“Hhah?” tanyaku
tak percaya. Tawa ku berderai kemudian dan aku menyipitkan mataku untuk
menatapnya, benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia tanyakan padaku.
Untuk beberapa lama, tawa ku berderai tanpa bisa ku hentikan, namun melihat
ekspresi wajahnya yang sepertinya ingin sekali melumatku habis-habisan dengan
terpaksa aku menghentikan tawaku.
“Tidak.” Kataku
tegas, “aku tidak percaya dengan hal itu…”
“Kenapa?”
tanyanya seolah menuntut penjelasan tentang pernyataanku.
“Bagaimana aku
mengatakannya ya?” aku mendesah frustasi dan menatap pria di depanku nanar.
“karena aku tidak mengerti, bagaimana tiba-tiba hal itu terjadi sedemikian
rupa? Maksudku, jika kita mencintai seseorang, setidaknya kita telah
mengenalnya terlebih dahulu, apa yang dia sukai, apa yang dia benci, apa warna
kesukaannya, apa makanan kesukaannya, dan lain sebagaimanya. Paling tidak kita
harus mengenal sifat dari orang yang kita cintai bukan? Jadi, bagaimana jika
dengan pandangan pertama kau bisa memutuskan bahawa kau bisa mencintai
seseorang?” aku tersenyum padanya di akhir kalimatku yang panjang.
Tapi ekspresi
pria itu tidak kunjung berubah, masih datar dan menuntut penjelasan yang lebih.
“Apa?” tanyaku
kemudian.
Dia menggeleng,
namun aku tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
“Aku
mencintaimu…” katanya lembut, keluar begitu saja dari bibirnya yang tipis.
Aku kembali
menyipitkan mataku, tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi pria di depanku
ini. Aku kini tidak kaget lagi jika pria di depanku ini mengatakan hal itu
padaku. Hal itu sudah ia ucapkan saat pertama kali kami bertemu, saat aku
pertama kali datang ke kantor ini. Sejak pertama kali aku di perkenalkan oleh
Mbak Desi, orang yang bertugas mengurus karyawan pindahan dari kantor cabang ke
kantor pusat.
“Dewa…” desahku
putus asa, “sampai saat ini aku belum yakin dengan perasaanmu padaku. Kau tahu?
Kau terlalu mudah mengatakan hal itu padaku…”
“Apa mengatakan
hal itu harus sulit? Kau tahu aku mencintaimu saat pertama kali aku melihatmu…
kau tidak tahu bagaimana rasanya kan?”
Aku agak sedikit
tersinggung dengan perkataanya barusan. Maksudnya, apa maksud dia mengatakan
bahwa aku tidak mengerti? Aku mengerti, aku juga pernah jatuh cinta pada
seseorang, walaupun saat ini harus aku akui bahwa sulit sekali bagiku untuk
mencintai seseorang.
Bayangan dia yang pernah kucintai melintas kembali di benakku, dan itu
menjadikan rasa sakit yang selama ini ku coba untuk ku obati kembali hadir.
Aku tersentak
saat tangan besar Dewa menggenggam tanganku.
“Erin, aku serius dengan yang ku katakan. Tidak dapatkan
kau melihatnya?” dia menatapku lekat dan pandangan kami beradu untuk yang
kesekian kali, dia membawa daguku terangkat dan aku bisa dengan mudah melihat
retina matanya yang hitam dan bersinar, kembali melihat mata itu yang kurasa
benar-benar hanya tertuju padaku.
“Tidak…” kataku
lirih. Aku melepaskan diri darinya dan bangkit dari tempat duduk ku. Mengambil
tas yang tersampir rapi di samping meja yang beberapa saat lalu kugunakan untuk
merancang proyek baru dengan Dewa dan beberapa orang lainnya.
“Aku harus
pulang…” aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukan waktu untukku pulang.
Lagipula jam kerja sudah berakhir 15 menit yang lalu.
Aku melangkah
pergi dan dengan sebisa mungkin tidak berbalik pada pria yang kutahu masih
terpekur di tempat yang sama.
