
–Goenawan
Mohamad–
¥
¥
¥
¥
¥
“Kupu-kupu tak bersayap.” Kata
lelaki bertubuh kekar itu datar. Alisnya yang tebal sekarang hampir bertaut satu sama lain
karena dahinya yang membentuk kerutan tanya. Ia mengetuk-ngetuk jemarinya di
atas meja ketika akhirnya, ia tidak mendapat tanggapan pada lelaki berwajah
malaikat di depannya.
“Apa?”
kata lelaki malaikat itu heran. Saat ini ia benar-benar tidak ingin menanggapi
lelaki di depannya itu. Sudah cukup selama beberapa tahun ini selalu
berdampingan dengannya, dan kini waktu berpisah dengan lelaki di depannya itu
telah dekat.
“Kupu-kupu
tak bersayap.”
“Kau
bisa menyebutnya… Ulat.” Jawab lelaki malaikat itu dengan suara yang dalam,
suara yang mententramkan jiwa yang mendengarnya. Tapi ia bahkan ragu apakah
karunia dari Tuhan yang diberikan padanya bisa berpengaruh pada sosok di
depannya.
“Hah?”
untuk beberapa saat, lelaki satunya melongo dan lalu tertawa mengejek sambil
jemarinya menuliskan kata itu ke dalam buku teka-teki silang yang dibawanya.
“Kau
tidak bisa mentertawakan hal itu. Bagaimanapun juga, kau harus ingat bahwa roda
kehidupan selalu berputar. Binatang yang kau tertawakan itu, kelak akan menjadi
kupu-kupu yang cantik. Binatang yang banyak memberikan manfaat.”
“Aaaaagghht….”
Teriak lelaki itu kemudian, suaranya menggelegar membuat yang mendengarnya
ketakutan. Setidaknya itu yang akan terjadi jika ada manusia yang mendengarnya.
“Aku
tidak memintamu untuk menceramahiku. Dan siapa kau sampai bertindak sok
bijaksana seperti itu hah?!”
“Aku
bukannya ingin bertindak sok bijak atau apapun, hanya saja…”
Ucapan
lelaki berwajah malaikat itu terhenti ketika terdengar rintihan menyayat hati
datang dari sudut ruangan. Dimana terkulai sesosok tubuh manusia dengan kondisi
yang menggenaskan. Tubuhnya yang dulu atletis telah berubah menjadi kurus
kering. Wajahnya yang dulu tampan, kini berubah tirus. Hanya meninggalkan
goresan-goresan rasa sakit yang terlalu sering menderanya.
“Aaaaaaa…
tolong… tolong aku…” rintih orang itu kemudian. Tak berapa lama datang beberapa
perawat yang memeriksa kondisinya. Setelah menyuntikkan obat penghilang rasa
sakit, perawat itu kemudian segera keluar dari ruangan itu. Seakan-akan enggan
untuk berada di ruangan itu lebih lama.
“Waktunya
sebentar lagi bukan?” lelaki malaikat itu berkata lirih, seolah sedih dengan
kondisi dia yang terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.
“Itu
lebih baik baginya.” Jawab lelaki yang satunya, datar.
“Aku
tidak menyangka dia bisa terperosok ke jurang kenistaan begitu dalam. Aku
pikir, aku tidak akan menyaksikan hal seperti ini lagi.”
Lelaki
bertubuh kekar itu tertawa kemudian, “yah… siapa sangka seorang pelajar teladan
pada mulanya, seorang mahasiswa dengan prestasi prestisius, dan kemudian
menjadi seorang wakil rakyat heh?” ia tertawa lagi sebelum akhirnya berkata,
“bisa berubah menjadi seorang mafia hukum dengan segala kebejatan yang
dilakukannya.”
Dengan
santai, lelaki dengan tawa menggelegar itu kembali bersandar pada kursi
malasnya setelah tiba-tiba ia berdiri berbarengan dengan lelaki malaikat
tatkala mendengar rintihan orang itu.
“Seperti
yang kau bilang tadi, roda kehidupan selalu berputar bukan? Seperti ulat yang
merupakan kupu-kupu tak bersayap kemudian menjadi kupu-kupu yang bersayap.
Manusia dengan segala kelebihan yang di milikinya bisa juga kehilangan semua
itu.”
“Kau
benar, dan menurutmu kenapa ia seperti itu?”
Mereka
terdiam sesaat, sebelum kemudian lelaki berwajah malaikat itu menjawab, “aku
pernah mendengar bahwa jika kau ingin merusak sebuah bangsa, maka rusaklah kaum
wanita. Karena kelak ia akan membawa anak serta suaminya menjadi rusak juga.
Apakah menurutmu itu yang terjadi?”
“Kau
melihatnya sendiri bukan? Orang itu…” lelaki kekar itu menunjuk pesakitan yang
kini tertidur dengan wajah menahan kesakitan, “hanyalah objek yang terkena
imbasnya karena apa yang dilakukan oleh wanitanya. Ckckck… dia hanya kurang
beruntung.”
“Dan,
dimana wanita itu?”
“Entahlah,
bukankah kita tidak melihatnya sejak ia masuk di ruangan ini?”
Lelaki
malaikat itu mengangguk dan kemudian merenung. Semua yang di katakan sosok di
depannya memang benar. Dan walaupun ia tidak menyukai sosok di depannya itu,
namun ia harus mengakui bahwa ia benar dalam setiap perkataanya.
Tiba-tiba suasana berubah mencekam.
Angin dingin berhembus dari jendela yang tertutup, mengisi seluruh kekosongan
di ruangan itu. Dari ketiadaan, muncul sesosok besar dengan kedua sayap
berwarna putih yang merentang di kanan dan kirinya.
Sosok
besar bersayap itu kemudian melayang tepat di atas lelaki yang terbaring tak
berdaya di ranjangnya. Tubuh lelaki malang itu membeku, namun roh yang
menghuninya seakan hendak berontak dan ingin menjauh dari sosok besar itu.
Kedua lelaki yang sedari tadi berada
di ruangan itu ikut membeku di balik sosok besar itu. Mereka tidak bisa
bergerak dari tempatnya, seolah ada magnet yang menahan mereka. Untuk kesekian
kalinya, kedua lelaki itu hanya bisa menebak-nebak seperti apa sosok besar itu
jika di lihat dari depan, seperti apa pemandangan dari tiap helai sayap putih
yang membentang itu.
Jeritan keputusasaan yang menyayat
hati keluar dari mulut lelaki malang itu. Matanya membelalak lebar dan ia tak
henti-hentinya berhenti untuk gemetar. Berkali-kali ia memohon ampun yang tidak
di gubris oleh sosok itu. Dan jeritan kesakitan yang memilukan keluar bersamaan
dengan keluarnya roh lelaki malang itu yang di cabut dengan paksa.
Sedetik kemudian, sosok besar itu
menghilang tiba-tiba bersama roh lelaki malang itu. Meninggalkan tubuh tak
bernyawa dengan wajah kesakitan dan mata membelalak lebar. Di detik
selanjutnya, para perawat dan dokter memasuki ruangan itu. Berusaha mencari
tanda-tanda kehidupan pada tubuh tak bernyawa yang membuahkan kesia-siaan.
Lelaki itu telah mati.
Kedua lelaki yang tadi ikut membeku kembali
ke keadaan yang semula
tatkala sosok besar bersayap itu hilang. Dengan wajah prihatin kedua sosok itu
lalu berjabat tangan.
“Ku
harap, lain kali aku akan melihat senyum ketika sosok bersayap itu datang
menjemput manusia yang lainnya.”
Lelaki
kekar itu terkekeh, “Kau pikir hanya kau saja yang menginginkan begitu?
Walaupun sifatku adalah lawan dari sifatmu. Aku masih saja merasa benci ketika
misiku berhasil mengalahkan misimu.”
“Yah,
mungkin lain kali kau bisa bekerja sebagai sisi yang baik.”
Mereka
berdua tersenyum. Menampakkan wajah serupa, bak pinang di belah dua. Kemudian
secara perlahan-lahan angin hangat berhembus dari pintu yang terbuka. Menerpa
kedua lelaki itu dan membawa serta kedua sosok itu menyatu dengan angin.
Terasa, namun tak terlihat.
Rabu,
04 Sept’13 10:42 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar