Suasana sekolah sudah hampir sepi hanya ada beberapa anak yang tidak jelas entah sedang melakukan apa. Aku
memandang mereka sejenak, disudut ruangan terdapat sekelompok anak perempuan yang sedang bergumul dengan buku-buku yang tercecer didepannya tak karuan. Dan disudut
lain aku melihat
sepasang sejoli tertawa-tawa
riang, tak peduli
pada tiap tatapan iri yang
memandang mereka. Aku menguap lebar, bosan. Kuangkat tubuhku yang sedari
tadi ku senderkan
diatas meja. Sebuah novel
dengan tebal kurang
lebih dua ratus
halaman telah selesai
ku baca. Sedangkan seseorang yang duduk
tak jauh dariku masih saja asik
dengan soal-soal fisika yang
tadi kuberikan. Penampilannya sekarang sudah tak
karuan, rambutnya acak-acakan dan beberapa kali ia
membenarkan posisi kacamatanya yang lagi-lagi
melorot
ke hidungnya yang mancung.
Aku tertawa kecil, teringat kesombongannya beberapa hari yang
lalu, saat aku
dengan usil bertanya
padanya,
“Hei
Ken Karuizawa, kenapa kau
bisa begitu pandai?
Kau bisa melahap habis soal-soal
pelajaran eksak seakan-akan
itu adalah makan
pokokmu sehari-hari.” Tanyaku kesal karena
saat itu, lagi-lagi
aku mendapat nilai yang
mengerikan untuk pelajaran fisika, dan lagi-lagi
ia mendapat nilai sempurna.
Saat
itu, dia yang
sedang bersantai membaca, langsung menutup bukunya dan berpaling
padaku. Dia tersenyum,
manis sekali. Senyum yang
bisa membuat orang yang
melihatnya langsung jatuh hati
padanya.
“Wah
wah. . . . jadi menurutmu
aku pandai ya?” tanyanya
santai, tapi sepertinya ia mengejekku.
Jika dia, siswa yang
sejak kedatangannya ke sekolahku
selalu masuk peringkat
tiga besar di sekolah bukan seorang
yang pandai, lalu aku
yang hanya berhasil
masuk peringkat sepuluh besar di
kelas itu apa?
aku mendengus kesal memikirkannya.
Dia tersenyum lagi, mengubah
posisi duduknya berhadapan denganku, dan memiringkan
kepalanya. Ia lalu
menepuk pipiku singkat,
saat itu, entah
kenapa seperti ada jutaan
listrik yang masuk
kedalam tubuhku. Tapi aku
berusaha untuk mengabaikannya.
“Eeem,
aku tidak tahu
kenapa aku pandai,
mungkin itu sudah
takdir,” katanya sambil tertawa
kecil. “Tapi jika kau
bertanya kenapa aku
jago mengerjakan soal-soal eksak, mungkin itu karena
aku sering latihan.
Hanya itu.”
Aku
membulatkan mataku mendengar
jawabannya. “Hanya itu?”
Ken
tersenyum kecil, “Benar, hanya itu.
Tapi sekarang terbukti kan? Aku jadi
jago mengerjakan soal-soal eksak, bahkan mungkin
sekarang tidak ada
satu soalpun yang tak
bisa kukerjakan.” Katanya menyombongkan diri.
Aku
mencibir lirih, “sombong
sekali”, sedangkan ia malah
tertawa lebar.
“Baiklah,
akan kucarikan soal-soal yang tak
mungkin bisa kau
pecahkan!” batinku saat itu.
Dan beberapa hari itu
aku mencoba mencari diinternet dan aku
menemukan soal-soal itu., Soal-soal
yang sekarang sedang Ken
hadapi, dan bahkan
sekarang belum selesai
Ken kerjakan.
Aku kini berdiri disampingnya, melirik pekerjaannya sekarang. Dan mengacak
rambutnya yang memang
telah acak-acakan.
“Ck.
. . ck. . .ck. . . sepertinya tuan Ken
merasa kesulitan ya?” Dia
mendengus kesal dan aku
mulai tertawa. “sudahlah, tenggang waktu yang
kuberikan hampir habis.”
Kataku meledek, tapi ia
sama sekali tidak
menggubrisnya. Sudahlah, terserah dia saja.
Tiba-tiba terdengar sorakan, ternyata sorakan supporter pertandingan bola yang
sedang berlangsung. Aku segera
tertarik dan membuka
jendela untuk menontonnya. Kelasku ada dilantai
tiga gedung sekolah
ini, dan dari
sini aku bisa
melihat arena pertandingan
dengan baik. Aku
menjulurkan leherku dan langsung
asik menonton pertandingan yang sedang
berlangsung. Dua puluh
siswa laki-laki asik berlarian
dan berebut bola, sedangkan dua pemain
lainnya sebagai kipper berdiri didepan gawang. Diantara para pemain
bola itu yang
paling menonjol diantara yang lain
adalah Jimmie. Selain itu,
dia juga yang
paling populer
dan mempunyai supporter terbanyak. Ia orang
indo, ayahnya adalah orang
Perancis dan ibunya orang
Indonesia. Ia banyak
mewarisi paras ayahnya
yang orang Perancis.
Kulitnya memang putih
walaupun tidak seputih
kulit ayahnya, perpaduan dengan kulit
ibunya yang orang
Asia benar-benar membuatnya tampan. Aku tahu itu
kerena aku pernah
bertemu dengan orangtuanya
sekali. Rambutnya berwarna cokelat terang seperti
Ayahnya. Jimmie juga
mempunyai mata abu-abu
ayahnya yang hangat,
tapi bentuk mulut
dan
hidungnya seperti ibunya yang
cantik. Parasnya begitu sempurna
dan tentu saja,
itu membuat banyak gadis
tergila-gila padanya. Apalagi dengan kemampuan
olahraganya dan dipadu
dengan kecerdasan otaknya yang luar
biasa. Lengkap sudahlah kesempurnaan yang melekat
pada dirinya.
Supporter Jimmie bersorak
riang, rupanya ia baru
saja mencetak satu goal digawang lawan. Aku
ikut bertepuk tangan.
“Bravo
Jimmie!” teriakku dari jendela. Entah suaraku
terdengar olehnya atau tidak.
Tapi sepertinya ia mendengarnya,
karena tak berapa
lama ia mendongakkan
kepalanya dan tersenyum.
Aku lalu mengacungkan
jempolku untuknya.
“Hei,
bisakah kau diam?
Kau ini, membuat konsentrasiku hilang saja!”
kata Ken mencibirku.
Aku membalikan badanya dan melihat
penampilannya yang semakin
tidak karuan. Aku tertawa
melihatnya.
“Wah.
. . wah. . . kau sudah
menyerah ya?” ledekku
tanpa ampun. Tak
lama, suara peluit berbunyi, sepertinya pertandingan telah selesai.
Aku membalikan badanku memandang langit jingga
yang
terbentang didepanku. Begitu indah,
begitu mempesona. Para pemain dan
supporter perlahan-lahan mulai meninggalkan lapangan sepak bola.
Kulirik jam tanganku, sudah sore
ternyata. Angin dingin berhembus
dan menerpa wajahku, begitu menyenangkan.
Tapi dengan begini,
sudah waktunya untuk pulang.
Aku menutup jendela kelasku dan berjalan mendekati Ken. Merebut
kertas ditangannya. Ia mendengus
kesal.
“Sudahlah,
waktu habis. Besok
akan
kuberikan kunci jawabannya.” Kataku pada akhirnya
tak tega melihatnya
menjadi frustasi juka tidak
tahu cara menyelesaikannya.
“Dan karena kau
gagal menyelesaikannya, besok kau harus
mentraktirku makan siang dikantin.” Kataku sambil
membereskan tas ku dan
kemudian memakainya dipunggungku. Aku berjalan menuju pintu
tanpa menghiraukannya, barulah setelah aku telah
berada diambang pintu, kulirik
Ken sekilas. Dia masih
tampak kacau, tapi
sekarang sedang membereskan
tasnya.
“Kenapa
kau lelet sekali,
ayo cepat!” kataku sedikit
membentaknya. Ia mendengus
sebal dan aku
tertawa lagi, sepertinya hari ini
aku terlalu banyak tertawa,
bisa-bisa kantong tertawaku habis. Aku mulai
berjalan dan tidak
berapa lama Ken
telah menyusulku dan berjalan
pulang bersamaku.
“Sepertinya
besok aku akan
bengkrut.” Katanya sambil mendengus
pasrah.
xxxxxx
Saat itu, awal semester
empat. Sebelumnya sudah terdengar
kasak-kusuk akan ada murid pindahan
disekolahku. Tapi kami
tidak tahu bahwa anak
itu akan menjadi
teman sekelasku. Dia adalah Ken
Karuizawa atau Ken
Raditya, dengan sekejap,
kelas sudah menjadi
gaduh
dibuatnya, Rendi ketua kelasku
sangat senang akan
kedatangan Ken, karena menurutnya
dengan begini kelasnya tidak akan
kalah dengan kelas
sebelah yang sebelumnya
telah mendapatkan Jimmie yang
berdarah Perancis. Kedatangan Jimmie memang
menggemparkan, apalagi karena ia
adalah pindahan dari Perancis
langsung, tapi ia
dengan cepatnya bisa mengerti
dan mempelajari bahasa Indonesia,
guru bahasaku saja sampai terkagum-kagum dibuatnya. Dan sekarang
kelas kami kedatangan siswa berdarah
Jepang. Penampilannya saat itu
begitu mempesona, setidaknya saat itu
aku juga terpesona
olehnya, matanya berwarna cokelat dengan bulu
matanya yang lentik
dan tebal. Rambutnya hitam lebat dan
modelnya seperti Shinichi Kudo jika
kau tahu komik
Detektif Conan. Badanya tegap berisi dan
proposional, ia juga
murah senyum. Dia pindahan
dari Bandung, Rendi agak
sedikit kecewa mendengar
hal ini. Ia
hanya pernah tinggal
di Jepang sampai
usianya lima tahun,
dan karena Ibunya
yang berdarah Jepang asli
meninggal, Ayahnya memutuskan untuk merawat
Ken di Indonesia,
tempat kelahiran Ayahnya. Ayahnya tidak menikah
setelah itu. Jadi hingga
sekarang Ken hanya
tinggal berdua dengan Ayahnya, dan kadang Ayahnya menyuruh seorang bibi untuk
membantu pekerjaan rumah yang
tidak bisa Ken
selesaikan. Mungkin itulah sebabnya
Ken mempunyai waktu luang
yang banyak yang
bisa ia gunakan
untuk mencoba soal-soal eksak.
Setelah perkenalan itu, wali kelas mengijinkan
kami untuk bertanya pada Ken,
dan seperti dugaanku, hampir semua
anak mengangkat tangannya, dan entah
siapa yang memulainya,
seseorang mulai bertanya
disusul dengan beragam
pertanyaan lainnya, mulai dari
pertanyaan yang tidak
penting sampai pertanyaan
yang konyol. Ken tertawa melihat situasi kelasku saat itu,
tawanya begitu renyah
dan menyenangkan. Matanya hanya menyisakan
sebuah garis saat
ia tertawa
dan hal itu
sungguh membuat ia semakin
menawan. Tak lama,
anak-anak lain juga ikut
tertawa. Wajar saja,
karena tawa Ken
adalah jenis tawa
yang menular.
“Tenanglah,
kita masih punya
banyak waktu untuk
saling mengenal. Tidak usah terburu-buru seperti itu.” Katanya
setelah tawanya mereda. Ia lalu
tersenyum. Senyum yang
juga mempesona, tak kalah
dengan senyuman milik Jimmie.
Aku yakin ia
juga akan menjadi
orang terkenal disekolah ini. Pasti. Hari itu
juga, Ken didaulat
menjadi teman sebangku
ku. Sebenarnya aku tidak
keberatan jika saja
teman-teman yang lain
tidak menghujaniku dengan tatapan
iri. Tapi ini
perintah wali kelasku sehingga aku tidak
bisa menolaknya. Aku ditugaskan
untuk membantu Ken beradaptasi
disekolah ini. Aku yang
bertugas mengurusi masalah buku-bukunya dan keperluan
lainnya. Seharusnya ini tugas
Rendi, tapi saat itu
ia sudah terlalu sibuk dengan
tugas sebagai ketua Osis.