Aku sudah berada di halte bis ketika
gerimis turun membasahi bumi. Gerimis kecil, selalu memberikan rasa tersendiri
untuk ku, dan selalu membuat hatiku kembali teriris. Pandanganku menerawang dan
bisa ku lihat sosok pria yang sangat kucintai lebih dari diriku sendiri menikah
dengan seseorang yang juga kucintai, adik kandungku sendiri. Aku merasa di
khianati saat itu dan rasa marah selalu saja muncul ketika aku melihat adikku
ataupun pria itu. Aku benar-benar tidak pecaya, bagaimana bisa mereka melakukan
hal sekeji itu padaku. Dosa apakah yang ku perbuat sampai mereka melakukan hal
itu padaku?
Aku menyeka air mata yang tiba-tiba
membasahi wajahku. Membuatku tersadar dari lamunanku dan menemukan bus yang
akan membawaku pulang. Aku duduk di samping jendela, dan kembali mengamati
jalanan kota
yang masih ramai oleh hiruk pikuk manusia dengan segala aktivitas yang mereka
lakukan.
Bus berhenti tatkala tiba di sebuah halte, sepasang muda-mudi
bergandengan dengan mesra memasuki bus yang kunaiki, mereka duduk di depanku
dan terus menerus tertawa-tawa kecil, seolah menertawakan nasibku yang
menyedihkan.
Aku menggigit bibir bawahku, menahan air mata yang mungkin akan menetes
karena kehampaan yang kurasakan saat ini. Aku duduk tertunduk dan kurasakan
seseorang menempati kursi di sebelahku yang kosong dan kemudian menggenggam
tanganku.
Aku terhenyak melihat apa yang dia lakukan padaku. Aku mendongakkan
wajahku dan melihat senyuman teduh di wajah yang sudah sangat ku kenali. Dewa.
“Kau tidak
sendirian, apa aku sudah bilang ya kalau aku mencintaimu?” dia tergelak sambil
tetap menggenggam tanganku.
“Apa yang kau
lakukan?”
“Aku tidak
tenang membiarkanmu pulang selarut ini. Kau pasti akan menolak jika ku katakan
akan mengantarmu pulang. Jadi aku harus bagaimana?” dia menggaruk pelipisnya
dan kemudian tersenyum lebar padaku, “Jadi aku memutuskan mengikutimu
diam-diam, tapi kurasa itu tidak terlalu efektif, dan aku memutuskan untuk
duduk di sampingmu….”
Dia masih
menggenggam tanganku dan duduk dengan tenang di sampingku. Aku menatapnya ragu,
memastikan apakah Dewa benar-benar ada di sampingku dan benar-benar sedang
menggenggam erat tanganku.
“Kenapa?”
tanyanya tak mengerti saat aku terus menerus menatapnya tanpa berkedip.
“Tidak…” kataku
parau, “Tidak ada apa-apa…” aku membuang muka dan kembali menatap menembus
jendela, mengamati jalanan yang kini sudah sepi karena telah meninggalkan pusat
keramaian. Untuk sesaat, aku berusaha melepas genggaman tangan Dewa, tapi
ternyata itu sia-sia saja. Dia sama sekali tidak membiarkan tanganku terlepas
dari genggamannya.
Dewa, dia pria yang baik. Aku tahu
itu, teman-teman kantor yang lain juga tahu akan hal itu. Dia tampan dan orang
yang menyenangkan, dan kadang-kadang dia bersikap konyol yang membuat
teman-teman lain tergelak. Mbak Desi berkata, Dewa tidak seperti biasanya saat
pertama kali bertemu denganku, dia menjadi pendiam dan setelah beberapa waktu,
dia datang menemuiku dan mengatakan jika dia mencintaiku pada pandangan yang
pertama. Awalnya aku menganggap itu sebagai permainan untuk pendatang baru
sepertiku, dan aku tidak begitu menanggapinya. Tapi entahlah, setiap hari
setelah pertemuan pertama itu, Dewa tidak henti-hentinya mengatakan hal itu
padaku. Aku bercerita mengenai hal itu pada Mbak Desi dan menanyakan tentang
Dewa. Mungkinkah dia melakukan hal yang sama pada tiap wanita yang ia temui.
Mbak Desi hanya tersenyum dan mengatakan jika Dewa benar-benar mencintaiku,
apalagi melihat apa saja yang telah Dewa lakukan padaku. Dia sering sekali
bersikap romantis padaku, tak peduli kapan dan dimana kami berada.
“Kau sakit?
Kenapa dari tadi diam saja?” tangan hangat Dewa yang tidak menggenggam tanganku
menyentuh dahiku lembut, membuatku tersentak dan menatapnya yang sedang khawatir
memandangku.
“Eh, tidak…
tidak apa-apa…” kataku kaku, walaupun dia sering sekali bertindak romantis
terhadapku, tapi sampai saat ini aku belum terbiasa dengan hal itu.
Dewa menepuk
pundaknya, “Tidurlah, kalau sudah sampai akan ku bangunkan….” Dia tersenyum
lebar.
Aku menggeleng
lemah. “Aku tidak mengantuk…”
“Ooh, baiklah…”
“Dewa….” Kataku
lirih.
“Yaa?” dia
menatapku berbinar, seolah seperti mendapatkan harta karun yang luar biasa
ketika aku menyebut namanya.
“Kenapa kau
mencintaiku sampai seperti ini? Kau tidak mengenalku sebelumnya kan? Aku tidak tahu apa
yang kau sukai dariku.”
Dewa tergelak,
menampakan barisan giginya yang rapi dan lesung pipinya yang membuatnya menjadi
lebih mempesona. Dewa memang mempesona, dan banyak wanita yang aku tahu, memendam
rasa padanya.
“Aku tidak
tahu…” jawabnya santai. “Yang aku tahu, saat aku melihatmu, di sini…” dia
menujuk dadanya. “seperti ada kupu-kupu yang terbang di dalamnya. Seperti ada
matahari yang tumbuh di dalamnya dan membuatku hangat. Dan seperti ada desiran
angin segar yang berhembus di dalamnya. Aku mungkin tidak mengenalmu
sebelumnya, tapi tiba-tiba saja rasa itu hadir, dan aku tahu… kau adalah the one yang aku cari selama ini…”
“Bagaimana…
bagaimana jika ternyata aku bukanlah the one yang kau cari? Mungkin kau
salah?”
Dia menggeleng,
“aku mungkin bisa salah… tapi hatiku tidak pernah salah….”
Dia menatap tanganku
yang saat ini sedang berada di genggamannya dan mengangkatnya ke atas, “Erin… aku mencintaimu…” katanya dalam dan kemudian dia
mencium punggung tanganku, membuat sesuatu di bagian hatiku berdesir.
“Dewa…”
“Jangan berkata
apa-apa, kau tidak boleh memaksakan dirimu.” Dia tersenyum lembut padaku, dan
selanjutnya, keheningan muncul di antara kami.
Dewa mesih menggenggam tanganku, dan
berjalan di sampingku, menemaniku berjalan menuju kediamanku. Tidak ada kata
yang terucap di antara kami, hanya keheningan, keheningan yang rasanya hangat.
Bukan kehebingan yang mencekam yang selama ini aku rasakan seorang diri.
“Sudah sampai…”
katanya santai saat kami berada di depan sebuah rumah berpagar putih.
“Masuklah, dan
lekas tidur. Kau kelihatan lelah sekali hari ini…”
“Baik…” kataku
pendek, aku kemudian menatap tanganku yang masih saja di genggamnya.
“Ah, benar…
maafkan aku…” dengan gerakan perlahan, Dewa melepaskan tanganku, seolah berat
sekali untuk melepasnya.
“Aku pulang…”
katanya berat, dan kemudian dia berbalik hendak meninggalkanku.
Aku menatap punggungnya, dan beralih menatap tanganku yang kini telah
bebas. Entah kenapa ada rasa berat yang menjalari hati ini ketika dia melepas
genggamannya.
“Dewa.” Ucapku
tanpa sadar. Aku segera membungkam mulutku dan aku sadar bahwa sudah telambat
untukku melakukan itu. Dewa berbalik dan dengan langkah cepat menghampiriku.
“Ya?”
“Apakah… apakah
aku boleh mencintaimu dan menjadikan the one seperti yang kau katakan?” kataku
ragu.
Dewa mengangguk
dan tersenyum lebar padaku. Merentangkan tangannya dan merengkuhku ke dalam
pelukannya.
“Tentu, tentu
saja boleh….” Bisiknya tepat di samping telingaku. “Aku mencintaimu Erin…”
“Aku tahu…”
jawabku sambil tersenyum di dalam pelukannya. Aku tidak begitu mengerto
perasaanku padanya, tapi aku merasa nyaman ketika berada bersamanya dan mungkin,
aku mulai mencintainya seiring dengan rasa cintanya yang besar yang selalu
mengalir untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar