Kala
itu, matahari senja menerangi gedung sekolah bertingkat dua dengan sinarnya yang hangat. Angin
semilir dengan aroma teh yang harum ikut menemani momen itu. Maklum saja,
sekolahku dekat dengan pabrik teh. Lorong sekolah yang terkena cahaya jingga
cantik itu sudah sepi, hanya menyisakan beberapa orang. Aku dengan
menyenandungkan sebuah lagu berjalan melewatinya, bersiap untuk pulang ke
rumahku setelah menghabiskan waktu dengan instrumen fisika yang membuat kebas
seluruh partikel otak. Di ujung lorong
itu, aku hampir terjatuh, entah karena apa. Kemudian, sebuah tangan yang kokoh
menangkap tubuhku sebelum aku benar-benar terjerembab ke lantai. Aku
mengucapkan terima kasih dengan terbata, dan membeku satu detik kemudian ketika
melihat mata jernih berwarna hitam di depanku. Dia, dengan senyum kemilau yang masih
tetap sama berdiri tepat di depanku.
“Kau tidak apa-apa?”
“I-iya,” kataku gagap, “terima kasih
mas.”
Dia tertawa renyah, “Mas? Lho, kita
kan belum saling kenal.”
Aku tertawa kecil dibuatnya, “kalau
begitu, terima kasih.”
“Sama-sama.” dia membalas, masih
menggenggap tangan kananku, kemudian aku merasa rasa hangat di hatiku, dan juga
di sebelah sisi lainnya. Aku menengok ke arah kiri dan melihat sosok lain.
Sepertinya dia sahabatku, tapi itupun tidak jelas. Bersama, kita bertiga
menyusuri lorong itu, hingga akhirnya semuanya memudar.
********
“Berhentilah tertawa!” kataku sewot.
“Hahahaha... maaf-maaf. Hanya saja,
aneh rasanya kau masih memimpikannya setelah selama ini?” katanya dengan tawa
yang masih berderai. “Aku pikir kau sudah melupakan Theo! Ternyata, masih saja
dia hinggap di hatimu.”
Aku merengut, mencoba mengalihkan
emosiku dengan menatap cakrawala dari jendela tempatku duduk. “Mungkin dia
menyuruhku move on, ya?”
“Heh? Apa itu pengakuan bahwa selama
ini kau belum bisa melupakannya? Tapi kan kalian bahkan tidak sempat saling
mengenal.” Ren bertanya dengan mimik serius, tawanya kini sudah sepenuhnya
menghilang dari wajah bulatnya. “Kau hanya melihatnya dari jauh,
memperhatikannya tanpa berani mendekatinya. Sedangkan dia, entahlah. Aku tidak
tahu menahu mengenai pria itu.”
“Tapi, mungkin memang aku masih
belum bisa melupakannya,” jawabku menerawang, “dibilang lupa, aku juga masih
mengingatnya dengan baik.”
“Ah, iya. Memang susah melupakan
cowok ganteng, apalagi yang sulit dijangkau ya?” Ren menggodaku.
“Bukankah dia terlihat cantik
dibandingkan dibilang ganteng? Lagi pula, sepertinya dia bisa dijangkau asalkan
pihak yang satunya berusaha.”
Ren menggaruk kepalannya, “dia orang
yang minta dikejar ya? Tipe pangeran dalam manga jepang.”
“Sepertinya memang begitu ya?” aku
tertawa.
“Tapi serius, kau masih belum bisa
melupakannya?” Ren menatap tajam manik mataku, “setelah tujuh tahun ini?”
Tambahnya dengan membelalakan matanya.
Aku mengedikkan bahuku, terlalu
lelah dengan semua perasaan yang tak kunjung hilang ini. Aku menyeruput sampai
habis orange juice di gelasku dan berdiri tiba-tiba.
“Ayok balik, kita mesti siap-siap ke
kawinannya Anggie, kan?”