Setelah itu, kami
mulai berteman akrab dan
beberapa kali aku
dibantu olehnya terutama saat ulangan
tentunya. Dan dengan
segera, aku mulai
bisa melihat persamaannya dengan Jimmie.
Mereka sama-sama murid pindahan
yang berdarah campuran. Mereka sama-sama
tampan. Kemampuan akademis mereka juga
sama-sama bagus. Bidang
olahraga mereka kuasai. Lama-lama aku berfikir,
kenapa bisa ada
orang yang begitu sempurna seperti mereka? Tapi bagaimanapun
mereka pasti punya
kekurangan juga, pikirku
saat itu.
xxxxxx
Bel istirahat berbunyi indah ditelingaku.
Dengan segera aku
menyeret Ken menuju
kantin. Perutku sudah keroncongan
sejak tadi, cacing diperutku sepertinya sudah mengadakan pawai besar-besaran.
Sudah sejak tadi
perutku berbunyi nyaring, dan sepertinya
Ken mendengarnya sekilas dan hanya
tertawa pelan.
“Memangnya
kau sudah tidak
makan berapa abad
sih?” tanyanya saat kami telah
duduk di kantin,
dan aku telah
memesan beberapa makanan.
“Semalam
aku terlalu lelah untuk
makan malam, dan
tadi pagi aku
bangun kesiangan. Jadi tidak sempat
sarapan.” Jelasku.
“Itukan
salahmu,” katanya mengejek.
Tak
lama setelah itu pesananku
berangsur-angsur datang. Aku memandang
makanan itu dengan
mata berbinar dan Ken
menganggap hal itu
lucu, jadi ia
tertawa lagi. Kenapa
orang ini selalu
saja tertawa? Tanpa segan-segan aku melahap
habis semuanya, sedangkan Ken hanya melihatku
ngeri. Tidak menyangka
selera makanku begitu besar,
karena badanku bisa dikatakan
kurus, walau tidak
terlalu kurus juga.
Badanku memang aneh,
seberapa banyak aku
makan, perutku tidak akan
menjadi buncit atau mengembang,
sepertinya cacing didalam perutku benar-benar sangat buas.
Aku harus ingat
untuk meminum obat cacing
sepulang sekolah nanti.
“Kau
mengerikan.” Kata Ken
dengan
suara mendesis, aku tak
mempedulikannya. Tak berapa lama, handphone-nya
berbunyi nyaring dan Ken
mengangkatnya sebentar. Setelah itu ia lalu meletakannya didepanku. Aku yang
saat itu telah
menyelesaikan makan siang
sekaligus sarapanku melirik sekilas handphone Ken. Wallpaper
handphone-nya adalah sebuah Pohon
momiji berdaun jingga yang
berguguran, dibelakangnya gunung Fujiama
berdiri gagah. Ken
yang sadar apa
yang sedang kulihat
kemudian berkata,
“Ini
handphone, bukan makanan.
Jika kau masih lapar
pesan saja lagi.”
“Sialan
kau ini.”
Aku
melihatnya tertawa lagi. Sejak
pertama bertemu dengannnya aku belum pernah
melihatnya bersedih. Tapi aku
juga tidak ingin
melihatnya sedih. Pasti
sangat tidak menyenangkan
jika hal itu
terjadi.
“Kenapa
wallpaper handphone-mu pohon momiji
yang sedang berguguran?”
“Karena
Ayah bilang, ibuku sangat
suka melihat daun-daun momiji yang
berguguran. Kurasa aku bisa
sedikit
mengingatnya jika aku melakukan
hal yang sama
dengannya.” Katanya santai, tapi aku menangkap
nada kerinduan dari suaranya. “Kelak, aku akan
pergi kesana dan
melihatnya langsung.”
Aku
yang sedang minum
tersedak dibuatnya, “Kau mau
ke Jepang?”
Dia
tertawa kecil, “Tentu saja, disana aku juga
punya keluarga, ada adik
dari ibuku dan beberapa
saudara lain. Selama
ini kami masih
berhubungan walau lewat telepon.
Mungkin aku akan
kuliah disana setelah
lulus nanti.”
Tenggorokanku
tercekat, dadaku
terasa sesak dan mataku
mulai panas. Tapi
aku tidak tahu
kenapa.
“Apa
kau akan kembali?”
tanyaku gugup.
“Entahlah.”
Jawabnya lirih, kini
matanya yang cokelat
menatap mataku penuh
arti. Dan entah kenapa
aku takut untuk kehilangan dirinya.
xxxxxx
Aku menghentak-hentakan kakiku sambil
tak henti-hentinya memarahi Rendi. Hari
ini, dengan seenaknya ia meninggalkan
kewajibannya membuat laporan bulanan kelas padaku.
Sedangkan ia dengan enaknya
pergi berkencan dengan pacarnya.
Betapa tidak adilnya. Dengan terpaksa
kubuka laptopku dan mulai mengerjakannya,
laporan ini harus
diserahkan hari ini.
“Sudahlah,
akan aku temani.”
Kata Ken yang
masih duduk disampingku.
Ia lalu membuka
bukunya dan mulai
membaca,
sementara aku masih meneruskan membuat laporan itu. Ken
mulai bersenandung lirih, dan sepertinya hanya aku
dan Ken yang bisa
mendengarkannya, saat itu
masih ada beberapa
anak didalam kelasku. Lalu aku teringat
percakapan kami saat istirahat tadi. Aku berhenti
mengetik dan memandang
Ken sedih. Sedih ia
akan pergi dan
tidak tahu kapan
ia akan kembali.
“Hei,
kenapa berhenti?” katanya saat sadar
aku memperhatikannya, Dahinya berkerut
memandangku, aku segera membuang muka dan
berdiri.
“Aku
akan ketoilet sebentar.” Kataku tanpa
memandang wajahnya dan bergegas berlari. Aku takut
aku akan menangis didepannya.
Entah kenapa, kakiku membawaku
ke tepi lapangan, tempat pertandingan
sepak bola sedang berlangsung.
Disana aku melihat
tim Jimmie sedang
bermain dengan lawan
yang berbeda. Tapi saat
ini aku sedang tidak minat untuk menonton
pertandingan itu, jadi
aku terus berjalan. Aku dikejutkan oleh teriakan
Jimmie, dan dengan
cepat aku tahu
kakinya terluka. Aku yang
saat itu sedang
berada dekat dengan
ruang Uks segera
berlari dan mengambilkan
perban serta obat merah.
Teman-temannya menuntunya ke tepi lapangan dibawah sebuah pohon
yang rindang. Aku segera
mendekatinya untuk mengobatinya
dan setelah memastikan keadaan Jimmie baik,
mereka meninggalkannya dan meneruskan pertandingan. Hari itu sangat
sepi, tidak ada supporter
Jimmie yang biasanya
menyemangatinya. Aku dengan
segera melilitkan perban dikakinya setelah kuberi obat
merah.
“Thanks
Ren. Aku sudah
bilang pada mereka
untuk mempunyai tim medis, sekedar berjaga-jaga jika terjadi
hal yang tidak
diinginkan. Tapi mereka bilang
para supporter saja sudah
cukup. Mereka bisa
dimintai tolong jika ada
hal darurat.” Katanya panjang lebar.
Aku
tertawa, perlahan aku tidak
merasa sedih lagi.
“Baiklah,
sudah selesai.” Kataku sambil
menggunting perban yang
kepanjangan. “Aku harus
kembali ke kelas.” Lanjutku sambil berdiri, tidak enak rasanya
meninggalkan Ken seorang diri.
“Tunggu!”
Jimmie mencegahku dengan menahan
lenganku. “Aku ingin
mengatakan sesuatu.”
“Baiklah,
katakan saja.” Kataku, dan kembali
duduk disampingnya. Tiba-tiba Jimmie menjadi gugup. Aneh sekali.
“Emmm,
Rena. Sebenarnya aku telah
lama memperhatikanmu. Sepertinya aku suka padamu.”
Katanya mantap.
Sedangkan aku hanya melongo
dibuatnya.
“Apa
kau mau jadi
pacarku?” katanya kemudian. Angin berhembus pelan menyadarkanku.
Jimmie,
memegang lembut tanganku dan menatapku
dalam. Selama ini
Jimmie dan aku
memang cukup dekat
dan berteman baik. Tapi
aku tidak mengira
bahwa ia menyimpan
rasa untuk ku. Mata
abu-abunya kini bertatapan dengan mataku.
Dan entah kenapa saat
itu, aku melihat
mata cokelat Ken dan
berharap Ken yang
mengatakan hal itu
padaku. Akhirnya aku sadar,
selama ini aku
menaruh rasa pada Ken.
Dengan lembut aku melepaskan
tanganku dari Jimmie,
dan tersenyum padanya.
“Maaf
Jimmie, aku tidak
bisa menjadi pacarmu. Aku benar-benar minta maaf. Karena
bukan kau yang
ada dihatiku.” Kataku lirih
sambil menunjuk dadaku. Tapi aku
yakin Jimmie bisa mendengarnya.
Aku bisa merasakan Jimmie terkejut,
tapi ia segera bisa mengendalikan
perasaannya.
“Baiklah,
tidak apa-apa. aku tidak
bisa memaksamu.” Dia tersenyum tipis, terlihat bahwa itu adalah senyum
yang dipaksakan.
Aku
juga tersenyum dan pamit untuk pergi
meninggalkannya.
“Rena,”
panggil Jimmie saat
aku mulai melangkah, aku menoleh.
“Jika
orang yang ada dihatimu itu mengabaikanmu atau melakukan
hal yang buruk terhadapmu, aku
selalu ada untukmu.”
Aku
membulatkan mataku sekejap dan tahu ia hanya berbuat baik
padaku.
“Terima
kasih Jimmie,” kataku lirih
dan berlalu meninggalkannya.
Aku sudah cukup lama meninggalkan
Ken, sekarang ia pasti
sangat kesal padaku. Kelas sudah
lenggang saat aku masuk. Hanya
ada
Ken yang sedang mengetik
dengan laptopku. Aku mengintip
dengan hati-hati, bersiap-siap menerima omelan Ken.
Saat itu langit sudah berwarna
Jingga seperti daun momiji.
Cahaya memancar dari jendela yang tidak tertutup
gorden menerangi Ken. Posisi duduknya
dan siluet yang
dibentuk cahaya itu
begitu indah, sangat
menawan. Dan disenja
ini. Aku tahu
Ken ada dihatiku.
Aku merasa damai
akan hal itu.
Aku menyapa Ken sambil
tersenyum kecil, dan benar saja, ia langsung
memarahiku tanpa ampun.
Aku hanya tersenyum
ketika ia akhirnya
berhenti memarahiku.
“Kenapa
kau hanya tersenyum tanpa memperlihatkan wajah menyesal?”
“Karena
aku sedang senang
hari ini.” Kataku mantap
sambil terus menatap layar laptopku.
Laporan itu sudah
hampir selesai, mungkin Ken yang mengerjakannya untukku.
“Coba
katakan!” perintahnya,
“Tidak
mau ah. . .” kataku manja dan tidak mempedulikannya.
Dia mendengus kesal dan kemudian
memainkan handphone-nya. Aku teringat
akan niatnya setelah lulus nanti.
Aku menoleh padanya ingin menyampaikan keinginanku.
“Hei,
apa kau pikir aku boleh ikut
denganmu pergi ke Jepang?”
Ken
berhenti memainkan handphone-nya dan segera menatapku.
“Kau
serius?” tanyanya kaget dan
matanya kini membulat dibalik kacamatanya, tapi sepertinya ada nada bahagia
didalam suaranya. Aku mengangguk.
“Tentu
saja boleh! Itu
akan sangat menyenangkan.
Kita bisa tinggal
dirumah bibiku. Jangan khawatir dia juga
punya anak perempuan dan aku
tidak mungkin macam-macam denganmu. Lalu kita
bisa berkeliling dulu sebelum
tahun ajaran dimulai. Katakan, kau mau
kemana terlebih dulu?” katanya bersemangat.
Aku
hanya tertawa, wah-wah, sepertinya untuk mewujudkan hal itu
aku harus lebih
keras belajar agar bisa
masuk ke universitas
yang sama dengannya.
Di senja itu, hatiku
terasa melambung. Sekarang aku tidak perlu takut
kehilangan dirinya. Dan aku
merasa, dia juga
sepertinya menyukaiku. Yang jelas kisahku dan Ken
baru dimulai sekarang.
^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar