Menurut observasi
yang ku lakukan pada diriku sendiri, aku adalah orang yang belajar dari apa
yang orang katakan tentang sesuatu. Dan sepertinya itu benar, namun yang
membuat itu menjadi hal yang mengerikan adalah bahwa aku tidak mencoba mencari
tahu apakah yang orang itu katakan benar atau tidak. Yah, kurasa aku tidak perlu
mencari tahu dan bisa menerimanya begitu saja jika orang itu adalah sosok yang
di anggap berkompeten dalam urusan ajar-mengajar bukan?
Yah,
bisa saja kalian menyebutku pemalas, dan aku tidak akan mempedulikannya.
Kau tahu apa
yang kulakukan sekarang dengan bentuk wajahku? Dengan lapisan kulit yang
membungkus tulang-tulang ini? Tengkorak ini? Ataupun sel-sel yang berada di
dalamnya? Oooh ayolah, aku tidak akan menakutimu, aku hanya tersenyum.
Tersenyum.
Seperti
penjelasanku tadi, aku hanya mendengarkan, mencernanya dalam tiap sel dendrit
dan neurit yang membentuk jaringan-jaringan berwarna abu-abu bernama otak.
Dalam otak ku yang super sederhana yang mungkin saja hanya nol koma nol nol nol
seperjuta yang baru digunakan. Aku tertawa. Ya kau harus melihatku tertawa,
kata dia aku begitu tampan ketika aku tertawa.
Ah,
akan ku jelaskan kenapa aku membicarakan hal-hal tidak berguna seperti yang
telah kusebutkan tadi. Kalian tahu kata ‘agama’ bukan?
‘A’ berarti
tidak, dan ‘gama’ berarti tidak beraturan. Maka agama membentuk makna tidak
tidak beraturan yang kemudian di olah dengan rumus matematika tertentu -mungkin
menggunakan logika- dan menghasilkan makna baru yaitu beraturan atau teratur.
Itu mungkin sama halnya dengan ketika kau mengkailan dua bilangan negatif dan
kau akan mendapatkan bilangan positif sebagai hasilnya.
Lalu,
selanjutnya aku menerapkan apa yang telah ku dapat dalam kata yang lain. Ya,
kata yang lain, kata yang kusukai, kata yang perwujudannya merupakan sosok
dengan kedudukan paling tinggi di silsilah ranting tertinggi dalam pohon-pohon
emas di dalam hati, pikiran, dan kehidupanku. Adinda.
Jika A merupakan perwujudan dari kata tidak
atau barangkali bukan, dan dinda yang
ku tahu bermakna adik. Maka Adinda mempunyai makna bukan adik. Ya, itu benar. Adinda
bukan adik, dan yang lebih mencengangkan lagi kau tahu? Adinda benar-benar
bukan adik ku.
@@@
“Kau mulai
meracau Alan...” Diyah mengembuskan nafas panjang entah sudah yang keberapa
puluh kali di hari ini, hari yang secara matematis baru saja mengeluarkan detik
ke 46.800 terhitung dari pukul 00.00. Yah, entah kenapa dalam otak abu-abu ku
sangat cepat mengkalkulasi itu semua. Kau akan menemukannya jika kau penasaran,
ini baru pukul 1 siang.
Aku tertawa
mendengar komentarnya, “tapi harus kau akui bahwa apa yang kukatakan benar
bukan? Setidaknya kau tidak boleh mengabaikan rumus-rumus indah itu dan menolak
mentah-mentah apa yang aku katakan tadi.”
“Yah, teruslah
berbicara sampai lidahmu putus!” Diyah mulai bersungut-sungut dan mengambil
ransel yang berada tepat di sampingku. Ia menjinjingnya dan beranjak bangkit.
“Kau mau
kemana?”
Diyah memutar
mata cokelatnya yang bulat, kemudian mulai melepas kuciran rambut panjangnya
untuk kemudian ia buat menjadi kucir kuda seperti sebelumnya. Paling tidak kali
ini lebih rapi. “Aku bukan orang yang mempunyai banyak waktu luang sepertimu.
Lihat?” ia menunjuk jam tangan digital di lengan kirinya yang berwarna kuning
langsat. “Aku ada janji dengan seseorang yang seharusnya bertemu dengan orang
di depanku.”
Bibir Diyah
meruncing, gayanya ketika ia mencibir.
Aku tertawa
lagi, “aku akan mentraktirmu begitu kau selesai.” Kataku santai.
Diyah tidak
peduli, dengan wajahnya sudah mulai menandakan tanda-tanda keletihan ia
membalik badan dan meninggalkan kubikelnya yang tepat berada di sebelah kubikel
ku. Aku menatap kepergian Diyah, dan buru-buru ikut meninggalkan kubikel ku
seperti yang dilakukan Diyah.
Kalian tahu?
Aku bukanlah seorang pekerja keras. Jika kalian berminat ingin tahu, aku adalah
orang yang well, apa sebutannya. Melakukan hal-hal yang ku inginkan dan tidak
melakukan apa-apa yang tidak ku inginkan. Egois memang, tapi kalian tidak
berhak memperotesnya. This my life...
Aku tersandung
batuan dan hampir saja akan terjatuh, dan mari kita lihat dimana aku berada
saat ini? Aku tertawa, namun kali ini tawaku hanya akan aku simpan dalam hati.
Bangunan tua
yang megah menjulang tinggi dihadapanku. Rumput-rumput yang kentara sekali
sudah lama tidak di basmi tumbuh subur dan menjulang, tersebar di tiap inchi
tanah lapang yang berhasil mereka temukan. Cat-cat yang terkelupas berwarna
putih kekuningan mendominasi tiap lapisan demi lapisan bangunan kokoh ini.
Aku tertawa
lagi, dalam hati. Bukankah ini tempat yang menyenangkan untuk mati? Tempat yang
sepurna dimana malaikat maut mengajakmu turut serta bersamanya. Kemanapun
akhirnya, surga ataupun neraka, aku sudah tidak peduli lagi. Aku melangkahkan
kaki menuju bangunan calon tempat malaikat maut membawaku serta.
Detik berlalu
begitu lambat. Lagi dan lagi aku menatap gumpalan awan yang menjingga bersamaan
dengan tertelannya bola api raksasa bernama matahari yang nantinya kedudukannya
di langit yang menaungiku berganti dengan posisi benda bulat yang di daulat
Tuhan menjadi satelit untuk planet bumi. Detik demi detik terus berjalan, dan
dengan kalkulasi yang sudah melebihi kemampuanku, akhirnya aku menyerah. Aku
sudah tidak tahu berapa ribu detik, atau bahkan berapa juta detik yang telah ku
habiskan di tempat ini. Yang ku tahu, disini aku sedang mengharapkan kedatangan
malaikat maut. Lama, benar-benar lama. Kenapa malaikat maut tidak juga datang.
Aku terpekur
di sudut tembok, di salah satu bagian gelap di dalam bangunan tua yang ku
masuki. Sudah berapa lama aku tidak melihat matahari siang? Aku tidak tahu.
Tapi aku ingat sudah berapa kali bola api itu berganti dengan bola gelap yang
tidak mempunyai cahayannya sendiri. Ini adalah malam ke-13 dan malaikat maut
belum juga datang menjemputku.
Dengan
kesadaranku yang mulai kuragukan, aku menolak memasukan apapun ke dalam tubuhku
hanya untuk membuat malaikat maut datang. Aku menolaknya. Kau tahu kenapa?
Karena jika begitu, aku tidak akan bisa melihat dengan jelas rupa malaikat
maut. Sesuatu yang diam-diam telah menjadi obsesiku. Ah ya, bisa saja aku
menggantung diri di sejumput tali. Dengan teori bahwa lilitan tali itu akan
menekan pembuluh arteri di leherku. Tentu itu cara yang lebih cepat untuk mengundang malaikat maut. Dan kenapa sampai
sekarang aku belum bisa melakukannya?
Aku tertawa,
miris. Aku terlalu takut melakukannya bukan? Bukankah aku seorang pecundang
sejati? Kemudian sisi liarku mulai memikirkan hal itu dan dengan tekad
menyedihkan, aku menatap ke bagian dimana aku dapat melihat cahaya terbit.
Setidaknya aku akan melihat matahar terbit bersamaan dengan melihat malaikat
maut. Aku menyerigai dalam kegelapan.
Seperti waktu
yang perlahan merangkak menuju tempat dimana ia ingin berada, akupun berada di
tempat yang sempurna untuk ku mati. Di tempat ini, posisi ini, koordinat ini,
adalah tempat yang paling menjanjikan untuk ku. Sudah 13 hari aku tidak melihat
bola api itu, dan setelah 13 hari tidak melihatnya, maka di hari ke 14 ini
akhirnya aku bisa melihatnya kembali bersamaan dengan sisa-sisa nafasku yang
akan ku habiskan.
Aku tersenyum
kala melihat bola api itu, dan kakiku bergerak menaiki undakan yang ku buat
dari benda-benda yang kutemukan di dalam bangunan tua ini. Satu undakan, dua
undakan, dan tiga undakan. Tali tambang sudah mantap mengakhiri hidupku. Aku
memejamkan mataku, meghirup udara subuh untuk yang terkhir kalinya dan mulai
memasangkan tali itu di leherku.
“Alan!”
Aku masih
tidak bergeming.
“Alan!”
Suara itu
kembali memanggilku, siapakah Alan? Kenapa rasanya aku mengenal nama itu? Ooh,
benar, itu namaku. Aku tersenyum, senang karena mungkin malaikat maut telah
mengenal namaku.
Kemudian aku
merasakan benda yang berat menimpa tubuhku, menjatuhkanku di ketinggian
sempurna dimana aku akan mengakhiri hidupku. Aku merasakan lantai yang keras
ketika tubuhku membentur lantai, dan serta merta kesadaranku timbul bersamaan
dengan gerakan benda yang lalu menindih ku.
“Alan, jangan
bodoh!”
Aku membuka
mataku dan kutemukan sinar matahari berpendar melewati lubang-lubang gedung tua
itu. Menimpa sosok di depanku, sosok gadis dengan kuncir kuda yang menatap
tajam ke arahku. Diyah.
Aku tertawa.
Di saat-saat akhirpun Diyah masih saja menggangguku.
“Kenapa kau
tertawa?” tanyanya sinis.
“Kenapa kau
disini?” jawabku datar.
Diah menampar
pipiku, dan dengan nafas tersengal, kemudian ia bangun dari posisinya yang
menindihku. Ia bangkit, berdiri, mengahadap arah matahari seolah ia berkata
bahwa ia pun akan menantangnya jika ia bisa.
“Kau bodoh
Alan!”
Aku tidak
bergeming, masih saja dalam posisiku yang terbaring di lantai. Mataku terpejam dan
bisa kuhirup aroma lembab ruangan ini, aroma yang sudah 13 hari ini menemaniku,
bercampur dengan aroma lembut dari Diyah.
“Aku memang
bodoh.” Kataku lirih. Aku masih terpejam, dan tertidur dalam kedamaian yang
aneh.
Aku tidak tahu
berapa lama aku tertidur, tapi yang aku tahu, ketika aku terbangun, ruangan
yang tadinya hanya diteringai semburat-semburat matahari terbit kini sudah
terang. Aku bangkit untuk kemudian menemukan kepalaku yang berdenyut, sakit
sekali. Aku merintih kesakitan sembari dengan susah payah aku mencoba dalam
posisi duduk di tantai marmer kotor berwarna kuning kecokelatan. Dalam posisi
itu, aku melihat sosok lain dengan tatapan tajam yang mengarah ke tempatku
berada. Diyah.
Aku menghela
nafas panjang. Setelah melhat sosoknya di depanku, kini aku memngingat semua
yang sudah terjadi setidaknya beberapa jam yang lalu.
“Sampai kapan
kau akan berusaha melubangi kepalaku dengan tatapan tajam mu?”
“Sampai kau
mati.” Jawabnya dingin.
“Bagus sekali
jika kau bisa melakukannya...” kataku sambil tertawa senang diselingi dengan
ekspresi wajah Diyah yang seakan-akan ingin melahapku.
Diyah kemudian
berdiri dan menarikku serta.
“Ayo pergi
dari tempat ini.” Katanya sembari menyeretku dengan tenaganya yang kurasa mampu
untuk menumbangkanku dengan sangat sangat mudah. Yang bisa kulakukan hanya
menurut. Maka sambil menghela nafas, aku menurut kepadanya.
Bukan berarti
keinginanku untuk mati sudah tidak ada lagi. Alasanku sampai saat ini belumlah
bertemu dengan malaikat maut juga karena Diyah. Entah sudah keberapa kali dia
menemukanku di detik-detik akhir malaikat maut akan menjemputku.
Kami masuk ke
dalam sebuah mobil sedan berwarna merah milik Diyah. Tanpa banyak kata, dia
mulai menyalakan mesin dan kemudian mengemudikannya begitu saja.
“Coba katakan
Diyah, apakah kau memasang alat pelacak pada tubuhku?” tanyaku asal.
Diyah tidak
bergeming, masih berkosentrasi menerobos jalanan kota yang mulai ramai. Aku
salah jika mengayangka aku hanya tidur beberapa jam. Kenyataannya adalah,
matahari hampir berada di ufuk timur yang itu artinya aku hampir tidur seharian
ini.
“Bagaimana kau
tahu dimana aku berada Diyah? Bagaimana kau bisa datang ketika aku hampir saja
bertemu dengannya?”
Diyah masih
tidak bergeming sedikitpun.
“Bah, baiklah.
Anggap saja aku tidak pernah menanyakannya.”
Aku tertawa,
ketika mengingat sesuatu. “Ah, mungkin malaikat maut tidak jadi menemuiku tadi
karena aku belum membayar hutangku padamu ya? Jadi, tender terakhir yang
kuberikan padamu sudah selesai? Kau ingin aku mentraktirmu ya?” aku masih
meracau, dan Diyah masih saja diam. “Yah baiklah, kapan kau ada waktu luang?
Aku akan segera menepati janjiku hingga nanti jika aku memanggilnya kau tidak
bisa datang lagi seperti itu.”
Tanpa ku sangka
kemudian. Diyah menepikan mobilnya, kemudian matanya kembali menajam ke arahku.
Ia menatapku lama hingga beberapa waktu. Tidak ada suara yang keluar diantara
kami, hanya keheningan yang ada, keheningan yang mencekam kurasa.
“Alan. Jika
kau sangat ingin mati. Keluarlah dari mobil ku, berdiri di depanku dan aku akan
menabrakmu.”
Aku terpaku
ketika mendengar hal itu, dan ya... itu saran yang bagus terima atau tidak
terima. Maka aku menggerakan otot-otot tubuhku, memaksakan tanganku untuk
membuka pintu mobil dan bersiap keluar
ketika aku berasakan tubuh hangat Diyah memelukku dari belakang. Lengannya yang
ramping memelukku dan kemudian aku mulai mendengar isakannya.
Aku diam,
seperti halnya Diah yang tetap diam dalam posisinya saat ini. Tidak ada kata
yang terucap, namun suara isakkan Diyah seakan mampu menjelaskan tentang semua
yang tak terjelaskan selama ini. Betapa selama ini aku telah menyakiti Diyah
terus menerus tanpa peduli dengannya. Betapa aku telah membuatnya melakukan
hal-hal sulit karenaku. Dan mungkin benar, hidupku tidak berarti lagi,
setidaknya hidupku bukan hak-ku lagi, ada yang lebih berhak atas hidupku yang
menjijikan ini. Seseorang yang berkali-kali mencegahku bertemu dengan malaikat
maut. Dan orang itu, bisa ku pastikan adalah Diyah.
@@@
Diyah
menuntunku ketika kami berada di depan sebuah rumah dengan dua tingkat dan
halaman yang cukup luas dimana ada sebuah wahana permainan kecil di dalam
halaman itu. Ada sepasang ayunan, dan tak jauh darinya ada meja bundar dengan
keempat kursi berwarna hijau yang mengelilinginya.
Aku masih
bergeming ketika Diyah menarik lenganku, tapi kemudian tangan lembut Diyah
menyentuh pipiku dan membuatku menatap wajahnya yang seindah rembulan. Ia
tersenyum dan mengembalikan rasa percaya diriku. Maka kubiarkan ketika Diyah
menekan bel rumah itu yang disambut oleh sepasang orang tua setengah baya yang
memandang dengan kepahitan kepadaku. Aku mengalihkan pandanganku dan berusaha
untuk tidak menatap mereka.
Menatap mereka
yang secara tidak langsung mungkin menyebabkan aku menjadi seperti ini. Jika saja
ayahku tidak menikah lagi dengan ibu dari seseorang yang ku cintai, aku tidak
akan seperti ini. Hidupku pasti tidak akan semenyakitkan ini, aku pasti tidak
akan semenyedihkan ini. Ya, aku tidak akan seperti ini.
Bisa kudengar
ketika Diyah mengatakan sesuatu dan kemudian dengan masih menggandeng tanganku,
ia mengajakku masuk ke dalam rumah, menaiki tangga, dan menuntunku ke sebuah
kamar di sudut.
Kamar yang
semula gelap menjadi terang dengan bantuan lampu di sudut yang dinyalakan
Diyah. Retina mataku perlu menyesuaikan beberapa saat sebelum mulai terbiasa
dengan apa yang kulihat di dalamnya. Kamar yang sudah kutinggalkan hampir satu
tahun yang lalu masih sama seperti sebelum ku tinggalkan, aku ingat letak semua
buku yang berada di atas meja di samping tempat
tidurku, tidak berpindah satu sentipun. Begitu pula dengan letak
barang-barang lainnya. Namun di tempat ini, tidak ada debu barang sedikitpun.
Menandakan bahwa ada orang yang secara rutin membersihkan kamar ini.
Diyah lalu
menuntunku agar aku duduk di atas tempat tidur, kemudian ia menghilang ke dalam
kamar mandi dan kembali sambil membawa handuk dan sebaskom air hangat. Ia
membasahi handuk itu dengan air hangat, kemudian membasuh dengan lembut bagian
tubuhku yang bisa ia jangkau. Dari wajahku, kedua lenganku, hingga kakiku.
Kemudian Diyah
membuka kemejaku yang sudah kusut dan sangat kotor, kemudian membasuh dadaku,
dan juga punggungku sebelum akhirnya memakaikan piyama berwarna biru dengan
garis-garis tipis. Ia menyerahkan celana piyama berwarna senada dengan
atasannya padaku dan menyuruhku menggantinya, seraya mengatakan bahwa alangkah
lebih baiknya jika aku memangkas bakal jenggot yang mulai tumbuh di sekitar daguku.
Aku mengangguk dan menurut.
Sepuluh menit
kemudian, aku selesai dan Diyah masih berada di kamarku. Ia kembali
menggadengku dan menyuruhku berbaring. Ia menyelimutiku, dan mengecup dahiku
lembut sebelum mematikan lampu kamarku dengan di gantikan dengan cahaya temaram
dari lampu tidur. Kemudian Diyah keluar.
Aku kini
sendirian di ruangan itu. Ruangan yang dulu menjadi sangkarku dimana tidak
seorangpun boleh mengusikku disini. Tapi, hampir setahun yang lalu, aku pergi
dari sini dengan luka yang semakin menganga lebar dalam dadaku dan berusaha
mencari penyembuhnya sampai akhirnya aku tahu bahwa satu-satunnya hal yang bisa
menyembuhkannya adalah kematian.
Aku bangkit
dari tempat tidurku, berjalan ke arah jendela dimana aku bisa melihat bintang
malam dan juga cahaya bulan yang kutahu selalu ada bahkan di saat cahayanya
tidak bisa ku tangkap dengan retina mataku.
Diyah... tak
tahukan kau apa yang kau lakukan padaku hari ini bisa membuat semuanya menjadi
porak poranda kembali? Aku menghela nafas, dan dari balkon kamarku, aku bisa
melihat mobil sedan merah Diyah yang meninggalkan rumah ini. Sampai jumpa
Diyah.
Tidak seperti
sebelumnya dimana aku merasa pergerakan detik begitu lambat, aku merasa bahwa
detik berjalan cepat hingga yang kutahu, matahari pagi kembali berada di langit
dan menggantikan keberadaan bintang dan bulan. Tidak sedetikpun aku terlelap
setelah Diyah pergi dan yang kulakukan hanyalah duduk termenung dibalkon kamar
dengan menatap malam yang saat ini mulai memudar dan menjadikan terang
permukaan bumi ini.
Seseorang
mengetuk pintu kamarku, dan tanpa jawaban dariku, pintu terbuka. Menampakan sosok
menakjubkan yang selama ini mempunyai wahananya sendiri dalam hati, pikiran,
dan jiwaku.
Adinda, bukan
adik ku kini berada tepat di hadapanku dengan bagian bawah matanya yang
menghitam dan tubuhnya yang kurasa bertambah kurus.
“Abang, kau
pulang...” katanya lemah sembari tersenyum padaku.
“Ya Jelita,
abang pulang...” jawabku lirih. Aku menggunakan Jelita untuk ganti namanya.
Tidak, sudah lama aku tidak memanggilnya Adinda, selama ini bahkan aku tidak
pernah memanggilnya Adinda. Jelita, itu nama yang kupilihkan untuknya, nama
yang kurasa pantas untuk ia sandang. Nama yang mewakili dirinya. Jelita.
“Abang...” dia
menggigit bibirnya yang aku tahu akan ia lakukan ketika ia gugup, senang,
ataupun risau. Manakah di antara ketiga sebab itu yang membuatmu melakukannya Jelita?
Aku tersenyum
padanya, yang manapun akan terasa sama saja. Katakanlah Jelita, katakan apa
yang ingin kau katakan. Katakan apa yang harus kau katakan.
Lama aku
pandangi Jelita, dan lama pula Jelita hanya berdiri dengan mengigit bibirnya
yang tipis. Jelita, hal apakah yang ingin kau katakan padaku? Mungkin ada
baiknya aku tidak pernah lagi kembali kesini bukan? Meninggalkanmu adalah
pilihan terbaik yang pernah ku buat dalam hidupku, bukankah menurutmu begitu?
“Abang...”
Ah, akhirnya
kau kembali berkata-kata Jelita. Jadi, apa yang ingin kau katakan Jelita?
“Abang...
bisakah kau membawaku pergi dari sini?”
Aku tertegun
dengan perkataan Jelita. Masih tak percaya hingga Jelita mengulanginya lagi.
“Abang,
bisakah kau membawaku pergi bersamamu?”
“Jelita...”
suara pelan itu keluar dari bibirku.
“Bukan abang,
namaku bukan Jelita. Namaku Adinda. A yang berarti bukan, dinda yang berarti
adik. Adinda berarti bukan adik. Aku bukan adik mu abang...”
“Jelita...”
kataku lirih. Itukah yang selama ini aku katakan tentangmu? Apakah itu yang
membuatmu menjadi seperti ini? Bisa kulihat bahwa hatimu sedang tidak stabil
seperti biasanya, bisa ku lihat Jelita... kau sedang gundah, risau? Kau sedang
bingung Jelita...
Aku bangun
dari tempatku dan mengampiri Jelita. Aku mendekatinya dan bisa kulihat dengan
jelas dalam matanya yang hitam -dan tidak bersinar seperti biasanya- ada
kebingungan yang teramat dalam disana. Jelita, apakah aku yang merampas kemilau
itu dari matamu?
“Jelita...”
“Bukan. Aku Adinda,
bukan Jelita.”
“Jelita...”
Bisa kulihat
tubuhnya bergetar, dan kemudian dia meneriakan kata yang sama berulang kali.
Dia yang membenarkan bahwa dirinya bukanlah Jelita. Dia Adinda, dan seperti
itulah yang aku yakini selama ini meskipun aku memanggilmu Jelita.
Bukankah nama Jelita
itu lebih baik di banding Adinda? Setidaknya aku tidak akan tersakiti dengan
nama itu, dan aku juga tidak akan menyakitimu. Karena aku hanya bisa
memandangmu jika kau menyandang nama itu, dan apakah kau pernah memikirkan apa
yang bisa kuperbuat dengan namamu sebagai Adinda?
Jelita, jika
kau Adinda maka sudah lama aku akan membawamu serta kemanapun aku melangkah.
Tak peduli dengan hukum terkutuk yang menentang hubungan kita, tak peduli pada
orang-orang yang akan tersakiti dengan perbuatan kita.
Tapi tidak Jelita,
biarlah kau menjadi Jelita dan hanya memimpikanmu menjadi Adinda. Cukuplah kau
sebagai Jelita, dan cukuplah kau berperan sebagai Adinda untuk kehidupanmu yang
lain, tapi tidak untuk kehidupanku.
Jelita, jika
wahana berasal dari bahasa sansekerta Vah dengan huruf-huruf lainnya yang
mengikuti dan terbentuk makna yang baru, maka biarlah, biarlah Jelita. Biarlah
makna kata itu adalah tempat. Biarlah aku memilikimu dalam wahana, tempat yang
ku miliki sendiri. Paling tidak di tempat itu kau dan aku bisa bersama, paling
tidak kau tidak akan tersakiti, dan paling tidak, tidak ada orang-orang yang
menyayangimu yang akan tersakiti karenanya.
Karena itu Jelita...
“Aku tidak
bisa... aku tidak bisa membawamu Jelita...”
Jelita, kau
menangis ketika mendengar jawabanku. Kemudian kau berlari keluar dari ruanganku
dan entah kemana lagi kau melangkah. Tapi setidaknya, aku tahu... aku tahu ada
seseorang yang selalu siap untuk berada di sisimu. Seseorang yang hampir
setahun lalu hadir di hidupmu. Seseorang yang secara perlahan-lahan memudarkan
bayangan Adinda, dan menjadikanmu hanya sekedar Jelita untuk ku. Bukankah di
sisinya kau merasa di cintai Jelita? Kau merasa di sayangi dan merasa aman?
Memang di sisinya adalah tempatmu, jadi Jelita... jangan pernah berbalik untuk
sekedar menatapku dan jangan kau beri aku kesempatan seperti tadi Jelita.
Aku menghampiri
meja dan disana aku menuliskan apa yang sedang ku pikirkan. Aku tahu tindakanku
selama ini benar-benar salah. Dan sekaranglah aku harus mengakhirinya. Mengakhiri
semua yang telah terjadi.
Maka hanya
beberapa baris itulah yang mampu aku tuliskan untukmu Jelita. Sebelum aku
pergi, sebelum aku kembali bergumul dengan kehidupanku yang entah ada atau
tidak. Sampai jumpa Jelita, sampai jumpa Adinda...
@@@
Untuk Jelita...
Biarkan di sudut terkecil hati ini terdapat
wahana Adinda. Tempat dimana kau menjadi Adinda dan aku menjadi diriku. Dimana
kau dan aku bersama, menjalin tali-tali cinta yang tidak akan menyakiti
siapapun. Disana, aku akan memanggilmu Adinda...