Ren mengangguk, ia ikut berdiri dan
berjalan di sampingku meninggalkan ampas kopi berwarna hitam di mugnya.
“Kesukaanmu dengan kopi hitam belum berubah ya?”
Ren menyerigai, “aku butuh kafein,
pilihanku tinggal teh atau kopi. Dan bersyukurlah aku tidak mendapatkan asupan
kafein dari rokok.”
Aku tertawa, “aku lubangi saja
paru-parumu sebelum rokok yang melakukannya.”
Kami berdua melaju dengan sedan
hitam milik Ren ke apartemen miliknya. Aku sudah dua tahun ini pindah dari kota
asalku, maka ketika ada teman yang mempunyai hajat, aku menumpang di tempat
Ren. Yah, lagipula dia hidup sendirian dan bebas, jadi tempatnya menjadi
pilihan terbaikku.
“Kau tahu, aku sedang berpikir,”
ujar Ren di tengah perjalanan menuju kediaman Anggie.
Aku menoleh ke arahnya sambil
mengernyitkan kening melihat apa yang Ren kenakan. Di acara seperti ini bahkan
pilihannya jatuh kepada jeans hitam dipadukan kemeja berwarna biru toska.
“Oh, berhentilah menilai apa yang ku
kenakan. Aku tidak akan pernah bisa berpakaian sepertimu.”
“Apa yang salah denganku?”
“Tidak ada, hanya saja aku tidak
cocok dengan dress selutut berwarna putih.” Ren mengernyitkan dahinya, “ah,
berhenti membahasnya. Yang tadi ingin ku katakan adalah,” Ren berhenti sejenak,
“bagaimana jika malam ini kita bertemu lagi dengan Theo?”
Aku membelalak, “jangan ngelantur,
Ren.”
“Jangan berbohong kalau kau sendiri
tidak pernah memikirkan kemungkinan ini. Kau tahu, dengan hubungan Anggie dan
teman-teman Theo, ada kemungkinan dia akan datang.”
Aku menelan ludah dengan keras, “itu
kan, cuma seandainya.”
“Tapi seandainya yang mungkin
terjadi,” cecar Ren, “kau mau melakukan apa?”
Aku diam, mencoba berpikir.
“Memangnya aku harus melakukan apa?”
Ren tertawa, “jangan bodoh. Dengan
mimpi konyolmu tentang dia, kau akan membiarkan kesempatan memulai kembali
hilang begitu saja?”
“Aku tidak bisa-“
“Maka aku yakin suatu saat kau akan
menyesali semuanya.”
Aku membeku, “ta-tapi...”
“Kau yang membenarkan bahwa dia tipe
orang yang senang dikejar. Kenapa kau tidak mencobanya? Kalaupun gagal, setidaknya
kau tidak akan menyesal telah mencobanya.”
“Kau menyuruhku mendekatinya?”
“Jika itu yang kesimpulan yang kau
dapat, maka iya.” Ren tertawa, “lagi pula sudah saatnya kau memikirkan
berkeluarga sebelum orangtuamu akhirnya menjodohkanmu dengan seseorang,” Ren
masih tertawa, “berapa usiamu? 26 tahun?”
Aku memberengut kesal, “sialan kau,
seperti kau tidak begitu saja.”
“Oh ayolah, kau dan aku berbeda.
Orang tuaku tidak akan memaksaku untuk menikah, mereka membebaskanku melakukan
apa saja.”
“Orang tua yang baik.” Kataku ketus.
Ren menyerigai dan melajukan
mobilnya lebih pelan. “Nah, siapkan mentalmu karena kita mempunyai kemungkinan
bertemu dengan pangeranmu, honey.”
Aku mengernyitkan kening, “apa semua
penulis selalu melebih-lebihkan sepertimu ya?”
Ren tertawa, “mungkin. Tapi aku
yakin tidak semua bankir di negeri ini takut membuat terobosan baru, bukan?”
Aku membisu, lagi-lagi kalah telak
dengan balasan dari Ren.
Kami turun dari mobil. Untuk
beberapa menit aku mematut diri di depan kaca mobil Ren sembari merapikan
bagian belakang yang mungkin kusut setelah duduk. Aku membenarkan pita berwarna
jingga yang melingkari pinggangku dengan manis.
“Ku rasa sudah rapi.” Kata Ren
mencemooh, “itu lah salah satu sebabnya aku malas menggunakan dress ataupun
gaun.”
“Tapi, suatu saat kau pasti akan
menggunakannya. Pada hari pernikahanmu misalnya.”
Ren berdecak, “seperti hari itu akan
datang saja.”
Aku tersenyum simpul, “siapa yang
tahu?”
Kami memasuki kediaman Anggie yang
super besar. Ornamen berwarna pink sukses memenuhi ruang tamu yang telah di
sulap menjadi aula yang terlihat megah. Aku terpesona melihatnya, sedangkan
Ren, dengan pola pikirnya yang aneh malah berdecak kagum, “aku penasaran
bagaimana Anggie bisa membujuk Genta yang mantan paskibraka dengan konsep
pernikahan berwarna pink ini,” katanya jujur.
Bagiku, pesta pernikahan Anggie
malam ini seperti ajang temu kangen dengan teman-teman SMA-ku. Banyak yang
dengan sengaja pulang ke kota ini untuk menghadirinya, termasuk aku.
“Kau
terlihat manis malam ini, Binar,” ucap sebuah suara di belakangku..
“Sesil!” pekikku senang ketika
melihat siapa yang menyapaku, “dan kau terlihat bahagia.” Kataku sambil melirik
putri kecilnya dan suaminya yang berada di sampingnya.
Sesil tersenyum manis padaku. Ia adalah
teman lamaku saat kelas 1 SMA, walaupun tidak sedekat hubunganku dengan Renita,
tapi aku tahu dia orang yang baik.
“Berapa usianya?” kataku sambil
menatap bocah perempuan yang berada di gendongan Sesil.
“Bulan depan tepat dua tahun,”
kemudian kami bercakap-cakap sebentar dan membiarkan Ren sibuk dengan teman
lainnya.
Lima belas menit kemudian, Sesil
pamit dan membuatku harus mencari Ren lagi. Aku berjalan mengitari aula itu dan
nihil. Tidak aku temukan sosok Ren. Aku sudah putus asa dan baru akan
mengeluarkan ponselku ketika suara berat memanggil namaku.
“Binar, kau Binar kan?” kata suara
itu.
Aku mendongak ke asal suara dan
mengenalinya. Theo. Sosok di depanku adalah Theo. Orang yang sama yang berada
di mimpiku.
“Theo?” kataku refleks. “Kau tahu
aku?”
Theo tersenyum, senyum yang bahkan
sama seperti yang ada di dalam mimpiku. “Ada apa? Kau terlihat bingung?”
“A-aku...” kataku gagap. Tanpa
sengaja sudut mataku menangkap bayangan Ren. Dia bersedekap melihatku dari
kejauhan, seolah mengatakan apa yang harusnya aku lakukan. Aku menatap cemas ke
arahnya, tapi dia malah mengalihkan pandangannya, seolah berkata bahwa ini
bukan urusannya.
“Aku
sedang mencari seseorang,” jawabku pada akhirnya.
Aku melihat senyum simpul Ren
sebelum Ren balik kanan dan menghambur pergi entah kemana.
“Oh ya? Siapa yang kau cari?”
Aku menarik napas panjang,
mengumpulkan segala keberanian yang aku butuhkan. Kata-kata Ren terngiang di
kepalaku. Benar, setidaknya jika aku gagal, aku tidak akan menyesal karena
telah mencoba.
“Aku mencarimu, Theo. Ada banyak hal
yang ingin ku katakan padamu.”
_End