Aku masih terpaku sembari menatap
pigura-pigura yang tersusun rapi di tembok-tembok galeri pribadiku. Tak sedikit
potret dari sosoknya yang selalu kucinta –setidaknya itulah anggapanku-
berjajar rapi didepanku. Disatu sisi, kulihat potret dirinya yang sedang
tersenyum sambil menatap ratusan atau bahkan lebih bunga dandelion yang
terhampar luas di depannya. Dipigura lain ada potretnya ketika ia sedang ngambek karena janji kami dibatalkan,
kami berencana ke bukit savana dimana kami dapat melihat ilalang yang tumbuh
subur bahkan terkesan liar. Aku tersenyum satir ketika mengingat hal itu. Butuh
waktu yang cukup lama hingga akhirnya dia tidak marah lagi padaku.
Ada juga potret ketika ia sedang
tertawa dengan riangnya, ia sedang bermain dengan anak-anak tetangga dekat
galeriku. Di potret itu ia tampak begitu bahagia, polos, dan naif. Dan
sejujurnya, memang begitulah sosoknya dimataku.
Aku tersentak ketika mendengar suara
langkah kaki yang menuju ke arahku, langkah kaki yang sudah ku hafal. Adrian,
teman baikku sekaligus asisten fotograferku.
“Gue
tahu lo bakalan ada disini.” Katanya
dengan suara baritonnya yang khas.
“Ada masalah apa?” tanyaku to the point, merasa terganggu sekaligus
terselamatkan karena dia datang diwaktu yang tepat sebelum aku terlalu dalam
terhanyut dalam dunia di dalam pigura yang kubuat sendiri.
Adrian tidak menjawab, sebaliknya
dia penepuk bahuku dan mengambil tempat duduk dengan menggeser salah satu kursi
yang sebelumnya berada cukup jauh dariku, kini ia sudah berada dihadapanku.
“Ini menyangkut Renata, bukan?”
Menyebut nama sosok dalam pigura itu
disebut, langsung memprofokasi terjadinya reaksi kimia di tubuhku yang kemudian
berpengaruh pada bagian-bagian tubuhku yang lain. Rasa nyerilah yang terasa di
ulu hati ini.
“Lo
jadi pendiem setelah hangout bareng dia malam minggu kemarin.
Lo putus sama dia?”
Aku masih tidak menjawab, masih
membiarkan Adrian untuk berspekulasi dengan hal-hal yang mungkin terjadi
diantar aku dan Renata.
“Apa lo udah bosen sama dia?” pancing Adrian selanjutnya.
Aku masih tidak bergeming dan hanya
tersenyum menanggapi ucapannya. Aku bangkit dari posisiku dan kemudian bergegas
keluar dari galeri, menghindar dari segala ucapan-ucapan Adrian yang aku tahu
akan segera mendekati kebenaran dan kembali menguak hal-hal yang sedang tidak
ingin kubicarakan.
Aku masih mengalungi kameraku dan
kemudian mengambil ranselku dan barang-barang praktis lainnya sebelum akhirnya
melaju dengan sepeda motor berwarna merah. Hari menjelang senja, dan akan
sangat bagus jika aku bisa sampai di tempat dimana aku bisa menenangkan pikiran
dan hatiku sebelum matahari tenggelam. Maka ku-gas sepeda motor itu sampai
batas yang bisa kutolerir dan menuju tempat itu sesegera mungkin.
Aku sampai sesuai dengan harapanku.
Masih lebih kurang 15 menit lagi sebelum matahari tenggelam di ufuk barat.
Langit kini sudah berubah menjadi kemerahan akibat kejadian alam yang
berlangsung tak lama lagi.
Aku duduk di ujung bukit dengan
pemandangan yang langsung menghadap lautan lepas. Dari sini aku bisa melihat
dengan angel yang sempurna peristiwa alam yang setiap hari berlangsung itu.
Selain itu au juga bisa melihat burung laut yang berbondong-bondong pulang ke
sarangnya, dan juga aku bisa mendengar suara ombak serta merasakan bau air asin
yang tercipta secara alami.
Aku berdiam diri disana, tanpa
teman. Melihat matahari yang secara perlahan seperti tertelan oleh lautan,
padahal aku tahu bahwa esok hari kala aku menatap ke arah timur aku akan
menjumpainya lagi. Mungkin senja adalah titik balik dimana secara
perlahan-lahan matahari mulai mengekang dirinya dan menggantikannya dengan
cahaya bulan yang lembut sebelum kembali lagi untuk memancarkan kehangatannya
kepada dunia ini.
Titik balik. Jika keadaanku sama
saja dengan titik balik matahari, maka aku akan sangat menyukuri itu.
Setidaknya aku bisa mengatakan untuk berhenti bertemu selama beberapa saat dan
kemudian aku akan menemuinya lagi dengan penuh kerinduan dan kembali berada di
titik dimana keadaan kami saling merindu.
Tapi masa-masa itu tidak ada lagi.
Seberapa lamanya kami berpisah, rasa rindu itu tidak akan pernah datang lagi.
Seberapa jauhnya kami berpisah, kami tidak akan saling kehilangan. Karena apa?
Hubungan kami bukan berada di titik balik, melainkan titik buta dimana kami
tidak lagi saling mengetahui perasaan kami masing-masing.
Mungkin benar apa yang Renata
katakan padaku bahwa rasa cintanya tidak ada lagi untukku. Begitupun
sebaliknya. Semuanya sudah berakhir. BERAKHIR.
________________
Sore itu, aku dengan perasaan yang
sudah tidak karuan akhirnya bersedia memenuhi ajakan Renata untuk bertemu
dengannya di salah satu tepi telaga yang biasa kami datangi. Disana selalu
ramai baik pagi hari, siang, maupun malam, namun kami tetap bisa menemukan
tempat yang ideal jika kami ingin membicarakan sesuatu yang penting.
Maka dengan setengah hati, aku
melajukan sepeda motorku dan satu jam setelahnya kami bertemu di sana.
Hari itu, Renata mengenakan terusan
selutu berwarna baby green dengan
rambut hitamnya yang ia biarkkan tergerai. Angin sore mempermainkan helai-helai
rambutnya, namun begitu ia masih saja terlihat cantik, bahkan lebih cantik.
Hanya saja, seperti ada yang kurang ketika aku menatapnya. Tidak ada satu hal
itu, tidak ada getaran aneh ketika aku menatapnya, jantungku pun baik-baik saja
ketika kemudian Renata tersenyum menyambutku.
“Abang, kau datang...” katanya
lembut.
Aku hanya bisa tersenyum membalas
ucapannya, kemudian aku menggandeng tangannya dan menuntunnya untuk duduk di
bawah sebuah pohon flamboyan yang sudah lumayan tua jika melihat dari seberapa
besar batang pohon itu.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku memulai
percakapan.
“Baik. Dan Abang sendiri?”
Aku tersenyum mendengar jawabannya,
kami benar-benar sudah tidak bisa tertolong lagi. “Abang tidak tahu bagaimana
harus menjawabmu. Kau tahu abang tidak bisa berbohong, apalagi kepadamu.”
Pandanganku yang semula menatapnya kini aku alihkan ke telaga yang ada di
depanku. Hari masih sore dan suasana di sini benar-benar nyaman. Beberapa angsa
berenang di tengah telaga dan di tepi-tepi telaga banyak tanaman air dengan
bunga-bunga yang bermekaran menghiasinya.
“Karena itu, jangan berbohong
abang...”
Aah, Renata. Kau masih saja dengan
jawaban naifmu, seperti kau yang dulu. Kau memang tidak pernah berubah dan
kenaifanmulah yang membuatku terpesona, tapi kenapa sekarang aku bahkan tidak
mendapatkan rasa itu kembali. Aku tersenyum getir sembari manatap segerombolan
Angsa yang masih saja tenag di tengah telaga itu. Aku tersenyum karena
kebodohanku sendiri, dan kurasa aku memang benar-benar manusia yang bodoh.
“Abang...” katanya kemudian
melihatku tidak menjawab, Renata lalu menyetuh tanganku dan membawanya untuk
kemudian ia genggam. Tatpan kami slaing bertemu dan saling mengunci satu sama
lain, namun tidak ada getaran-getaran itu. Tidak ada sama sekali.
“Katakan apa yang harus kau katakan,
dan aku pun akan melakukannya abang...”
Aku terdiam cukup lama sembari masih
menatap mata hitam di depanku. Sudah siapkah aku melepas semuanya? Sudah
siapkah aku mengakhiri semuanya?
Renata tersenyum padaku, berusaha
menguatkanku. Aku rasa ia bahkan sudah mengetahui semuanya, hanya saja ia
begitu baik hingga membiarkan aku mengatakannya sebelum keadaan bertembah
runyam.
“Ini mengenai hubungan kita, bukan?”
Aku mengangguk ketika lagi-lagi
Renata lah yang berbicara.
“Ada yang mau kau katakan mengenai
hal itu?”
Aku menarik nafas panjang. Berusaha
menguatkan diriku. Aku tahu, semakin lama kami mengakhirinya maka hanya ada
kesedihan yang akan kami dapatkan. Mengikat Renata dalam sebuah hubungan yang
tidak mempunyai esensi yang jelas kenapa kami harus melakukannya adalah hal
yang salah. Tidak seharusnya aku mengukungnya seperti ini, dan sudah seharusnya
aku membiarkannya pergi, terbang dengan sayap tak kasat mata yang akan
membawanya ke macam-macam dunia yang berbeda. Dunia yang lebih luas dan mungkin
lebih indah daripada dunia kecilku.
“Renata... maafkan aku. Aku tak lagi
mencintaimu.” Kataku pada akhirnya.
Aku bisa merasakan ketika tangan
lembut yang menyelubungi tanganku menjadi kaku untuk beberapa saat. Namun
kemudian, tangan itu kembali melembut.
Renata lalu melepas genggamannya dan
ikut menatap telaga di depannya. Kami membisu untuk waktu yang lama dan
begitulah, tak ada yang bisa kami katakan. Seluruh kenyataan sudah jelas dengan
kalimat itu.
Aku bisa mendengar ketika Renata
menari nafas panjang, sebelum ia berkata, “aku senang kau mengatakannya.
Setidaknya itulah yang juga kurasakan padamu abang.” Renata berhenti sejenak,
“kita benar-benar tidak tertolong lagi bukan? Selalu memaksa tersenyum ketika
kita bersama, padahal berapa lama kita sudah mempunyai chemistry itu? Satu bulankah? Dua bulan? Atau bahkan berbulan-bulan
yang lalu?”
Aku tidak menjawab, hanya mampu
menunduk.
“Aku terlalu lama mengurungmu dalam
hubungan ini, maafkan aku.”
“Tidak abang, tidak ada yang harus
dimaafkan. Aku tidak pernah menyesal bersamamu selama ini. Jadi, tidak
sepentasnya kau meminta maaf abang...”
Aku masih menunduk, dan ketika aku
mengangkap kepalaku untuk menatapnya, Renata malah memberiku senyumannya.
Senyumannya yang kemudian ikut membuatku tersenyum padanya.
“Renata, terimakasih.” Kataku pada
akhirnya dan itulah pembicaraan terakhir kami di senja itu.
________________
Aku menghela nafas panjang ketika
detik-detik terbenamnya matahari sudah berakhir. Matahari maupun jejak-jejak
merah yang telah ia timbulkan sudah tidak ada lagi. Begitupun kekalutan yang
melandaku beberapa saat yang lalu. Semuanya telah berakhir dan seharusnya aku
harus lebih kuat. Bahkan, aku harus senang. Bukankah ini merupakan awal baru
untukku dan juga untuk Renata?
Aku tersenyum seraya bangkit dan
menatap ke arah terbenamnya matahari itu. Bulan purnama muncul dan menggantikan
posisi bola bulat panas yang berpijar itu. Sudah waktunya aku pulang, dan sudah
waktunya memuaskan rasa keingintahuan Adrian tadi.
Surakarta,
8:33
PM, 12-12-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar