dia seperti magnet yang hanya bisa melekat saat bertemu
dengan pasangan yang sesuai.
Aku baru
menyelesaikan tegukan terakhirku ketika Mentari mengajak untuk pulang. padahal
di luar gerimis mulai turun dan di antara kami hanya dia yang membawa payung,
tentu saja dengan payung merah miliknya.
“Hujan…” kataku sambil merapatkan mantel cokelat yang baru ku beli
kemarin lusa. “Kau yakin mau pulang sekarang?”
Mentari mengangguk dan bisa ku lihat matanya yang cokelat berpendar
indah seperti bintang timur di langit sana. “Ayo kita main di bawah hujan ini!”
katanya ceria.
Tanpa menunggu komentar dariku, ia menerobos hujan dan berlari
berputar-putar di bawah hujan itu. Tak berapa lama ia menarik tubuhku yang
masih kering karena masih berada di naungan atap Cofee Shop. Dengan segera,
ratusan tetes air hujan membasahiku dan membuat semua bagian tubuhku yang
semula kering menjadi basah sejadi-jadinya. Mentari menarikku sehingga kami
berlari bersama menerobos hujan yang semakin lama semakin deras. Kami baru
berhenti berlari ketika telah sampai di persimpangan yang hendak menuju rumah
Mentari.
“Kau tidak akan melupakan ini bukan?” katanya padaku.
“Hujan-hujanan seperti ini? Ku rasa aku bahkan tidak bisa melupakannya
hingga ke akhirat nanti…” candaku.
“Kalau begitu kau pasti tidak akan melupakanku bukan?”
“Bisa ya, dan bisa juga tidak…” tawaku berderai.
“Tapi aku tahu kau tidak akan melupakanku…” lagi-lagi, dia menampakan
senyum indahnya padaku. Dan berlalu pergi meninggalkanku yang pasih terpaku di
bawah hujan ini.
@@@
Hari ini Bunda,
Ayah, dan kedua kakakku datang ke Bogor untuk melihat acara wisudaku. Tak
terasa sudah 4 tahun aku menuntut ilmu di Bogor. Selama di sini aku banyak
mengalami berbagai hal yang membuatku menghargai setiap moment berharga yang
aku habiskan dengan orang-orang yang ku sayangi.
Hari ini langit
sangat cerah, saat yang tepat untuk menyelenggarakan acara wisuda di tempat
terbuka. Pikiranku menerawang ke langit biru yang terbentang di atasku. Setelah
hujan kala itu, aku tidak lagi bertemu dengan Mentari. Dia menghilang begitu
saja, dan bagaimanapun kerasnya aku mencari ke setiap rumah di persimpangan
jalan itu, aku tetap tidak bisa menemuinya. Hingga kemarin lusa, datang
seseorang yang mengaku kenalan dari Mentari datang menemuiku di Cofee Shop. Ia
bercerita bahwa hidup Mentari tidaklah seindah senyumnya. Ia adalah anak dari
hubungan gelap seorang pejabat ternama di Ibu Kota. Ibunya sendiri bahkan tidak
mengharapkan kelahiran Mentari karena ia di anggap hanya akan menjadi masalah
baginya dan bagi pejabat itu. Walaupun dari kecil ia hidup berkecukupan dan di
barengi dengan kekayaan yang melimpah, tapi dia sama sekali tidak mengenal apa
itu kasih sayang dari orang tua. Hanya neneknya yang merawatnya dengan penuh
cinta kasih, bahkan neneknya yang memberikan nama untuknya. Tapi umur neneknya
tidak sepanjang yang Mentari kira, Neneknya meninggal kala Mentari memasuki bangku
sekolah menengah pertama. Dan sejak saat itu ia benar-benar seperti seorang
yatim piatu. Ibunya sendiri, meskipun berada di atap yang sama dengan Mentari,
tak pernah menyapanya atau menilik keadaannya dan bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya. Aku mulai paham dengan
pengertian ‘rumah’ yang ia katakan kala itu.
Aku lalu
menanyakan kemana kiranya kepergian Mentari selama ini, tapi orang itu tidak
bergeming sedikitpun. Ia juga tidak tahu kemana Mentari pergi. Tapi yang ia tahu,
Mentari pergi meninggalkan rumah dengan senyum indahnya. Bukankah itu berarti
suatu penanda yang baik? Aku kembali tersadar ketika tubuh kecil Bunda memeluku
erat. Bunda menangis haru saat melihatku di wisuda. Dan ia mengatakan terima
kasih karena aku sudah mau menuruti kemauannya yang ia tahu bahwa sangat berat
bagiku untuk meninggalkan laut-ku. Aku hanya tersenyum pada Bunda. Beginikah
kasih sayang itu? Hangat, seperti matahari yang menerangi kami di pagi ini?
Apakah dia tidak pernah merasakannya? Di mana dia sekarang? Sedang apa kau di
suatu tempat di luar sana?
@@@
Aku bangkit dari
posisi nyaman yang sebenarnya bisa saja membuatku terlelap jika saja aku tidak
memikirkan gadis berpayung merah itu. Aku beranjak di pojok dapur dan menungkan
secangkir kopi panas yang baru saja di olah oleh mesin espresso milik ku.
Sekarang ini aku bukanlah seorang mahasiswa yang hampir menghabiskan setiap
waktu luangnya untuk pergi ke Cofee Shop. Kini aku sudah bekerja dan telah
mempunyai rumah rumah idamanku sendiri. Rumah di tepi pantai dengan taman yang
ku rancang sendiri. Hasil usaha kerasku kala aku menempuh pendidikan untuk
menjadi seorang Arsitek Landscape yang andal, telah membuahkan hasil.
Aku
membawa kopiku ke teras rumah, berusaha menikmatinya sembari mendengarkan
rintik hujan di luar sana sambil memandang pemandangan terindah yang pernah ku
lihat seumur hidupku. Derai tawa berkumandang dari seorang anak berumur 6 tahun
yang dengan asik bermain dengan hujan bersama Ibunya. Mereka bergandengan
tangan dan melompati setiap genangan air yang tercipta karena hujan sambil
tertawa senang. Sang Ibu dengan setia menemani gadis kecil itu sambil memakai
sebuah payung berwarna merah. Ya, dia adalah gadis berpayung merah-ku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar