Aku tidak tahu bagaimana awalnya hingga akhirnya hatiku seutuhnya
tertambat padanya tanpa bisa ku cegah. Meskipun, tak jarang dia bercerita
tentang gadis yang membuat jantungnya selalu berdetak lebih cepat dari
biasanya. Ya, dia sering sekali menceritakan hal itu padaku, tentang bagaimana
rasa sukanya bermula saat ia bertemu dengan gadis itu pertama kali saat ia
masih berusia di awal belasan tahun. Saat pertama kali ia masuk sekolah
menengah pertama. Walaupun gadis itu tidak meresponnya, tapi dia tetap
menyukainya, hingga sekarang, tujuh tahun setelah pertemuan mereka pertama
kali.
Aku senang saat dia mulai bercerita tentang gadisnya, walaupun harus ku
akui, semakin aku menyukainya, semakin aku merasa tidak suka saat dia menyebut
nama gadis itu. Tapi ekspresi matanya yang berbinar-binar dan hangat serta
penuh cinta saat dia menyebut nama gadis itu, membuatku terpesona. Membuatku iri pada gadis itu, dan
membuatku ingin sekali menempati posisi gadis itu. Aku ingin memiliki cinta
itu, cinta murni yang jarang sekali ku temui.
Kehidupanku mungkin tampak
baik dari luar, keluargaku, bagaimanapun juga tidak pernah kekurangan materi.
Aku hidup berkecukupan karena kedua orangtua ku bekerja. Tapi karena itulah,
mereka jadi jarang sekali di rumah, sekedar untuk menemaniku bersantai dan
makan bersama rasanya pun sulit sekali. Sejak kecil, aku tidur di rumah eyang
yang tak jauh dari rumahku. Sejak kecil pula, tante lah yang mengurusiku, dan
bagaimanapun, tanteku bukan tipe orang yang keibuan yang penuh dengan kasih
sayang dan selalu memberikan senyuman untukku. Dia tak jarang mengeluh saat
mengurusku dan kadang saat dia sedang emosi, tak jarang pula ia melampiaskan
amarahnya padaku dengan mencari-cari kesalahanku.
”Cari makan yuk,” katanya membuyarkan lamunanku. Dia
berdiri di depanku dengan memegang kunci motornya. Aku terkesikap dan menyadari
saat ini aku sedang bersamanya. Apa aku sudah kehilangan waktu yang berharga
dengannya ketika aku melamunkan tentang kehidupanku yang menyedihkan?
Aku tersenyum dan bangkit dari posisi duduk ku.
Mengejarnya yang telah berada di depanku dan dengan akrab menggandeng
tangannya. ”Kita mau makan apa?”
”Apa aja. Cari yang deketan aja, aku lagi males ke
tempat yang jauh.”
Aku tersenyum lagi padanya. Apapun asal aku bisa
bersamanya.
”Aku menyukaimu...” kataku
setelah mengumpulkan semua keberanianku, saat ini aku sedang bersamanya,
bersantai menikmati saat-saat kami terbebas dari rutinitas kampus yang kadang
membuat frustasi..
Dia mengangkat satu alisnya, ”Apa sih yang kau
katakan? Aku juga menyukaimu. Kita kan teman...” dia terkekeh.
Aku menggeleng dan menatapnya lekat, ”Bukan
sebagai teman. Aku menyukaimu lebih dari sekedar teman. Aku menyukaimu sebagai
seorang perempuan yang menyukai laki-laki. Kau mengerti maksudku?”
Tawanya berhenti. Kini raut wajahnya yang biasanya
kocak tampak serius. Matanya yang biasanya tampak jenaka mulai berubah, seperti
menyiratkan rasa iba yang dalam kala mata hitam itu memandangku.
”Kau tahu bagaimana perasaanku.” ucapnya lirih.
”Aku tidak mungkin menyukaimu lebih dari ini. Kau tahu siapa yang ku sukai.”
”Aku tahu...” ucapku mengiyakan. ”Aku tahu
bagaimana perasaanmu pada gadis itu. Aku tahu betapa kau sangat mendambanya
untuk ada di sisimu. Aku tahu seberapa besar keinginanmu memilikinya.” aku
berhenti sejenak, berusaha mencerna apa yang telah ku katakan. Aku memang tahu
semua itu, dan kini aku malah menyatakan perasaanku padanya. Apakah dia akan
bersikap menjauh setelah ini? Aku tidak tahu, tapi aku sudah terlanjur
mengatakannya, tidak ada jalan untuk mundur. ”tapi gadis itu sama sekali tidak
memikirkanmu bukan? Gadis itu mungkin bahkan sama sekali tidak menganggap kau
berarti baginya.” aku berhenti dan mengamati raut wajahnya sejenak.
Dia tersenyum miris. Apa yang ku katakan memang
benar. Aku tahu itu.
”Tapi aku berbeda, aku memikirkanmu lebih sering
dari pada dia yang kau bilang selalu membuatmu berdebar-debar. Kau sangat
berarti untuk ku. Aku menyukaimu.”
Dia tersentak saat kalimatku berakhir dengan pengakuanku
yang aku tahu, dia bahkan tidak pernah berfikir akan seperti ini jadinya. Dia
memandang langsung ke arah bola mataku. Masih sarat akan rasa iba, aku benci
saat ia menatapku seperti itu.
Dia bangkit dari posisinya, ”Mungkin kau lelah.
Sebaiknya kau istirahat.” katanya perlahan dan berjalan meninggalkanku.
”Arfan.” kataku sebelum dia semakin menjauh.
”kumohon, pikirkanlah sekali lagi. Aku menyukaimu.”
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Semuanya sudah terjadi, tubuhku limbung dan aku jatuh terduduk di lantai yang
dingin. Menyesali dampak yang mungkin aku sebabkan karena rasa sukaku padanya
yang terus membuncah, tidak dapat ku tahan lagi. Tidak, aku tidak bisa berhenti
sampai di sini.
Aku menemuinya kesokan
harinya. Dia menyambutku dengan senyum jenakanya, seperti biasanya. Aku
mengambil kursi dan duduk di sampingnya yang sedang mengutak-atik leptopnya.
”Kau sudah
memikirkannya?” tanyaku to the point.
Dia menaikan
sebelah alisnya dan memberikan tatapan yang bermakna ‘Dina, apa kita harus
membahas masalah itu sekarang?’.
Aku mengangguk,
aku ingin tahu apakah dalam waktu semalam dia sudah memikirkan bagaimana
baiknya.
“Kau tahu?
Kemarin setalah aku mengatakan semuanya, aku takut reaksimu saat bertemu
denganku akan berubah. Maksudku, aku takut nantinya kau malah akan
menghindariku dan menjauhiku. Tapi saat aku datang tadi dan kau tersenyum
dengan cara yang biasanya, aku tenang, dan aku malah semakin menyukaimu.” Aku
tersenyum di akhir kalimatku. Aku menatapnya yang juga tersenyum padaku,
menampakan senyum getir, bukan senyum jenaka seperti biasanya.
“Aku pikir
mungkin kita bisa mencobanya.” Aku tersenyum lebar saat aku mendengarnya. ”Tapi
mungkin kau akan menderita. Kau tahu bagaimana perasaanku padanya belum bisa
sepenuhnya hilang. Aku tahu dengan keputusan ini mungkin malah akan menyakitimu
nantinya. Tapi hanya itu yang bisa
aku tawarkan untuk sekarang ini.”
Aku mengangguk, ”Aku mengerti, mungkin tidak
secepat itu. Tapi aku akan berusaha sehingga kelak kau bisa menyukaiku...”
Dia tersenyum lagi padaku, kali ini aku tidak tahu
apa makna senyumannya itu. Bukan senyum jenaka seperti biasanya, bukan senyum
getir, namun juga bukan senyum penuh kebahagiaan. Tapi apapun itu, aku sangat
senang sekarang ini.
Aku
selalu senang dan merasa nyaman saat berada di dekatnya. Aku menikmatinya, dan
aku tahu, dia juga berusaha memberikan yang terbaik untukku. Dia sedikit demi
sedikit merubah sikap dari seorang teman menjadi seorang kekasih. Dia mulai
terbuka denganku dan jarang menceritakan tentang gadis di mimpinya itu lagi
saat bersamaku.
Hingga
saat itu tiba...
Aku
bertemu dengan dia yang dulu pernah diam-diam ku sukai kala aku masih remaja.
Pertemuan itu entah kenapa terjadi dan mengguncang jiwa mudaku yang masih
labil. Kami bertemu di perpustakaan saat aku mencari sebuah buku untuk salah
satu mata kuliahku. Awalnya aku tidak memperhatikannya, lalu entah bagiamna dia
datang dan menyapaku pertama kali.
”Kamu Dina kan?”
Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Dan
menoleh ke sumber suara itu. Aku terpaku untuk beberapa saat ketika akhirnya
aku bersuara.
“Yoga?”
Dia terkekeh, “Ternyata memang benar kau. Apa
kabar?” tanyanya ramah. Namun ini bukan tempat yang tepat untuk berbincang.
Suara Yoga yang serak segera saja menarik perhatian orang-orang di dalam
perpustakaan, sehingga kami akhirnya keluar dari perpustakaan dan mencari
sebuah kedai minuman sekedar untuk tempat ngobrol.
”Jadi, kamu juga kuliah di kota ini?”
”Ehem... kamu juga kan?” tanyaku balik.
”Hehehe... gimana ya? Aku kuliah di luar kota,
kebetulan aja lagi pulang, terus kepikiran tugas. Akhirnya mampir kesini.”
”Rajin banget, liburan aja kepikiran tugas...”
kataku basa-basi.
Untuk sesaat mata kami bertemu, dan aku menemukan
getaran aneh yang aku rasa pernah ku rasakan saat dulu. Aku tersenyum kecut,
menyadari hal itu. Harusnya ini tidak boleh, aku sudah punya Arfan.
”Kenapa?”
”Kenapa apanya?”
”Kenapa kau tersenyum seperti itu?”
”Hahaha...” aku terkekeh, ”hanya lucu saja, saat
kita SMP aku pernah diam-diam menyukaimu dan tidak berani mengatakannya. Lalu
kita kembali bertemu setelah sekian lama...” kataku sambil mengaduk minuman
bersoda yang tadi aku pesan.
Aku menoleh ke arah Yoga yang sedang menatapku tak
percaya.
”Kenapa?” tanyaku mulai khawatir jika kata-kataku
berakibat buruk bagi pertemuan kami ini.
”Maafkan aku.”
”Untuk?” tanyaku mulai tak paham.
”Karena aku benar-benar tidak peka terhadap
perasaanmu. Dulu aku juga menyukaimu, tapi aku takut untuk mengungkapkannya.
Harusnya aku berani mengatakannya, dan mungkin keadaanya akan lebih baik dari
pada saat ini.”
Aku terkesikap mendengar ucapannya.
”Tapi mungkin,
bisakah kita mencobanya?” tanyanya penuh harap. Tatapan kami kembali bertemu. Aku berusaha menyelami apa yang tersembunyi
di mata cokelatnya yang hangat. Aku melihat ketulusan di matanya, ketulusan
yang belum pernah aku lihat di mata Arfan selama kami menjalin hubungan lebih
dari sekedar teman. Dan tanpa sadar, aku mengangguk.
Dia tersenyum lebar dan
memeluku singkat, lalu dia menggandeng tanganku dan menuntunku keluar dari
kedai itu, mengajakku berkeliling seolah ingin mengatakan kepada setiap orang yang
kami temui bahwa aku adalah miliknya.
Saat
bersama Yoga, aku merasa menjadi seseorang yang istimewa. Yoga sangat baik
kepadaku dan sangat perhatian kepadaku. Aku sangat nyaman saat bersamanya. Dan
dengan Arfan, aku tidak tahu. Mungkin karena Yoga, aku jadi membandingkan
antara Yoga dan Arfan. Arfan, belum pernah sekalipun ia menelponku terlebih
dahulu kecuali saat ku minta dia menelfonku dengan pesan singkat yang ku kirim
sebelumnya, Arfan belum pernah bersikap manis seperti Yoga. Dan aku mulai
menyadari, sikapku pada Arfan mulai berubah sedikit demi sedikit. Aku mulai
jahat kepadanya, aku sering menggetaknya dan memarahinya karena hal sepele,
persis seperti apa yang Tanteku lakukan padaku.
Semakin
lama, hubunganku dengan Arfan semakin renggang, sementara hubunganku dengan
Yoga berjalan dengan lancar. Satu bulan sudah sejak aku bertemu lagi dengan
Yoga, dan Yoga mengatakan bahwa besok ia akan kembali ke tempat asalnya
menuntut ilmu karena jatah liburannya telah selesai.
”Dina, ada yang ingin ku katakan padamu sebelum
aku pergi.” katanya di sela-sela kencan kami. Saat itu kami sedang mengunjungi
sebuah taman dengan kolam air mancur sebagai sentral dari aktivitas yang
orang-orang lakukan. Kami duduk santai di sebuah kursi menghadap langsung ke
air mancur itu.
”Apa? Perkataanmu seperti kau akan pergi saja
untuk selamanya...” candaku mencairkan atmosfer yang tiba-tiba menjadi keruh
kala ia memulai percakapannya pertama kali. Tapi ia sama sekali tidak
terpengaruh. Matanya yang biasanya memancarkan kesan hangat kini berubah
serius, menatap tajam ke titik retinaku dan menembus ke hatiku.
”Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya, tapi
aku harus mengatakan padamu yang sebenarnya.”
Aku menggigit bibir bawahku secara reflek,
menandakan bahwa aku sedang gugup. Yoga memegang tanganku hangat dan kini kami
duduk berhadapan.
”Sebenarnya, aku sudah mempunyai seorang kekasih
di tempatku menuntut ilmu disana. Kami sudah berpacaran lebih kurang selama
tiga tahun, orangtua ku telah mengenalnya, demikian pula orangtuanya telah
mengenalku. aku pulang kemari memang karena liburan dan ingin memberikan waktu
karena hubunganku dengannya sedang merenggang.” dia berhenti sejenak dan
memandangku sekilas. Melihat reaksiku yang mungkin terlihat sangat terkejut
akan kenyataan di depanku. ”Tapi, saat aku mengatakan bahwa aku menyukaimu saat
di SMP, itu semua benar. Dan tentang perasaanku padamu selama sebulan ini. Ini
bukan sebuah rekayasa. Aku senang saat bertemu kembali denganmu, dan di setiap
detik yang ku habiskan denganmu, sangat berkesan untuk ku. Dan aku rasa aku
telah jatuh cinta padamu.”
Aku mengerjap, tidak tahu apa yang harus aku
katakan. Jika dia memang mempunyai kekasih, begitupun aku, aku telah mempunyai
Arfan sebelumnya.
”Tapi, aku tidak bisa meninggalkannya. Aku
tersadar bahwa tindakanku salah. Semalam orang tuaku bertanya padaku tentang
keadaan gadisku disana. Mereka berkata ingin bertemu dengannya, dan aku sadar,
aku juga merindukannya. Mungkin aku orang yang brengsek karena menduakanmu. Kau
boleh membenciku, kau juga boleh marah padaku. Apapun yang akan kau lakukan
padaku, aku akan menerimanya dengan ikhlas.”
”Jadi, kau akan kembali ke gadismu dan melupakan
semua ini?” kataku dengan terbata.
Dia mengangguk. ”Maafkan aku, maafkan aku yang
telah menyakitimu. Mungkin tindakanku selama ini memang salah, tapi kau akan
menjadi kenangan yang tidak akan pernah bisa ku lupakan. Aku tahu itu.”
Aku tersenyum kecut. Teringat perkataan sahabatku
saat kami membahas tentang hukum karma di dunia. ’Kau akan menuai apa yang kau
tanam’ begitu katanya. Aku tidak menyangka bahwa hal itu akan menimpaku secepat
ini. Aku telah menduakan Arfan, dan aku sendiri ternyata mengalami hal yang
sama. Begitu mudahnya nasib mempermainkanku.
”Baiklah, tidak apa-apa. Aku mengerti.” aku
bangkit dan segera berlalu pergi dari hadapannya sebelum air mataku pecah di
hadapannya. Kini aku benar-benar merasa bersalah pada Arfan. Betapa bodohnya
aku.
Seperti
yang telah di rencanakan. Yoga kembali ke kota dimana ia bertemu dengan
gadisnya. Dan aku, belum berani untuk menemui Arfan. Aku bahkan tidak berani
menelfon atau mengiriminya pesan singkat seperti biasanya. Saat itu aku
tercengang saat handphone ku berdering dan menampakan sebuah pesan dari Arfan.
Ia ingin menemuiku. Maka di sore itu, aku bertemu lagi dengan Arfan. Aku
mengamati kedatangannya, bagaimana caranya berjalan, dan bagaimana ia tersenyum
jenaka pada pelayan yang memberikan sapaan selamat datang padanya. Aku
melambaikan tanganku dan dia berjalan ke arahku. Penampilanya saat ini biasa
saja seperti penampilannya sebelum-sebelumnya. Hanya dengan jeans berwarna biru
dongker dan kaus kemeja panjang dengan pola persegi berwarna merah marun.
”Kau sudah pesan
minum?”
”He’em... kau
mau pesan apa?”
Dia menggeleng.
“Aku tidak haus, tapi kalo aku haus nanti aku akan pesan sesuatu.” Katanya
lirih. Dia diam sejenak dan kemudian ekspresi wajahnya berubah.
“Aku ingin
mengakhiri hubungan kita.” Kata-kata itu bagaikan petir di tengah hari ketika
tidak ada hujan ataupun mendung yang menggelayuti langit biru yang cerah.
“Kenapa?” tanyaku lirih, meskipun aku sendiri
tidak pantas bertanya seperti itu. Aku dulu yang telah menghianatinya, dan jika
ia memang tahu perihal hal itu, maka dia memang pantas meminta hubungan ini
berakhir.
”Kau tahu kenapa...” katanya dengan suara parau. Sepertinya
dia berusaha untuk menahan emosinya. “Ini semua tentang kau dengan laki-laki lain…”
Aku tercengang. Ternyata dia memang tahu yang ku
perbuat.
”Aa... aaku minta maaf. Aku tahu aku salah, tapi
tidak bisakah kau memberi kesempatan untuk memperbaikinya?”
Dia terdiam dan menatap meja yang memisahkan kami.
Tersenyum miris.
“Mungkin kau berbuat seperti itu karena salahku
juga. Aku yang tidak pernah memberikan perhatian lebih padamu, hingga akhirnya
kau mencari orang lain yang seperti itu. Tapi tidak apa-apa, aku tidak akan
marah, dan kau bisa bersama dengan dia...” dia tersenyum saat mengakhiri
perkataannya.
Aku membatu beberapa saat. Beginikah akhirnya?
Beginikah hasil perbuatanku. Inikah hukum karma yang ku terima?
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku sadar aku
telah menyakitinya. Aku telah menyakiti orang yang paling berharga dalam
hidupku.
Bukannya aku tidak berjuang
untuk mempertahankan Arfan untuk tetap di sisiku setelah itu, aku tentu saja
dengan usaha dan upayaku berusaha untuk meyakinkannya. Namun semuanya
sia-sia. Sepertinya aku memang telah menyakitinya begitu dalam.
Dan hari ini, setelah
bertahun-tahun berlalu. Aku kembali menemukannya, kali ini aku melihatnya
sebagai teman. Dia berdiri dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya,
menggenggam erat tangan halus yang sejak dulu ia mimpikan untuk ia genggam.
Matanya menatap gadis itu dengan penuh cinta. Ya, gadis itu. Gadis yang dulu
katanya hanya ada di setiap mimpi-mimpinya saja. Sekarang mimpi itu telah
terwujud.
Aku tersadar ketika seseorang
memegang pundakku dan menggandengku untuk pergi meninggalkan aula resepsi Arfan
dan gadisnya. Aku tersenyum saat sampai di bibir pintu, mengamati kedua
pasangan yang berbahagia itu dan ikut mendoakan kebahagiaan mereka.
Selamat berbahagia Arfan.
Terima kasih karena pernah mampir di hatiku, dan maaf karena aku telah
menyakitimu...
Dia yang kini menggandengku
menepuk pipiku lembut, menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku tersenyum
lembut padanya dan menggenggam erat tangannya. Dia membalas senyumanku. Dan begitulah
akhirnya... aku menemukan cinta yang baru, dan Arfan serta Yoga juga telah
menemukan cintanya masing-masing.
wew,..
BalasHapusdi publikasi yakinn,. keren keren keren
tak kira bog'e sopo,..
ahahaha...
BalasHapusmuuciwh muuciwh, :D
ternyata ceritane emang miris ya...
hehm,